Selasa, 14 Juli 2015

Tempo Apakah kau baik-baik saja

Whistleblower terus bermunculan di Indonesia, sejak 1998 lepas dari cengkeraman Orde Baru yang rasanya sulit mengungkap borok negeri yang menggurita.

Namun sayangnya tidak diikuti oleh media mainstream yang seharusnya menjadi pengabar fakta, pemberi cahaya terang dalam kegelapan, bukan malah bersekongkol dengan mafia, godfather atau para cukong yang malah menjadi pengabur fakta dan membunuh para musuh cukong dan mengumbar sentimen anti islam yang kental. Inilah kekejaman media mainstream dengan menghakimi opini massa, 'trial by press'.

Masyarakat media tahu, borok Majalah Tempo dan media mainstream seperti Kompas itu bukan hal yang baru dalam dunia media massa yang memang terlanjur menjadi kelaziman, ungkapan Si cukong siap menyetor sejumlah uang yang di minta, asalkan wajahnya bisa tampil di layar kaca memang benar adanya. "Ada Uang, Abang Tayang di media, Ga ada uang abang di tendang." Bah, macam cewe matre kali lagaknya...

Kita bersyukur masih ada media pengobar kebenaran seperti media-media islam dan akun whistleblower seperti @Triomacan2000 yang berani ungkap konspirasi dan korupsi pejabat negeri, Iwan Piliang mengungkap pelarian Nazarudin ke Kolombia, dan keberanian mengungkap borok media mainstream yang dilakukan oleh Jilbab Hitam dan Hendra Boen. Terlalu banyak pertempuran dalam negeri ini.

Tulisan si 'Jilbab Hitam' yang berani dan frontal sehingga Pimpinan Kompasiana bagaikan mati ketakutan ketika tulisannya menyudutkan Tempo dan tulisan yang sempat tayang itu di hapus. Lalu apa artinya peringatan yang di tampilkan oleh Kompasiana pada akhir setiap tulisan yang tayang di Kompasiana “ Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.”

Kalau memang Kompasiana harus menghapus tulisan yang tampil di Kompasiana, maka lebih baik peringatan ini tidak usah di Tampilkan dan tidak perlu untuk menghapus tulisan Jilbab Hitam tersebut. Biarlah masyarakat yang membaca tulisan itu yang menilainya, benar atau tidak apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam.

Tak heran memang, karena berseberangan dengan cukong, maka Kompasiana pun menghapus tulisan 'Jilbab Hitam'.

Lalu apa standar kriteria pemberitaan media Tempo?

Hendra Boen ungkap kriteria pemberitaan Tempo adalah memakai standar jurnalisme Amerika Serikat. Selain petinggi-petinggi Tempo seperti Gunawan Muhammad dan Bambang Harymurti mengagung-agungkan media massa Amerika yang siapapun tahu dikendalikan oleh konglomerasi media besar dunia Rupert Murdoch, petinggi Tempo juga kerap menghina standar jurnalisme Indonesia yang hendak dibangun orde baru sebagai standar yang buruk dan membungkam kebebasan pers. Mereka merujuk pada kartel media yahudi yang menguasai 96% dan menguasai "mind control" warga Bumi.

sumber : Waspada! Mind Control Kartel Media Yahudi Pengaruhi Tempo.


Standar Media Amerika qq. Tempo adalah:

1. Isi berita tidak perlu benar selama disebutkan sumbernya. Sumber ini sendiri bisa tidak diungkap ke publik dengan alasan demi melindungi si sumber pemberitaan.

2. Bila ada yang keberatan dengan berita dapat mengajukan hak jawab atau mengadu ke dewan pers yang independen dan bebas dari intervensi negara.

3. Persoalannya adalah standar jurnalisme Amerika sangat rendah, dan dengan standar seperti itu maka setiap jurnalis bisa menulis berita bohong dan fitnah sekeji atau sevulgar apapun dengan cukup mengatakan “menurut sumber yang dipercaya”, dan siapapun yang dirugikan karena pemberitaan tidak bisa melakukan apapun juga sebab tulisan di atas sudah memenuhi standar jurnalisme, yaitu: tidak perlu benar, ada sumber berita walaupun tidak disebut yang mana tidak ketahuan apakah benar ada sumber atau tidak.

