Minggu, 11 Maret 2018

Mengesampingkan Obsesi


Memandangi mereka ialah nikmat, tak perlu mengenang atau mengingat. 
Cukup perhatikan dengan cobalah mendekat. Semuanya kembali seakan tujuh tahun yang lalu. Disaat bermimpi lebih realistis daripada apapun. Menebak masa depan, membicarakan apapun yang belum pasti hingga berani memperkiraan takdir tanpa harus berpura-pura.

Tentu kita akan memasuki masa-masa disaat semua mimpi didustai oleh kenyataan. Membiarkan sifat kekanak-kanankan kita lenyap atau sengaja dipendam, hanya untuk duabelas jam hidup terjadwal. Kita diperintah dan dituntut agar tetap mematuhi kesepakatan-kesepatan kecil yang belum tentu benar. Hanya untuk melanjutkan hidup.

Memang tak semuanya begitu, tak harus menggadaikan mimpi untuk bertahan hidup. Jika semua kembali pada niat masing-masing, apakah harus sebegitu murahnya kita menjual diri.

Malam ini aku mendengar tetesan air turun perlahan, banyak atap rumahku yang bocor. Memang sengaja dibiarkan. Karena tak semua kesalahan mampu kita sembunyikan, kadang lebih banyak yang terumbar dan diketahui banyak orang. Untung saja banyak orang yang memaklumi begitu rumitnya persoalan orang lain. Semoga aku tak lalim dan tetap mempertanyakan kenapa aku harus tetap menjalani hidup hari ini.

Ini bukan keputusasaan atau penyesalan, bisa dikatakan ini ialah renungan atas kegelisahan yang mulai muncul. Disaat banyak peran dalam kehidupan yang terlampau melenceng hingga salah kaprah. Pernah aku mencobah merubah atau paling tidak berusaha memperbaiki beberapa yang tak beres diluar diriku. Lagi-lagi aku terhalang bahwa dalam diriku masih banyak yang perlu dibenahi.

Waktu itu aku tertidur diatas kursi kayu sepanjang satu meter disamping meja dengan sisa gelas kopi serta dua asbak penuh sisa rokok berbagai merk. Sekitar jam tujuh pagi seorang bapak-bapak membangunkanku dengan menepuk kakiku dan berkata “fi,,,fi,,,ndang tangi, ndang diterno surat lamaran kerjone nang Bu Un”. Lantas orang itu pergi lagi dengan sepeda motor bebek yang diparkir didepan warung tempat aku tidur. Akupun terbangun dengan kesadaran yang belum terlalu baik. Lantas akupun mencoba mengambil surat lamaran kerjaku didalam tas usang dibawah kursi. Hanya dengan memakai celana jeans yang sudah satu minggu tidak kucuci serta koas yang berbau tembakau. Aku masuk kekamar mandi untuk setidaknya cuci muka dan gosok gigi dengan cepat. Setelah itu aku kembali mengecek surat lamaran kerjaku yang ditujukan pada sebuah yayasan pendidikan tempatku dulu sekolah. Begitulah babak baru tercipta.

Tak lama, hanya sekitar beberapa minggu aku memenuhi panggilan interview pekerjaan yang mungkin bagi kebanyakan orang beranggapan sebagai “pekerjaan bergaji kecil”. Kalau bukan karena orang tua, mungkin aku tak mau. Dengan niatan berbakti pada orang tua, akupun mengesampingkan banyak ego serta keinginanku tetang masa depan. Sebagaimana seorang anak, aku ingin membahagiakan orang tua dengan memilih untuk menuruti apapun mau mereka. Beruntung memang, masih memiliki orang tua serta mendapatkan kelengkapan kasih sayang. Menimbang-nimbang serta memikirkan bagaimana semua ini berjalan. Apakah aku akan selamanya berada dijalan ini atau akukan menemukan hal baru didalamnya.

Jujur saja, ambisi serta obsesiku tentang bekerja dalam industri kreatif maupun teknologi masih membayangiku tiap waktu. Namun hal itu lambat laun tertindih realitas dan rasa syukur yang sudah menguasai pikiranku. Membuatku menerima dan memasrahkan segala peran yang diberikan tuhan padaku. Menjadi seorang pengajar atau guru bukanlah harapanku, namun rasa nyaman serta kesadaran bahwa apapun yang kita inginkan dan rencanakan, kadang itu semua belum tentu tepat dengan kenyataan. Tuhan punya rencana dan hal itu sungguh luar biasa, takdir begitu pengertian padaku, hingga membuatku menjadi pengajar atau guru saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar