Rabu, 31 Mei 2017

Mumpung


Uforia awal bulan ramadhan di dusunku memang tak semeriah malam tahun baru kemarin. Itulah dusunku, dimana kesederhanaan yang kadang terlupakan oleh segala aktivitasku di kota tetangga (Mojokerto). Ini bukan nostalgia tentang dusun dan segala dinamikannya. Ini cukup kusebut instropeksi, disaat banyak orang memilih saling menasehati orang lain hingga melupakan dirinya sendiri, ditengah dikotomi antara kelakuan yang ‘masih’ buruk dan ucapan yang ‘sungguh’ mulia serta bijaksana. Kadang aku menemukan jurang yang dijembatani pemakluman dan toleransi, bahwa tak semua manusia mampu menjalani apa yang mereka sendiri ucapkan, begitupula sebaliknya.

“saiki akeh uwong seng apik omonge tapi lakune elek, onok yoan seng lakune apik sampek gak onok omonge terus kurang toleran karo liyane.” Ujar Wak Breng, salah seorang ustad di dusunku yang juga bapak angkat serta guru ngajiku hingga kini.

“ojok ditiru kelakuane, di rungokno omongane ae” ujar seorang guru yang enggan disebut namanya.

“kabeh bakal mati, dilok’en saiki tonggomu dewe, jektas wisuda, terus saiki moro-moro wes mati gara-gara loro tipes. Padal winggi sore lak mbok ter’i berkat me’geng’an seh”, tegas ibu waktu pulang tarawih di hari ke’lima di bulan ramadhan tahun ini.

“imbang’ono antara ndunyo ambek sanggumu engko’ nang akherat, soale mene-mene seng nulung nang kono ora konco, dulur, wong tuomu, utowo pacarmu, tapi ibadahmu lan opo seng ko’ lakoni nang ndunyo saiki. Dadi lek ngejar nduyomu mok banterno, ibadahmu yo kudu mok kebut, lek ora mbok imbangi ngunu, iso-iso kowe nyesel dewe. Ben ora nyesel lek moro-moro di kode karo gusti pe’geran”, tambah Wak Breng.

Untungnya

Sekitar tahun 2012 aku menempuh perkuliahan di Madura dengan bekal barokah kedua orangtua. Aku tak pernah punya keinginan kuliah atau melanjutkan sekolah. Karena bagiku waktu lulus sekolah menegah kejuruan (SMK) di Mojokerto, bekerja lebih menjanjikan dan jelas dibanding kuliah. Mungkin waktu itu aku sedikit terdoktrin oleh dogma SMK, bahwa apa yang diajarkan di bangku perkuliahan tak jauh berbeda dengan sekolah, lawong sama-sama sekolahnya. Begitu juga jaminan kalau lulus kuliah lebih mudah mendapat kerja dibanding lulusan SMK, ternyata itu terbantahkan. Semua menjadi tak pasti, perkembangan jaman telah membuat segala kerelatifan makin relatif dan sulit diprediksi. Madura menjadi lingkunganku selama 4 tahun lebih menghabiskan studi S-1, banyak perubahan terjadi. Disaat aku masuk sebuah jurusan atau program studi serta kampus yang aku sendiri masih asing dan kurang kuminati, seolah jadi masalah klasik.

Syukurlah waktu jadi mahasiswa baru yang punya masalah dengan siklus adaptasi, aku bertemu dengan teman, saudara, dan kelompok yang tepat di kampus yang berada tak jauh dari pelabuhan Kamal Madura ini. Sebuah organisasi berkedok jurnalistik yang berisi lelaki-lelaki berambut gondrong, perokok berat, suka mabuk, pandai memikat perempuan, lihai ber-retorika, mudah bergaul, pintar berkelih, berwawasan luas, punya ide-ide kreatif, sangat rendah hati, suka berbicara kotor, punya banyak film porno, jago nulis, semangat melawan mayoritas, minoritas militan, sering mengingatkan untuk beribadah, tulus memberikan sesuatu, jujur dalam mendidik, berbakat bermain alat musik walaupun masih amatiran, lihai menggambar, tak suka melawan orang tua, gengsinya tinggi, sering melawan arus, anti-mainstream, suka yang orang lain tak suka, sering mengalah, selalu menyuruh untuk beli rokok dan kopi, matanya selalu betah untuk begadang, prestasinya segudang, punya kemampuan indra ke’enam, berprinsip, sering telat kuliah, mantan guru pencak silat, pernah keliling indonesia, pelupa yang ekstrim, pokoknya lebih jago daripada yang lainnya. (mohon maaf untuk keterangan lebih lanjutnya bisa langsung kotak saya saja).

Bertemunya saya dengan organisasi pers mahasiwa paling kece abizz di kampus Universitas Trunojoro Madura (UTM) ialah titik balik yang cukup besar dalam hidupku sejak tahun 2012 dan masuk disebuah Universitas pinggiran di Madura yang satu-satunya negeri ini. perubahan ini begitu kompleks, dimana semua yang kutahu, kumengerti, dan kupahami sama sekali terbantahkan dan terasa begitu sepele setelah memutuskan untuk bergabung dalam sebuah ikatan keluarga bernama Spirit Mahasiswa ini. (untuk detailnya dalam perubahan dan apa saja yang ku alami saat bergabung dengan Spirit Mahasiswa akan saya jelaskan dalam esai lain dan bakalku post di blog ini, tunggu ya...)

Setelah itu, kelulusanku yang cukup biasa saja menjadi sebuah catatan penting bahwa akhirnya aku bisa melaksanakan dan menyelsaikan salahsatu perintah orang tua sampai selesai. Tapi hal ini bukanlah sebuah kelulusan atas ujian hidup, malah kelulusan kuliah menjadi bentuk baru ujian dalam menjalani hidup yang sebenarnya (alay sekali paragraf ini). namun, syukurlah dalam kelulusan perkuliahan ini aku lebih paham akan melakukan apa dan melanjutkannya seperti apa. Banyak keinginan, harapan, cita-cita, ambisi, dan kemunafikan yang kubuang. Walau pada akhirnya aku memilih menjalankan amanah dari orang tua untuk mengabdi pada yayasan pendidikan yang berada di Kota Mojokerto sebagai guru seperti profesi kedua orang tuaku. “barokah orang tua bakalan muncul jika kamu mampu mengesampingkan keinginan dan ambisimu untuk lebih mendahulukan atau memilih apa yang dikehendaki orangtuamu sendiri”. Bukankah itu cukup menjadi tantangan sendiri dalam hidup, dimana puncaknya ialah menghilangkan ke’akuan untuk jadi yang bukan aku. Banyak tawaran kerja yang lebih menjanjikan dibanding profesiku sekarang. Namun apalagi yang lebih indah disaat kita diposisikan sebagai anak pertama, kalau bukan membahagiakan orang tua selagi masih ada. Cukup sederhana sekali, memang banyak sebenarnya hal yang ada dipikiranku saat ini, namun aku ingin menuliskan hal sederhana yang kadang kulupakan disaat menemukan banyak hal baru saat ini. kesederhanaan itu ialah keluarga, kebersamaan, ibadah, dan rasa syukur dalam hidup. sesederhana anak yang punya keinginan tulus untuk berperan sebagai anak yang sebenar-benarnya anak.

Bumbu-Bumbu

Selain menjalani profesi sebagai guru, aku masih melakukan banyak kegiatan-kegiatan penyalur hobby dan memuaskan keinginan. Seperti menulis, membaca, belajar gitar, membuat sebuah media musik, videografi, dan merealisasikan ide-ide kreatif yang masih amatiran. Sampai banyak mendapat berbagai kesempatan-kesempatan yang sama sekali tak kuperkirakan. Semua ini tak jauh dari Kota Mojokerto, kota ini menawarkan banyak sekali hal yang mudah membuat nyaman seseorang. “ati-ati nang mojokerto, mojokerto iku apik alam’e tapi wong-wong’e bosok kabeh”, ujar salah seorang saudara serta guruku dan blogger cabul yang tak mau disebutkan namanya. Sejak SMK aku sudah mengenal Mojokerto, bahkan sewaktu TK sampai SD aku sudah dibawa ke Mojokerto karena orang tua mencari nafkahnya di Mojokerto. Tepatnya di sebuah yayasan atau sekolahan yang awalnya sebagai tenaga pengajar jurusan teknik otomotif. Sedangkan rumahku sendiri berada di Jombang. Sewaktu SMK tepatnya tahun 2008 awal aku mulai masuk dan berkenalan dengan orang namun waktu itu aku masih sepolos-polosnya anak daerah yang masih suka main motor, jadi fans persebaya, fanatis sama slank dan jadi slanker tanpa KTA, dan masih malu kalau naik motor standart (motor kalau ada 2 spion itu aku masih malu pakainya, karena waktu itu kamu bakal keren kalau kamu pakai motor modif atau minimal spion harus satu).

Sedangkan waktu kuliah di tahun 2012 sampai 2017 awal, aku berkenalan dengan Mojokerto baik itu alamnya, lingkungannya, masyarakatnya, pemuda dan pemudinya dalam posisi berbeda. Anak kuliahan yang tertarik dalam banyak hal dan masih haus rasa ingin tau dan rasa penasaran bercampur pengetahuan yang masih kulit luar serta tertarik pada, persoalan budaya, sosial, politik, ekonomi, anomali, fenomena, gerakan yang berbau kiri, kesenjangan sosial, dunia fotografi, jurnalistik, vespa, dan kolektif movement. Diajaklah aku masuk dari sebuah kelompok pemuda-pemudi pencinta musik reggae dan lingkungan para aktivis kebudayaan waktu itu oleh kakak serta saudaraku di Spirit Mahasiswa bernama Abang-J’R. 

Berkedok ingin belajar fotografi, dipertemukan aku dengan Mas Pai, disebuah tempat bernama Saung Tanah Lumpur dan langsung menjabat Kang Pai dan berkata, “kang saya Nofi, saya ingin belajar fotografi dari njenengan”. Dari situlah aku dipertumukan dengan berbagai manusia dan fenomena yang cukup membuatku berkata kotor berkali-kali. Melihat kesenjangan sosial dari potret lensa kamera, mencoba menemukan berbagai hikmah realitas masyarakat Mojokerto dari sebuah pasar dan warung kopi, mencoba memahami jalan pikiran seseorang dari cara ia berbicara, mencoba masuk dalam sebuah kelompok yang sama sekali tak ada hubungannya denganku, belajar memahami kompleksitas hidup hanya dengan mendengarkan, dan mencoba memaklumi manusia lainnya serta banyak lagi.

Setelah itu, aku lebih sering dan intens berkumpul dengan pemuda-pemudi atau kelompok pemuda di Mojokerto dibanding di Jombang, hingga lebih memilih menghabiskan hari bersama teman-teman serta saudara-saudara baruku di Mojokerto dibanding di dusun atau di Jombang. Hal ini membuat makin kompleksnya aku masuk dalam berbagai lingkungan dan kelompok masyarakat. Mengetahui inilah, mengerti itulah, memahami inilah. Sampai aku dicap atau dilabeli sebagai imigran gelap dan pendatang yang sedang menjajah Mojokerto. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan banyak hal menarik yang didampingi oleh segala permasalahan yang cukup fundamental di Mojokerto, baik itu mengenai alamnya, kulturnya, budayanya, orang-orangnya atau permasalahannya. Mulai dari, Mas J’R, Mas Pai, Mesin Sampink, Warung Miki, Soekarno Straat, Ring 8, GSTL, Sepat Jamz, Jamaiska, Angkringan Gaes, Bapak/Ibu Saiku, Mas Nanang, Warung Rakyat, Orchid Management, Save Trowulan, Saung Tanah Lumpur, Kang Didik, Event Musik, Event Reggae, Komunitas Vespa, Wak Igan, Warung Punokawan, Warung Jadoel, Mbah Salim, Mbak Yudha, Tempat-tempat mistis, problematika hidup yang lucu, kesenjangan sosial, uforia karbitan, kepedulian palsu, saling tipu-menipu, kebersamaan, gotong-royong, grudak-gruduk ngak jelas, dan banyak sekali yang kalau disebutkan bakalan makin membuat tulisan ini tidak jelas dan di block oleh Google. 

Kini ditahun 2017 di bulan Mei, mojokerto punya dinamika yang membuatku memahami hidup dengan lebih sederhana. Bekerja di Mojokerto, bergaul dengan alam dan manusia-manusia di Mojokerto, dan lebih ingat siapa diriku yang sebenarnya. Menjadi catatan penting yang sebenarnya lebih dari apa yang aku tuliskan disini. Allah, Orangtua, Adik-Adikku, Keluarga, Dusun, Jombang, Madura, Spirit Mahasiswa, Mojokerto, dan segala hal yang membuatku menjadi seperti saat ini. Makin membuatku bersyukur dan perlu menyeimbangkan antara ibadah dan keduniawian. Menyederhanakan bukan berarti mengurangi esensi atau entitas tapi kembali mengingat siapa aku, tujuanku apa, dan kembali berserah diri pada sang pencipta (Istiqomah).
Semakin kesini arah tulisan ini semakin alay dan menyerupai artikel-artikel motivasi serta pengakuan dosa. Maklum, namanya juga amatiran. Lumayan, yang penting menulis dengan jujur dan tidak meng’ada-ada.

0 komentar:

Posting Komentar

Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar