Jumat, 22 Juli 2016

Sekali Peristiwa Di Banten Selatan Pramoedya Ananta toer

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUbFlw8ATCyVFfPbr93iUY_PbQb9xUSX1ER7j0TYuWF8BidZIW4cJKvZuhe6GIdEFKRCxW8IxMVLMIv47hm09ByZEownfXFeul13JeY2xScVh_bxku_gi3MPpGiVwKiKkfgBOWMZXDAtc/s1600/banten+selatan.JPG
(novel pram by : nofi)
Barangkali disebabkan kecenderungan politik dan ideologinya, serta plot yang cenderung didaktis (bersifat mendidik), novel "Sekali Peristiwa di Banten Selatan" sering dikesampingkan para pengamat karya Pramoedya Ananta Toer, jika tidak dianggap karyanya yang paling tidak berhasil.

A. Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, hanya membahas novel ini dalam sub bab pendek dibandingkan bahasan atas karya Pramoedya yang lain. A. Teeuw, misalnya menulis: “Watak-watak semuanya digambar dengan warna hitam-putih, latarnya sangat konvensional.” Benar bahwa karakter di novel ini tidak penuh warna sebagaimana kita temukan dalam novel-novel puncak Pramoedya, tapi mengatakannya sebagai hitam-putih tentu penyederhanaan berlebihan. Tokoh Juragan Musa, sang antagonis, bisa menjadi contoh yang menarik.

Di satu sisi, Pramoedya menggambarkan tokoh ini dengan cara begini:

“Juragan Musa masih tetap memunggungi pintu, seakan-akan Ireng tiada berharga bagi matanya. Ia berdiri tegak tak bergerak-gerak sedang matanya meninjau langit, seakan-akan dari langit itu akan turun segala yang diharapkannya.”

Di sisi lain, Pramoedya menulis tokoh yang sama:


“Segera Juragan Musa menatap isterinya dan bertanya://Kau mau mengikuti aku dalam senang dan sengsara, bukan, Nah?//Kau sendiri dengar bagaimana janji nikahku. Cuma soalnya, bagaimana yang sana?//Biar aku ceraikan.//Nyonya menatap suaminya dengan kasihsayangnya.//Aku dalam kesulitan, Nah.//Nyonya tersenyum tak percaya. Tetapi Juragan Musa meneruskan dengan keterangannya://Benar, Nah. Maafkan segala kata-kata yang telanjur tadi.”

Dalam kutipan pertama, kita melihat satu tokoh yang angkuh dan kerap memandang rendah orang lain. Dalam kutipan kedua, tokoh yang sama sekonyong-konyong tampil memelas dan tanpa daya. Memang dalam konteks kutipan pertama, tokoh ini bisa kita anggapkan sebagai orang yang keangkuhannya bersifat hipoktrit (munafik). Pada dasarnya ia seorang pengecut bernyali kecil. Tapi pada konteks kutipan kedua, permohonan maaf yang diajukan kepada istrinya, ia katakan dengan tulus dan mengiba. Penuh kejujuran.

Ini hanya satu contoh mengenai karakter yang bergerak, sama sekali tidak mengindikasikan antagonisme yang tanpa cela.
Naskah panggung

Anggapan hitam-putih ini memang menjadi wajar mengingat bentuk novel tersebut. Di sini ada kesan penulis menghindar untuk menyelami kedalaman jiwa karakter-karakternya. Tak ada arus kesadaran, misalnya. Bahkan tak ada alur maju dan alur mundur, untuk memperlihatkan latar belakang masing-masing tokoh. Novel ini hadir begitu saja, dengan tokoh-tokoh yang hidup di masa itu, tanpa keterangan tambahan kecuali apa pun yang bisa dilihat saat peristiwa di dalam cerita terjadi.

Sesungguhnya hal ini mesti segera disadari oleh setiap pembaca novel ini. Pramoedya sendiri sudah memberi sejenis bocoran untuk memahami bentuk novel ini dalam pengantar yang mengawalinya: “Cerita yang kutulis sekali ini merupakan cerita bacaan, tetapi di samping itu dapat pula dipentaskan di atas panggung.”

Jika kita segera menelusuri halaman demi halamannya, kita segera akan menyadari, ini memang naskah panggung, yang ditulis sedemikian rupa sehingga tidak tampak seperti naskah panggung, namun menjadi semacam cerita bacaan. Tapi bagaimanapun, Sekali Peristiwa di Banten Selatan, bagi saya, tetaplah sebuah naskah panggung. Melihatnya sebagai sebuah novel dalam bentuknya yang konvensional, dengan segala peluang-peluang yang dimilikinya, merupakan ketersesatan awal yang akan sangat mengganggu.

Demikianlah, daripada memberi gambaran tokoh-tokohnya dengan karakter yang bulat, sebagaimana bisa kita jumpai dalam kebanyakan novel Pramoedya, baik sebelum maupun sesudah "Sekali Peristiwa di Banten Selatan", novel ini malahan memberi kesan agar karakter-karakter tokoh ini dihidupkan oleh para aktor. Kita hanya memperoleh deskripsi mengenai latar, tindakan tokoh-tokohnya, dan tentu saja dialog di antara mereka. Bahkan tokoh-tokoh ini kadangkala tak bernama, hanya gambaran kasat mata yang meminta penafsiran untuk panggung, seperti Komandan, Nyonya, Yang Pertama, dan Yang Kedua.

Begitu pula latar yang disebut A. Teeuw sebagai “sangat konvensional”, harus dipahami juga sebagai latar untuk pementasan. Indikasi ini jauh lebih kuat lagi dalam novel ini. Dibagi dalam empat bab, kita segera akan menyadari itu juga merupakan pembabakan. 

Bab pertama, latarnya berada di depan rumah Ranta. Bab kedua, ruang tamu Juragan Musa. 

Bab ketiga, masih di ruang tamu Juragan Musa, namun di waktu yang lebih kemudian. 

Bab terakhir, “terjadi di sebuah halaman sekolah rakyat yang baru dibangun, di sebuah pojokan di bawah pepohonan yang rindang.”

Indikasi panggung ini kadang demikian mencolok sehingga tak mungkin pembaca luput karenanya. Lihat deskripsi "bab kedua", yang tampaknya lebih tepat dikatakan sebagai instruksi kepada sutradara, atau penata artistik panggung:

“Ruang tamu lebar yang terangbenderang. Sepasang sice tua setengah antik yang terpelihara baik terpasang di dekat dinding. Sebuah lemari pajangan berisikan berbagai macam barang pecah-belah tersusun dengan rapi terletak di dekat sice ….”

Akan tetapi, latar ini, jika diperhatikan lebih seksama, segera memperlihatkan perbedaan dengan latar panggung umumnya. Novel ini menyiratkan suatu adegan yang dipentaskan di tempat sesungguhnya, bukan di panggung. Ada suatu dorongan untuk membuatnya menjadi nyata, atau realis.

Dengan cara inilah novel "Sekali Peristiwa di Banten Selatan", sejak awal menuntut untuk dilihat dengan cara yang berbeda. Pada bentuknya, ia memperlihatkan sejenis ambiguitas yang meminta perhatian lebih: di satu sisi ia menampilkan dirinya sebagai novel, namun di sisi lain ia membatasi dirinya sebagai naskah pentas, yang membutuhkan para aktor untuk menghidupkannya. Di satu sisi ia naskah panggung yang penuh kesan artifisial, namun di sisi lain ia mencoba menggambarkan latarnya dengan cara yang lebih hidup, realis, penggambaran dunia yang sesungguhnya.
Sudut pandang ideologi

Masih dalam buku Citra Manusia Indonesia, A. Teeuw kembali memberi komentar atas novel ini: “Seni di sini memang terdesak oleh ideologi.” Lantas, bagaimana posisi novel ini sendiri jika dilihat dari sudut pandang realisme sosialis – suatu paham yang tampaknya mulai dipersiapkan Pramoedya untuk diterapkan sejak ditulisnya novel ini, atau dengan kata lain, ideologi yang hendak diusung sang novel? Jika memang “seni terdesak oleh ideologi”, bukankah lebih adil untuk membedah novel ini dari sudut pandang ideologi yang bersangkutan?

Menurut Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, realisme sosialis adalah “pempraktikan sosialisme di bidang kreasi-sastra.” Maka, novel ini harus dilihat sebagai usaha menerapkan sosialisme, pada dasarnya sosialisme Marxis, dalam penciptaan karya sastra. Pertama-tama, di sini berarti keniscayaan akan adanya kaum lemah, proletar, yang berjuang membebaskan dirinya dari penindasan ekonomi kaum pemilik modal. Hal ini sebagaimana ditandaskan Pramoedya lebih lanjut, bahwa, “Ia merupakan bagian integral daripada kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan pengisapan atas rakyat pekerja.”

Tokoh Ranta adalah representasi dari sosok proletar dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan: “Tubuhnya tinggi lagi besar, penuh dengan otot-otot kasar, menandakan, bahwa ia banyak bekerja keras tapi sebaliknya kurang mendapat makan yang baik.” Mempertegas kelas sosial Ranta: “Sekarang ini mereka yang tentukan hidup kita, Ireng. Mereka!” atau “Ireng, kau ingat waktu anak kita yang pertama sakit keras, pinjam utang pada mereka? Anak kita meninggal. Panen seluruhnya mereka ambil. Kita kelaparan, terpaksa jual tanah. Mereka juga yang ambil tanah kita. Berapa harganya? Tak cukup buat modal dagang di pasar! Ludas! Tandas! Kuras!”

Sementara itu, Juragan Musa dengan karakteristik yang berseberangan:

“Kami kenal Juragan Musa. Dulu dia semiskin aku dan kami semua di sini. Zaman Jepang dia jadi wérek romusha. Barangsiapa pergi, disuruhnya kasih cap jempol. Ternyata cap jempol itu merampas tanahnya. Nah itulah cerita mula-mula dia jadi tuantanah. Dia mengangkat diri sendiri jadi Juragan. Itu belum semua. Kemudian orang-orang yang semiskin aku dipaksanya jadi pencuri!”

Sampai titik ini, Pramoedya telah memperlihatkan pertentangan tersebut. Namun dalam realisme sosialis, jika pertentangan kelas tersebut sebagai suatu kebenaran realitas, maka harus disadari bahwa dalam estetika Marxis dimana realisme sosialis menyandarkan dirinya, realitas itu harus dilihat sebagai suatu perkembangan dialektik, dan dialektik ini sendiri harus dimaknai dalam kerangka struktur masyarakat.

Kembali ke Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, menurut Pramoedya, “Bagi realisme sosialis, setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Realitas tak lain hanya satu fakta dalam perkembangan dialektik.”

Dalam tradisi Marxis yang banyak dikenal, perkembangan dialektik itu dalam penerapannya atas sejarah masyarakat sering dilihat sebagai perkembangan pertentangan dua kelas dari masa ke masa: kelas penindas dan tertindas.

Ada upaya Sekali Peristiwa di Banten Selatan untuk melihat sejarah masyarakat dengan cara yang serupa, meskipun sebatas pada sejarah hubungan para tokohnya, terutama Juragan Musa dan Ranta. “Zaman Jepang apa? Romusha sampai kurus kering, sampai mampus. Zaman Nica apa? Lagi-lagi diuber-uber kena rodi, ditembaki saban hari. Sekarang apa? Diuber-uber DI. Itu belum lagi. Kawan-kawan kita sendiri sekarang sudah sama meningkat jadi juragan …”

Memang tidak secara spesifik terdapat perkembangan dialektik, tapi kita melihat ada kaum tertindas dari masa ke masa. Dialektika bisa kita dapatkan dalam tekanan kalimat terakhir: kawan-kawan kita sendiri sekarang sudah sama meningkat jadi juragan, suatu indikasi perubahan kelas sebagian orang, untuk berbalik menindas kelas yang ditinggalkannya.

Lebih jauh, Pramoedya dengan mengutip Gorky, menegaskan bahwa pendasaran realisme sosialis, pertama-tama, adalah penolakan yang tegas terhadap humanisme-borjuis. Terhadap humanisme-borjuis ini ia menjelaskannya sebagai, “menjurus ke arah anti-humanisme sama sekali, ke arah fasisme, ke arah kebinatangan dan melemparkan kedok humanismenya tanpa malu, dan dalam keadaan mata gelap melahap korbannya dengan tanpa malu-malu lagi.”

Dengan mudah, sikap kebinatangan ini bisa ditemukan dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan, merujuk ke tokoh Juragan Musa dan gerombolan pengacau DI (Darul Islam) di mana Juragan Musa menjabat sebagai residen. Dikisahkan bahwa tokoh ini, seorang tuan tanah kaya, meminjamkan uang kepada orang-orang miskin dan dengan cara licik menuntut pengembalian yang berlebih, membuat orang-orang miskin ini semakin melarat. Dalam keadaan terdesak, mereka disuruh oleh tokoh ini untuk mencuri bibit karet. Bukannya upah yang mereka terima, tapi cambukan dan ancaman. Ada memang uang panjar seringgit, yang tak ada artinya.

Ditandaskan secara verbal:


“Akhirnya, barangsiapa kuat, dia berubah menjadi binatang buas. Tiap hari dia mangsa hidup kita, rejeki kita, anak dan bini kita, kebahagiaan kita, semua-muanya. Binatang-binatang buas ini menarik diri, tidak mau bergaul dengan sesamanya. Mereka keluar dari sarang hanya untuk cari mangsa. Tapi bila sekali waktu binatang buas ini bertemu dengan binatang buas lainnya, kita semua disuruhnya membantu. Orang-orang lemah yang tidak bisa jadi binatang buas, barang ke mana pergi, dia tetap akan menjadi mangsa.”

Relasi struktural

Marilah kita sejenak menengok penulis yang sering menjadi rujukan Pramoedya. Dalam Chelkash, Gorky berkisah mengenai Grishka Chelkash. Ia seorang pencuri, pemabuk, yang hidup di seputaran kota pelabuhan di mana manusia “tampak sepele dibandingkan raksasa-raksasa baja, gunung-gunung barang dagangan, gemerincing lori dan segala sesuatu yang mereka sendiri telah ciptakan. Hal-hal yang mereka ciptakan telah memperbudak dan merampok kepribadian mereka.”

Dari sini sudah tampak bahwa perhatian utama Gorky, pertama-tama, adalah masyarakat kapitalis. Ia menggambarkan masyarakat demikian tak hanya dengan menciptakan karakter pemilik modal yang tamak dan menindas, sesuatu yang agak stereotif, namun juga memperlihatkan aspek pentingnya: mesin-mesin industri, komoditas, dan tentu saja ironi mengenai manusia yang diperbudak oleh ciptaannya. Sebagai kontras, Gorky biasanya menciptakan karakter gelandangan, pengembara, pencuri, atau orang-orang yang secara umum terpinggirkan sepenuhnya.

Dengan kata lain, dalam karya Gorky, sang tokoh biasanya tidak berhadapan dengan kapitalis sebagai persona, tetapi kapitalisme sebagai sistem. Ini sejalan dengan tendensi dalam filsafat Marxis yang melihat persoalan manusia sebagai persoalan struktur masyarakat. Maka alih-alih mengisahkan pertentangan seorang buruh menghadapi majikannya, Gorky cenderung memilih tokoh-tokoh antah-berantah, para pemabuk dan pencuri, gelandangan dan pengembara, yang jika kita andaikan, merupakan yang lebih sial bahkan dari para buruh. Merekalah kaum paria.

Kita akan sulit menemukan hal itu di dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Antagonisnya adalah pengisap secara persona, dijelmakan dalam sosok Juragan Musa, tanpa tahu dalam sistem ekonomi macam apa ini terjadi. Ada kesan Juragan Musa seorang tuan tanah, tapi tak ada kesan bahwa Ranta sebagai penggarap tanah (sulit untuk mengatakan sebagai masyarakat feodal). Ada kesan bahwa Ranta adalah seorang pekerja yang diupah kecil oleh Juragan Musa, tapi tak ada kesan Juragan Musa sebagai seorang pemutar komoditas (sehingga juga sulit untuk dikatakan masyarakat kapital).

Selain mereka berdua, ada dua elemen sosial penting yang ditemukan dalam novel ini. Yang pertama kemunculan sosok Komandan, merepresentasikan militer secara umum. Yang kedua adalah DI atau Darul Islam, direpresentasikan sebagai gerombolan pengacau keamanan. Di sini, kita hanya menemukan fakta sederhana bahwa DI merupakan musuh masyarakat sebab apa yang mereka lakukan hanyalah membuat rakyat lebih menderita. Di sisi lain, Komandan dan para prajuritnya sebagai sahabat rakyat, yang membebaskan mereka dari kesengsaraan.

Akan tetapi, kita tak menemukan relasi-relasi struktural di antara mereka. Atau dengan kata lain, sosok-sosok ini kehilangan tempat dalam suatu sistem masyarakatnya, disebabkan ketidakhadiran sistem itu sendiri secara benderang. Dengan cara yang lebih sederhana, kita tak menemukan motif-motif kekacauan dan pemberontakan yang dilakukan oleh DI, misalnya, serta militer sebaliknya.

Padahal, dalam estetika Marxis yang ideal, relasi-relasi struktural ini menjadi sangat penting, sebab di sanalah terdapatnya pertentangan kelas-kelas. Barangkali perlu diingatkan bahwa, dalam filsafat Marxis, struktur masyarakat dilihat dalam dikotomi suprastruktur dan basis-struktur, di mana basis-struktur merupakan sistem ekonomi yang berlangsung dan memengaruhi aspek kehidupan yang lain. Dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan, kita hanya menemukan efek-efek akhir yang menyengsarakan dari suatu sistem ekonomi serupa “lewat jalan yang kita buat sendiri kita bayar pajak pada onderneming”, tanpa tahu bagaimana sistem ekonomi ini memaksa onderneming memungut pajak.

Sebagai perbandingan yang lain, misalnya, kita menemukan bagaimana sistem kolonialisme dijalankan, bahkan dalam skala yang kompleks, dalam Tetralogi Buru. Sesuatu yang tidak tampak di Sekali Peristiwa di Banten Selatan, bahkan dalam skalanya yang paling sederhana.

Lebih jauh, memang tampaknya bukan hal mudah untuk menerapkan realisme sosialis, atau estetika Marxis, atau bahkan filsafat Marxis, ke dalam karya sastra atau kerja kreatif lainnya. Tentu itu kerja tambahan untuk para penganjurnya, satu hal yang Pramoedya sendiri mungkin belum setengah jalan menjelajahinya.