Jumat, 22 Juli 2016

Anak Semua Bangsa Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer


http://akusukamenulis.files.wordpress.com/2011/01/anak-semua-bangsa.jpg

Buku ini bercerita, sejauh yang saya tahu, tentang seorang sosok pribumi (Minke) yang sebelumnya telah dididik dengan pendidikan Belanda melihat sendiri kehidupan masyarakatnya yang saat itu tidak berdaya-upaya melawan kekuatan Eropa. Di sini Minke dihadapkan pada situasi yang dilematis. Satu sisi ia melihat betapa peradaban Eropa begitu tingginya dan membuatnya dapat berkembang menjadi manusia yang berkualitas. 

Anak Semua Bangsa merupakan buku kedua dari tetralogi Buru. Sama seperti buku pertama, buku ini ditulis Mas Pram saat meringkuk di penjara Pulau Buru. Naskah ini pun ia share dan bacakan kepada mereka yang dipenjara.

Di sisi lain, ia melihat masyarakat pribumi begitu mengibakan dan kerdil di hadapan sistem dan hukum Negeri Penjajah. Suatu hal yang sangat disayangkan dan tentunya tak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini.

Sebelumnya memang ada perbedaan pandangan antara Minke dengan kawan-kawan hidupnya—Kommer, Jean Marais, Bunda Minke, dan Mama (Nyai Ontosoroh)—tentang kehidupannya dan kehidupan pribumi baginya. Minke merasa bahwa orang-orang Pribumi kecil itu tak pantas diajak berbicara soal Hindia dan tak dapat merasai negerinya—karena bodoh, tak bersekolah, tak dapat berhitung dengan baik, serta keterbelakangan yang tak pernah mereka dan Minke harapkan. Sedang menurut Kommer dan kawan-kawan hidupnya yang lain, adanya berita bertuliskan Jawa, Melayu, dan bahasa-bahasa Pribumi di Hindiamenandai bahwa kepedulian Minke terhadap bangsanya sungguh mencuat [ganti kata mencuat ini].

Yang ingin segera saya garis bawahi di sini adalah setiap kekalutan dan ketakutan yang dirasa oleh pribumi merupakan ketakutan setiap manusia yang ada di dunia, bukan saja di Hindia. Bahwa Kolonial terlalu pengecut meneror Pribumi dari masa ke masa sehingga dalam alam bawah sadar mereka terpatri kuat: Bangsa Kulit Putih lebih terhormat dan lebih berjaya ketimbang pribumi sendiri di tanahnya. Ini sungguh mengibakan.
Eropa memang lebih unggul dari Hindia, tapi tidak di segala hal. Jangan agungkan mereka seperti dewa.
Politik Etis adalah politik balas budi yang ditetapkan Belanda terhadap Hindia. Ini dilakukan untuk memberikan suatu balas-jasa atas segala tindak-penjajahan Kompeni sehingga Hindia tidak hanya menjadi daerah yang “habis manis sepah dibuang” tetapi menjadi daerah jajahan yang maju dan hebat [ganti nih kata hebat di sini, ga keren]. 3 program politik ini pun dibuat: Edukasi, Emigrasi, dan Migrasi. Edukasi adalah program pendidikan kepada penduduk pribumi agar pandai dan bisa bersekolah layaknya orang-orang Indo, Peranakan, atau Totok. Emigrasi adalah program yang mengajak warga di wilayah padat penduduk untuk bertransmigrasi ke wilayah yang masih tidak padat penduduknya. Sedangkan Irigasi adalah program pengairan untuk keperluan pertanian tiap penduduk yang memiliki/mengolah lahan pertanian.

Program yang sangat bagus dan membangun. Namun rupanya ada udang di balik batu. Program-program ini sesungguhnya adalah proyek terselubung pihak Belanda untuk terus mengeruk keuntungan dalam kesempatan yang lebih besar. Kebijakan-kebijakan yang awalnya diajukan oleh van Deventer tersebut memang terlihat sangat baik dan menawan hati. Tapi pada

hakikatnya program ini adalah mengenai kepentingan gula.
Secara garis besarnya, program terselubung ini sudah dapat ditebak. Mengingat Jawa sebagian besar memiliki tanah yang subur dan lahan pertanian yang luas. Selain itu, kebijakan Pemerintah Belanda saat itu menitikberatkan pada ketersediaan gula, yang mana sangat bernilai harganya di mata Eropa pada saat itu. Praktis petani gula adalah profesi yang sangat populer di kalangan para petani.

Dalam kenyataannya, ketiga program itu tidaklah berjalan semestinya (sudah dapat diduga!). Program Edukasi yang katanya bakal mendidik pribumi nyatanya hanya seputar baca-tulis & hitung-menghitung, yang mana justru bertendensi dan menjurus kepada apa-apa yang terkait dengan administrasi produksi gula.

Begitu pun dengan Emigrasi. Program pemerataan penduduk ini, yang seharusnya mengajak warga di wilayah padat penduduk untuk pindah ke daerah yang tidak padat, justru dipaksa untuk pindah ke daerah yang memiliki lahan pertanian gula. Mungkin takkan menjadi masalah jika hasil kerjanya sesuai dengan upah. Ketidakadilan ini memang kekejian yang tak terlihat oleh pribumi yang tak melihat langsung turun ke arus-bawah. Tidak jauh berbeda dengan kedua program tadi, Imigrasi yang digadang-gadang untuk mengairi lahan pertanian pribumi justru dimonopoli (lagi-lagi) untuk kepentingan gula. Pengairan tersebut sesungguhnya memang untuk pertanian gula dan tebu sahaja. Dan yang bikin tambah ngenes, hasil pertanian itu sebagian besarnya masuk ke kantong Pemerintah Penjajah.

Setelah melihat sendiri kehidupan petani gula dan tebu di Tulangan Sidoarjo kesadaran Minke pun tersentak. Ketidakadilan yang begitu kentara (jika saja ia punya niatan dan sedikit usaha untuk melihatnya) tenyata membikin kehidupan pribumi begitu sengsara. Hati nurani dan nasionalismenya pun tergugat, tergurah, dan tergugah untuk menyelesaikan kecurangan ini. Ia tersadar akan satu hal, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.

Deskripsi Mas Pram terhadap sejarah adalah deskripsi yang asosiatif, imajinatif. Kalimat-kalimat yang beragitasi sebagai stimulan nasionalisme itu bahkan sungguh deras bak terjunan air niagara yang tak ada habisnya. Saya melihat Mas Pram jujur dalam menulis dan merangkai ceritera yang

mengangkat sejarah di awal-awal Kebangkitan Nasional ini.
Saya tidak ingin terjebak dalam romantisme sejarah yang kabur dan membingungkan. Meski anggota Lekra (yang telah di-judge bersalah karena bagian dari Partai Komunis Indonesia), Mas Pram saya lihat sebagai sosok anak bangsa Indonesia yang menginginkan negerinya bebas dari jeratan penjajahan yang ada, baik yang berupa sistem atau yang berwujud yang lainnya. Ia manusia berpikiran merdeka yang ingin melihat semua ini berakhir. Bahwa Indonesia merdeka seutuhnya adalah harga mati baginya! Bagi rakyat Indonesia, bagi bangsa Indonesia!
“Kita sudah melawannya nak, Nyo! Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya” Nyai Ontosoroh.