Minggu, 24 Mei 2020

Azzah Dian



Sempat ingat kapan terakhir kalinya 
daun berguguran di jalan raya
Separuh aspal berubah berwarna kuning 
dan mendung membuatku tergopoh-gopoh
Berangkat dengan akal sehat dan pulang dengan harapan
Alangkah kasihan anak-anak 
disuruh meminta-minta di perempatan jalan

Itu lain hal,
Sekali lagi kutegaskan bahwa hari ini tidak hujan
Panas sekali, sampai-sampai legam lengan ini
Waktu memang sebentar lagi sore

Aku tiba ditempat yang hanya orang-orang pengku berkumpul
Menuturkan banyak sekali kisah
Mendoakan bibit tanaman hidroponik
Membiasakan meminum kopi yang bercampur es batu

Diantara tiga pemuda
Dan beribu kejenuhan
Aku duduk dengan jarak yang cukup jauh
Kami saling kenal, hanya kenal kulit bawang

Satu hal yang membuatku heran, Azzah
Gadis dengan follower instagram 2 ribuan
Berbaju hitam dengan kulit langsat
Duduk tenang dan menceritakan harinya

Matanya bak delima
Jaket kuningnya cukup kontras
Naik matik dan memakai sendal jepit
Baru lulus dan sedang memupuk cita-cita

Aku tak kenal, ingin mengenal pun tidak
Sayangnya ada satu keganjilan diantara matanya
Ia menceritakan bahwa iya sempat bertamu kerumah seseorang
Saat itu, pemilik rumahnya nyeletuk Anak’e sopo iki kok ayu

Ia penuh pesona
Mungkin karena ibunya cantik dan itu nurun ke anaknya
Walau ia tak suka menulis dan membaca
Itu wajar-wajar saja

Aku jadi membayangkan masa depannya
Memperkirakan jodohnya
Menerka-nerka kebiasaanya
Hingga mengikuti instagramnya

Rasa penasaranku tak begitu besar
Hanya sedikit menemukan keganjilan
Kadang tuhan maha adil
Sampai-sampai adilnya kelewatan

Azzah
Entah siapa nama panjangnya
Entah apa harapan orang tuanya
Entah bagaimana ia elok dan jelita
Entahlah

JBG, 23/MEI/2020

Semoga Saja


Berkumpulkah kita di belakang rumah
Bau usang bekas pakaian dan suara pompa air
Perlahan menuntunku dalam romantisme masalalu
Umpatan, pengakuan, dan harapan menyatu

Beberapa celetukan membuat kami tertawa
Bukan karena dalamnya pembicaraan
Mungkin karena terlalu jauhnya angan-angan
Hingga sedikit sekali rasa bersalah

Beberapa jam lagi takbir terdengar
Ini hari terakhir berpuasa
Banyak salah mungkin biasa
Kadang berpura jadi nikmat rasanya

Tumpul sudah mata tombak
Saat dilempar tak pernah kena sasaran
Banyak hal baik yang ku tolak
Bahkan seruan tuhan sering kulupakan

Alih-alih terlena dalam malam takbir
Semua malah terdiam dalam ketakutan
Wabah yang takkunjung hilang
Cukup membuat kejenuhan yang teramat dalam

Bukankah tuhan punya rencana
Bahkan penjual kopi dirumah ini
Lebih banyak senyum dikala pelanggan berkurang
Berapa lama semua akan berbohong

Gadis lugu dengan mata delima
Kembali menutup mulutnya
Sesaat lelaki disebelahnya menyulut api
Disitulah aku percaya bahwa apapun bisa terjadi

Sore itu
Dibelakang kontrakan kecil
Duduk sambil menikmati kopi
Diujung ramadhan

MJK, 23/MEI/2020

Yang Sama



Melakukan hal yang sama
Bertemu dengan orang yang sama

Memesan minuman yang sama
Duduk dikursi yang sama
Memandang ke arah yang sama

Berbicara tentang hal yang sama
Bertanya dengan pertanyaan yang sama
Ditanya oleh orang yang sama
Berkumpul dengan kelompok yang sama

Melewati jalanan yang sama
Merasakan momen yang sama
Bosan dengan alasan yang sama
Sama sama menantikan hal yang sama
berakhir di dunia yang sama

JBG, 19/MEI/2020


Syerahdeh


Kekesalan yang memuncak
Umpatan berputar-putar secara acak
Otak dipenuhi prasangka
Langkah demi langkah seakan sia-sia

Aku akan kembali mengembara
Bukan tuk memulai atau merubah segalanya
Hanya agar aku memahami
Semua yang terjadi sudah ditentukan
jauh sebelum aku mengetahui

Mudah sekali membenci
Terlalu cepat memaklumi
Semua hanya soal untung rugi
Mati bukan hal yang menakutkan lagi

JBG, 18/MEI/2020

Sabtu, 07 Juli 2018

Maaf & Memaafkan


Waktu itu kukubur dalam-dalam apapun
Kuhilangkan semua nama yang pernah ada
Tak ada yang kumaafkan dan tetap seperti itu
Mungkin itu tak baik, tapi biarkan begitu

Kembali kuingat pertanyaan itu
Aku yang ditelan habis olehmu
Seolah berhenti dan tak mengakuinya
Bahwa cerita ini selesai dengan diam

Masih saja ada sisa-sisa itu
Mencoba membangunkanku
Ditiap kesempatanku
Menghilang & lenyap oleh maaf

Nofianto Puji Imawan
Jombang, 07 Juli 2018.

Minggu, 11 Maret 2018

Mengesampingkan Obsesi


Memandangi mereka ialah nikmat, tak perlu mengenang atau mengingat. 
Cukup perhatikan dengan cobalah mendekat. Semuanya kembali seakan tujuh tahun yang lalu. Disaat bermimpi lebih realistis daripada apapun. Menebak masa depan, membicarakan apapun yang belum pasti hingga berani memperkiraan takdir tanpa harus berpura-pura.

Tentu kita akan memasuki masa-masa disaat semua mimpi didustai oleh kenyataan. Membiarkan sifat kekanak-kanankan kita lenyap atau sengaja dipendam, hanya untuk duabelas jam hidup terjadwal. Kita diperintah dan dituntut agar tetap mematuhi kesepakatan-kesepatan kecil yang belum tentu benar. Hanya untuk melanjutkan hidup.

Memang tak semuanya begitu, tak harus menggadaikan mimpi untuk bertahan hidup. Jika semua kembali pada niat masing-masing, apakah harus sebegitu murahnya kita menjual diri.

Malam ini aku mendengar tetesan air turun perlahan, banyak atap rumahku yang bocor. Memang sengaja dibiarkan. Karena tak semua kesalahan mampu kita sembunyikan, kadang lebih banyak yang terumbar dan diketahui banyak orang. Untung saja banyak orang yang memaklumi begitu rumitnya persoalan orang lain. Semoga aku tak lalim dan tetap mempertanyakan kenapa aku harus tetap menjalani hidup hari ini.

Ini bukan keputusasaan atau penyesalan, bisa dikatakan ini ialah renungan atas kegelisahan yang mulai muncul. Disaat banyak peran dalam kehidupan yang terlampau melenceng hingga salah kaprah. Pernah aku mencobah merubah atau paling tidak berusaha memperbaiki beberapa yang tak beres diluar diriku. Lagi-lagi aku terhalang bahwa dalam diriku masih banyak yang perlu dibenahi.

Waktu itu aku tertidur diatas kursi kayu sepanjang satu meter disamping meja dengan sisa gelas kopi serta dua asbak penuh sisa rokok berbagai merk. Sekitar jam tujuh pagi seorang bapak-bapak membangunkanku dengan menepuk kakiku dan berkata “fi,,,fi,,,ndang tangi, ndang diterno surat lamaran kerjone nang Bu Un”. Lantas orang itu pergi lagi dengan sepeda motor bebek yang diparkir didepan warung tempat aku tidur. Akupun terbangun dengan kesadaran yang belum terlalu baik. Lantas akupun mencoba mengambil surat lamaran kerjaku didalam tas usang dibawah kursi. Hanya dengan memakai celana jeans yang sudah satu minggu tidak kucuci serta koas yang berbau tembakau. Aku masuk kekamar mandi untuk setidaknya cuci muka dan gosok gigi dengan cepat. Setelah itu aku kembali mengecek surat lamaran kerjaku yang ditujukan pada sebuah yayasan pendidikan tempatku dulu sekolah. Begitulah babak baru tercipta.

Tak lama, hanya sekitar beberapa minggu aku memenuhi panggilan interview pekerjaan yang mungkin bagi kebanyakan orang beranggapan sebagai “pekerjaan bergaji kecil”. Kalau bukan karena orang tua, mungkin aku tak mau. Dengan niatan berbakti pada orang tua, akupun mengesampingkan banyak ego serta keinginanku tetang masa depan. Sebagaimana seorang anak, aku ingin membahagiakan orang tua dengan memilih untuk menuruti apapun mau mereka. Beruntung memang, masih memiliki orang tua serta mendapatkan kelengkapan kasih sayang. Menimbang-nimbang serta memikirkan bagaimana semua ini berjalan. Apakah aku akan selamanya berada dijalan ini atau akukan menemukan hal baru didalamnya.

Jujur saja, ambisi serta obsesiku tentang bekerja dalam industri kreatif maupun teknologi masih membayangiku tiap waktu. Namun hal itu lambat laun tertindih realitas dan rasa syukur yang sudah menguasai pikiranku. Membuatku menerima dan memasrahkan segala peran yang diberikan tuhan padaku. Menjadi seorang pengajar atau guru bukanlah harapanku, namun rasa nyaman serta kesadaran bahwa apapun yang kita inginkan dan rencanakan, kadang itu semua belum tentu tepat dengan kenyataan. Tuhan punya rencana dan hal itu sungguh luar biasa, takdir begitu pengertian padaku, hingga membuatku menjadi pengajar atau guru saat ini.

Rabu, 31 Mei 2017

Mumpung


Uforia awal bulan ramadhan di dusunku memang tak semeriah malam tahun baru kemarin. Itulah dusunku, dimana kesederhanaan yang kadang terlupakan oleh segala aktivitasku di kota tetangga (Mojokerto). Ini bukan nostalgia tentang dusun dan segala dinamikannya. Ini cukup kusebut instropeksi, disaat banyak orang memilih saling menasehati orang lain hingga melupakan dirinya sendiri, ditengah dikotomi antara kelakuan yang ‘masih’ buruk dan ucapan yang ‘sungguh’ mulia serta bijaksana. Kadang aku menemukan jurang yang dijembatani pemakluman dan toleransi, bahwa tak semua manusia mampu menjalani apa yang mereka sendiri ucapkan, begitupula sebaliknya.

“saiki akeh uwong seng apik omonge tapi lakune elek, onok yoan seng lakune apik sampek gak onok omonge terus kurang toleran karo liyane.” Ujar Wak Breng, salah seorang ustad di dusunku yang juga bapak angkat serta guru ngajiku hingga kini.

“ojok ditiru kelakuane, di rungokno omongane ae” ujar seorang guru yang enggan disebut namanya.

“kabeh bakal mati, dilok’en saiki tonggomu dewe, jektas wisuda, terus saiki moro-moro wes mati gara-gara loro tipes. Padal winggi sore lak mbok ter’i berkat me’geng’an seh”, tegas ibu waktu pulang tarawih di hari ke’lima di bulan ramadhan tahun ini.

“imbang’ono antara ndunyo ambek sanggumu engko’ nang akherat, soale mene-mene seng nulung nang kono ora konco, dulur, wong tuomu, utowo pacarmu, tapi ibadahmu lan opo seng ko’ lakoni nang ndunyo saiki. Dadi lek ngejar nduyomu mok banterno, ibadahmu yo kudu mok kebut, lek ora mbok imbangi ngunu, iso-iso kowe nyesel dewe. Ben ora nyesel lek moro-moro di kode karo gusti pe’geran”, tambah Wak Breng.

Untungnya

Sekitar tahun 2012 aku menempuh perkuliahan di Madura dengan bekal barokah kedua orangtua. Aku tak pernah punya keinginan kuliah atau melanjutkan sekolah. Karena bagiku waktu lulus sekolah menegah kejuruan (SMK) di Mojokerto, bekerja lebih menjanjikan dan jelas dibanding kuliah. Mungkin waktu itu aku sedikit terdoktrin oleh dogma SMK, bahwa apa yang diajarkan di bangku perkuliahan tak jauh berbeda dengan sekolah, lawong sama-sama sekolahnya. Begitu juga jaminan kalau lulus kuliah lebih mudah mendapat kerja dibanding lulusan SMK, ternyata itu terbantahkan. Semua menjadi tak pasti, perkembangan jaman telah membuat segala kerelatifan makin relatif dan sulit diprediksi. Madura menjadi lingkunganku selama 4 tahun lebih menghabiskan studi S-1, banyak perubahan terjadi. Disaat aku masuk sebuah jurusan atau program studi serta kampus yang aku sendiri masih asing dan kurang kuminati, seolah jadi masalah klasik.

Syukurlah waktu jadi mahasiswa baru yang punya masalah dengan siklus adaptasi, aku bertemu dengan teman, saudara, dan kelompok yang tepat di kampus yang berada tak jauh dari pelabuhan Kamal Madura ini. Sebuah organisasi berkedok jurnalistik yang berisi lelaki-lelaki berambut gondrong, perokok berat, suka mabuk, pandai memikat perempuan, lihai ber-retorika, mudah bergaul, pintar berkelih, berwawasan luas, punya ide-ide kreatif, sangat rendah hati, suka berbicara kotor, punya banyak film porno, jago nulis, semangat melawan mayoritas, minoritas militan, sering mengingatkan untuk beribadah, tulus memberikan sesuatu, jujur dalam mendidik, berbakat bermain alat musik walaupun masih amatiran, lihai menggambar, tak suka melawan orang tua, gengsinya tinggi, sering melawan arus, anti-mainstream, suka yang orang lain tak suka, sering mengalah, selalu menyuruh untuk beli rokok dan kopi, matanya selalu betah untuk begadang, prestasinya segudang, punya kemampuan indra ke’enam, berprinsip, sering telat kuliah, mantan guru pencak silat, pernah keliling indonesia, pelupa yang ekstrim, pokoknya lebih jago daripada yang lainnya. (mohon maaf untuk keterangan lebih lanjutnya bisa langsung kotak saya saja).

Bertemunya saya dengan organisasi pers mahasiwa paling kece abizz di kampus Universitas Trunojoro Madura (UTM) ialah titik balik yang cukup besar dalam hidupku sejak tahun 2012 dan masuk disebuah Universitas pinggiran di Madura yang satu-satunya negeri ini. perubahan ini begitu kompleks, dimana semua yang kutahu, kumengerti, dan kupahami sama sekali terbantahkan dan terasa begitu sepele setelah memutuskan untuk bergabung dalam sebuah ikatan keluarga bernama Spirit Mahasiswa ini. (untuk detailnya dalam perubahan dan apa saja yang ku alami saat bergabung dengan Spirit Mahasiswa akan saya jelaskan dalam esai lain dan bakalku post di blog ini, tunggu ya...)

Setelah itu, kelulusanku yang cukup biasa saja menjadi sebuah catatan penting bahwa akhirnya aku bisa melaksanakan dan menyelsaikan salahsatu perintah orang tua sampai selesai. Tapi hal ini bukanlah sebuah kelulusan atas ujian hidup, malah kelulusan kuliah menjadi bentuk baru ujian dalam menjalani hidup yang sebenarnya (alay sekali paragraf ini). namun, syukurlah dalam kelulusan perkuliahan ini aku lebih paham akan melakukan apa dan melanjutkannya seperti apa. Banyak keinginan, harapan, cita-cita, ambisi, dan kemunafikan yang kubuang. Walau pada akhirnya aku memilih menjalankan amanah dari orang tua untuk mengabdi pada yayasan pendidikan yang berada di Kota Mojokerto sebagai guru seperti profesi kedua orang tuaku. “barokah orang tua bakalan muncul jika kamu mampu mengesampingkan keinginan dan ambisimu untuk lebih mendahulukan atau memilih apa yang dikehendaki orangtuamu sendiri”. Bukankah itu cukup menjadi tantangan sendiri dalam hidup, dimana puncaknya ialah menghilangkan ke’akuan untuk jadi yang bukan aku. Banyak tawaran kerja yang lebih menjanjikan dibanding profesiku sekarang. Namun apalagi yang lebih indah disaat kita diposisikan sebagai anak pertama, kalau bukan membahagiakan orang tua selagi masih ada. Cukup sederhana sekali, memang banyak sebenarnya hal yang ada dipikiranku saat ini, namun aku ingin menuliskan hal sederhana yang kadang kulupakan disaat menemukan banyak hal baru saat ini. kesederhanaan itu ialah keluarga, kebersamaan, ibadah, dan rasa syukur dalam hidup. sesederhana anak yang punya keinginan tulus untuk berperan sebagai anak yang sebenar-benarnya anak.

Bumbu-Bumbu

Selain menjalani profesi sebagai guru, aku masih melakukan banyak kegiatan-kegiatan penyalur hobby dan memuaskan keinginan. Seperti menulis, membaca, belajar gitar, membuat sebuah media musik, videografi, dan merealisasikan ide-ide kreatif yang masih amatiran. Sampai banyak mendapat berbagai kesempatan-kesempatan yang sama sekali tak kuperkirakan. Semua ini tak jauh dari Kota Mojokerto, kota ini menawarkan banyak sekali hal yang mudah membuat nyaman seseorang. “ati-ati nang mojokerto, mojokerto iku apik alam’e tapi wong-wong’e bosok kabeh”, ujar salah seorang saudara serta guruku dan blogger cabul yang tak mau disebutkan namanya. Sejak SMK aku sudah mengenal Mojokerto, bahkan sewaktu TK sampai SD aku sudah dibawa ke Mojokerto karena orang tua mencari nafkahnya di Mojokerto. Tepatnya di sebuah yayasan atau sekolahan yang awalnya sebagai tenaga pengajar jurusan teknik otomotif. Sedangkan rumahku sendiri berada di Jombang. Sewaktu SMK tepatnya tahun 2008 awal aku mulai masuk dan berkenalan dengan orang namun waktu itu aku masih sepolos-polosnya anak daerah yang masih suka main motor, jadi fans persebaya, fanatis sama slank dan jadi slanker tanpa KTA, dan masih malu kalau naik motor standart (motor kalau ada 2 spion itu aku masih malu pakainya, karena waktu itu kamu bakal keren kalau kamu pakai motor modif atau minimal spion harus satu).

Sedangkan waktu kuliah di tahun 2012 sampai 2017 awal, aku berkenalan dengan Mojokerto baik itu alamnya, lingkungannya, masyarakatnya, pemuda dan pemudinya dalam posisi berbeda. Anak kuliahan yang tertarik dalam banyak hal dan masih haus rasa ingin tau dan rasa penasaran bercampur pengetahuan yang masih kulit luar serta tertarik pada, persoalan budaya, sosial, politik, ekonomi, anomali, fenomena, gerakan yang berbau kiri, kesenjangan sosial, dunia fotografi, jurnalistik, vespa, dan kolektif movement. Diajaklah aku masuk dari sebuah kelompok pemuda-pemudi pencinta musik reggae dan lingkungan para aktivis kebudayaan waktu itu oleh kakak serta saudaraku di Spirit Mahasiswa bernama Abang-J’R. 

Berkedok ingin belajar fotografi, dipertemukan aku dengan Mas Pai, disebuah tempat bernama Saung Tanah Lumpur dan langsung menjabat Kang Pai dan berkata, “kang saya Nofi, saya ingin belajar fotografi dari njenengan”. Dari situlah aku dipertumukan dengan berbagai manusia dan fenomena yang cukup membuatku berkata kotor berkali-kali. Melihat kesenjangan sosial dari potret lensa kamera, mencoba menemukan berbagai hikmah realitas masyarakat Mojokerto dari sebuah pasar dan warung kopi, mencoba memahami jalan pikiran seseorang dari cara ia berbicara, mencoba masuk dalam sebuah kelompok yang sama sekali tak ada hubungannya denganku, belajar memahami kompleksitas hidup hanya dengan mendengarkan, dan mencoba memaklumi manusia lainnya serta banyak lagi.

Setelah itu, aku lebih sering dan intens berkumpul dengan pemuda-pemudi atau kelompok pemuda di Mojokerto dibanding di Jombang, hingga lebih memilih menghabiskan hari bersama teman-teman serta saudara-saudara baruku di Mojokerto dibanding di dusun atau di Jombang. Hal ini membuat makin kompleksnya aku masuk dalam berbagai lingkungan dan kelompok masyarakat. Mengetahui inilah, mengerti itulah, memahami inilah. Sampai aku dicap atau dilabeli sebagai imigran gelap dan pendatang yang sedang menjajah Mojokerto. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan banyak hal menarik yang didampingi oleh segala permasalahan yang cukup fundamental di Mojokerto, baik itu mengenai alamnya, kulturnya, budayanya, orang-orangnya atau permasalahannya. Mulai dari, Mas J’R, Mas Pai, Mesin Sampink, Warung Miki, Soekarno Straat, Ring 8, GSTL, Sepat Jamz, Jamaiska, Angkringan Gaes, Bapak/Ibu Saiku, Mas Nanang, Warung Rakyat, Orchid Management, Save Trowulan, Saung Tanah Lumpur, Kang Didik, Event Musik, Event Reggae, Komunitas Vespa, Wak Igan, Warung Punokawan, Warung Jadoel, Mbah Salim, Mbak Yudha, Tempat-tempat mistis, problematika hidup yang lucu, kesenjangan sosial, uforia karbitan, kepedulian palsu, saling tipu-menipu, kebersamaan, gotong-royong, grudak-gruduk ngak jelas, dan banyak sekali yang kalau disebutkan bakalan makin membuat tulisan ini tidak jelas dan di block oleh Google. 

Kini ditahun 2017 di bulan Mei, mojokerto punya dinamika yang membuatku memahami hidup dengan lebih sederhana. Bekerja di Mojokerto, bergaul dengan alam dan manusia-manusia di Mojokerto, dan lebih ingat siapa diriku yang sebenarnya. Menjadi catatan penting yang sebenarnya lebih dari apa yang aku tuliskan disini. Allah, Orangtua, Adik-Adikku, Keluarga, Dusun, Jombang, Madura, Spirit Mahasiswa, Mojokerto, dan segala hal yang membuatku menjadi seperti saat ini. Makin membuatku bersyukur dan perlu menyeimbangkan antara ibadah dan keduniawian. Menyederhanakan bukan berarti mengurangi esensi atau entitas tapi kembali mengingat siapa aku, tujuanku apa, dan kembali berserah diri pada sang pencipta (Istiqomah).
Semakin kesini arah tulisan ini semakin alay dan menyerupai artikel-artikel motivasi serta pengakuan dosa. Maklum, namanya juga amatiran. Lumayan, yang penting menulis dengan jujur dan tidak meng’ada-ada.

Rabu, 15 Maret 2017

Rasa Syukur Sebelum Tidur


Bukankah menarik jika sejenak meluangkan waktu untuk melakukan apa yang kita sukai. Walaupun tak terlalu penting. Membicarakan impian hingga larut malam, berbincang dengan para ahli mimpi dikala senggang, menebak masa depan sampai lupa waktunya pulang, belajar sambil dihajar, membicarakan orang hingga tertawa terpingkal-pingkal, saling mengingatkan segala kekuranggan meski sedikit dangkal, menghubungkan segala hal yang takberhubungan, mempelajari filsafat ala berandalan, menjadi gelas kosong hingga ember bocor, memahami kerumitan cara pandang era global, memaklumi perbedaan dengan candaan khas jawatimuran, atau jalan-jalan tanpa menentukan tujuan.

Bukankah itu cukup mengasikkan, walau sedikit memalukan. Beginilah cara kami menghabiskan waktu akhir-akhir ini. Berkumpul dengan satu alasan, memimpikan hal yang sama, dan menikmati segala pertemuan hingga terluta-lunta oleh rasa nyaman. Meski hanya berbincang santai di warung kopi kecil disudut kota pinggiran dengan akses wifi gratisan, atau sekedar menikmati segala proses dalam mewujudkan mimpi kami masing-masing. Banyak hal yang tak kucatat sejak awal, entah karena aku benar-benar menikmati semua pertemuan ini atau terlampau malas karena terlalu kenyang. Hal penting memang sepantasnya dicatat, namun lebih banyak hal penting yang lebih baik dikenang.

Kini, semua seolah lebih baik. Bulan ketiga di tahun 2017, walau musim makin tak besahabat, tuntutan hidup makin memaksa kita menjadi munafik. Setidaknya masih ada ruang untuk jujur dan mengatakan bahwa apa yang kita lakukan kemarin dan hari ini sudah mampu membahagiakan segala hal selain diluar diri kita. Seperti kami, tiap malam bertemu di tempat sederhana dan berbincang mengenai mimpi, imajinasi, musik, pekerjaan, keingintahuan, dosa dan dusta atau sekedar berbincang hal-hal dangkal tentang hidup. Beginilah cara kami menikmati kesempatan yang diberikan tuhan. Sesederhana kenyataan yang selalu jujur berbicara bahwa belum tentu besok kita masih bisa melakukan segala hal yang sudah kita rencanakan kemarin atau hari ini.

Kita masih hidup dengan cara kita masing-masing. Ketentuan dan nasib semakin menjadi misteri saat kita berusaha keras untuk menebak dan memperkirannya. Ada hal sepele yang kita sering lupa. Kita berusaha keras untuk merencanakan segala hal tentang esok dan nanti. Apa yang kita harapkan dari esok, dan apa yang kita peroleh dari kemarin.

Rabu, 08 Maret 2017

Silsilah Salah Arah


Sejak musim sulit ditebak
Dan mitos selalu diabaikan
Adakalanya kita kembali mengingat
Bagaimana kita dilahirkan
Dibesarkan dengan ketidaksiapan
Hingga dijauhkan dari kebenaran

Hampir saja kita dibiarkan meraba
Segala kebohongan yang diyakini
Dan kesepakatan tanpa dasar
Yang senantiasa dipegang teguh
Begitulah cara kita dikembangbiakan
Oleh orang tua dan segala sisa-sisa kemunafikan

Sejak kisah-kisah perjuangan dibukukan
Sejarah tutur dalam berbagai versi diceritakan
Dalam otak kita mengendap banyak timbal
Hingga ingatan kita sering tak lancar karena menyumpal
Banyak dogma-dogma tentang kebajikan
Dan imbuhan-imbuhan metafora tentang harapan

Sepantasnya kita mempertanyakan
Apa pantas kita melanjutkan peran
Jika sejak dilahirkan kita tak murni
Mengidap penyakit lupa diri
Kadang kalap tak mau berlari
Hanya menunggu dan sembunyi

Perlahan-lahan kita ditunjukan
Bagaimana cara kita dilahirkan
Kitapun memaklumi
Semuanya memang terlanjur begini
Bukankah kita sudah biasa dengan itu
Meskipun kadang waktu semakin rapuh

Nofianto Puji Imawan
Jombang, 07/03/2017.

Sabtu, 04 Maret 2017

Atas Nama Ambisi dan Obsesi Karbitan


Tiap pagi teriakannya begitu lantang
Pernah aku jengkel dan terharu olehnya
Rasa tanggung jawab berlapis kasih sayang
Membuat runtuh segala idealisme yang kupegang

Mengingatkanku tentang hal sederhana yang sering kita lupakan
Bukankah itu menjengkelkan
Disaat semua imaji serta impian
Lebih menggairahkan dibanding mensyukuri kenyataan

Entah apa aku punya kesempatan
Untuk mendahului takdir
Minimal mengetahuinya lebih dulu
Bedebah kurang ajar

Bukankah membangkang itu lebih mengasyikan
Dibanding taat dan menundukan kepala
Walau bakal sulit kaya dan kurus selamanya
Menolak realitas kadang terlalu melenakan

Nofianto Puji Imawan
Jombang, 03/03/2017.