4. Bahkan kalaupun sumbernya disebutkan namanya, jurnalis tidak diwajibkan untuk memeriksa kredibilitas sumber berita maupun kredibilitas berita itu dan dia bebas. Jadi media massa seperti Tempo bisa mewawancara katakanlah orang gila di pinggir jalan dan si orang gila itu mengatakan “Keluarga SBY korupsi”, dan pernyataan orang gila ini sudah cukup dijadikan sebagai sumber berita dan berita tersebut valid menurut kode etik pers Indonesia.

5. Mengirim hak jawab juga tidak menyelesaikan masalah, sebab dewan pers yang dikuasai orang-orang Tempo itu telah mengeluarkan putusan bahwa media massa berhak menerbitkan hak jawab atau tidak dan berhak mengubah hak jawab tersebut sedemikian rupa sesuka hati media massa tersebut dan tidak ada yang bisa dilakukan pihak pengirim hak jawab untuk memprotes hal ini, padahal menurut aturan setiap media harusnya wajib memuat hak jawab.

6. Mengirim keluhan ke dewan pers juga sama saja sebab sesama anggota jurnalis memiliki semacam solidaritas yang tinggi untuk tidak menghukum sesamanya dan dengan standar pemberitaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga melindungi jurnalis, sehingga semakin meminimalisir dewan pers menghukum jurnalis karena pemberitaan.

7. Yang disebut sebagai “cover both side” juga sama saja, apakah ada pengaruh bila sepanjang sepuluh halaman lebih seseorang disebut diktator korup tetapi jawaban yang bersangkutan bahwa dia tidak korup hanya diletakan di satu halaman atau setengah halaman?

8. Silakan bandingkan kualitas kode etik pers era Orde Baru dan sekarang, maka akan kelihatan bedanya seperti bumi dan langit di mana kode etik jaman orde baru menjamin berita dari pers dibuat secara berimbang dan hati-hati namun dalam tekanan penguasa, sedangkan kode pers hari ini memastikan pers memiliki kebebasan dan imunitas penuh untuk memfitnah dalam tekangan mafia dan cukong.

Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Bila melihat perjalanan sejarah Indonesia tentu tidak bisa tidak kita harus menunjuk hidung Gunawan Muhammad, Tempo dan klik LBH Jakarta.

Bila diperhatikan, maka jelas isi artikel Jilbab Hitam memenuhi isi kode etik pers, dia ada sumber berita yang mana tidak diverifikasi benar tidaknya, akan tetapi hal ini sesuai etika pers, dan Tempo telah memberikan hak jawab mereka.

Apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam bukan lah hal yang baru di dalam dunia kewartawanan. Memberitakan dengan tidak memberitakan dengan tujuan uang adalah hal yang biasa. Makanya ketika penulis membaca selait di layar kaca yang mengatakan wartawan kami dilarang untuk menerima amplop dari siapapun untuk pemberitaan, membuat penulis tersenyum miris. Karena apa ucapan itu tak lebih dari sebuah lelucon.

sumber : Standar Media Islam


Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu". [Al Hujurat : 6].

Dalam ayat ini, Allah melarang hamba-hambanya yang beriman berjalan mengikut desas-desus. Allah menyuruh kaum mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua berita yang dicuplikkan itu benar, dan juga tidak semua berita yang terucapkan itu sesuai dengan fakta. Ingatlah, musuh-musuh kalian senantiasa mencari kesempatan untuk menguasai kalian. Maka wajib atas kalian untuk selalu waspada, hingga kalian bisa mengetahui orang yang hendak menebarkan berita yang tidak benar.

Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti"

Maksudnya, janganlah kalian menerima (begitu saja) berita dari orang fasik, sampai kalian mengadakan pemeriksaan, penelitian dan mendapatkan bukti kebenaran berita itu.

Akankah bangsa ini sanggup atasi beban? Akankah Jilbab Hitam gantikan Trio Macan? Atau Jilbab Hitam perlu pinangan Peci Hitam?

sumber : voa-islam.com


Mengerikan dan Brutal, TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?

Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO.

Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO. Apalagi, sebagai awam saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata dari kosakata ‘Jelas’.

“Jelas nggak nih acaranya?”

“Ada kejelasan nggak nih?”

“Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?”

Kira-kira begitu pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’.

Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi jujur sangat jijik dengan perilaku tersebut.

Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya dulu sekali, saya merasa lega.

“Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media-media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang” pikir saya.

Dulu, saya berpikir, media besar seperti TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain seperti itu.

Namun fakta berkata lain. Sempat tidak percaya karena begitu dibutakan kekaguman saya pada kewartawanan, Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya, saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan lain-lainnya, rupanya terlibat juga dalam jejaring permainan uang.

Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media Bodrek bermain uang dalam peliputannya. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya Uang Receh.

Mafia-nya bukan disitu. Media-media Bodrek bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi, pemerintahan. Adalah media-media besar seperti TEMPO, Kompas, Detik, Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang wartawan.

Siapa tak kenal Fajar (Kompas) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam permainan uang di kalangan wartawan perbankan?

Siapa tak kenal Kang Budi (Antara News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?

Siapa tak kenal duet Anto (Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri?

Banyak lagi lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya kehilangan iman.

Adalah Bambang Harimurti (eks Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat Dewan Pers, juga salah satu orang kepercayaan Goenawan Mohamad di grup TEMPO) yang menjadi kepala permainan uang di dalam grup TEMPO.

Siapa bilang TEMPO bersih?

Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie.

Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang sebut di atas.

Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman saya di Jawapos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawapos) adalah, gaji para wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen Jawapos menganjurkan para wartawannya mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.

TEMPO berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan.

Media sekelas TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang.

Memangnya, ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?

Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)?

Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery?

Memangnya, ketika grup TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Saat itu, Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar.

Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?

Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena fundamentalisme saya yang begitu buta terhadap TEMPO, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan hanya fakta soal permainan mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa media-media besar bersama wartawan-wartawannya, lebih jauh terlibat dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan.

Mereka, media-media besar ini, tidak bermain Receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi, juga transaksi korporasi kelas berat.

Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri bahwa permainan uang dan jual beli pencitraan juga terjadi pada media tempat saya bekerja, TEMPO. Dikepalai oleh Bambang Harimurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup TEMPO, kini tidak hanya bergerak dari dalam TEMPO, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka, masih di bawah Bambang Harimurti.

Saya pribadi, memutuskan resign dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran TEMPO, kejorokan media-media di Indonesia, kejijikan melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.

Praktik mafia TEMPO kini semakin menjadi-jadi.

Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari permainan kotor TEMPO.

Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah yang kini bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri Iskandar Tumbuan.

Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, pak Iskandar pun pamit.

Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan TEMPO dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.

Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul perilaku wartawan.

Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya.

“Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi ya itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan memang tidak diizinkan menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan, transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK, pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya.

“Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari KataData. Itu lho lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira KataData murni bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya KataData juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi KataData menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya.

“Rekomendasinya sih menarik, KataData menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim KataData juga sudah bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya.

“Data-data yang ditampilkan KataData memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama KataData. Kalau tidak salah waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya? Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia.

“Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain KataData juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.

“Eeh, tau-tau Pak Iskandar bilang, gila, TEMPO makin jadi aja kelakuannya. Masak BHM (Bambang Harimurti) sampai menelpon langsung ke pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin) terkait proposal KataData yang memang belum kita respon karena masih memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tau lah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan KataData bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data akan dipublikasi, tentunya dalam cara TEMPO mempublikasi data dong yang selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.

“Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingati soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) TEMPO grup adalah terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri) bersikeras tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan memberikan respon cepat terhadap proposal KataData pun disampaikan kepada BHM (Bambang Harimurti),” singkap dia.

“Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO edisi 18 Agustus 2013 dengan judul Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia.

“Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan Kerah Putih dari jejaring TEMPO (Bambang Harimurti), KataData (Metta Dharmasaputra, Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan pendana utama KataData). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tau kalau TEMPO sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia.

Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur kalau saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak Kompas, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan lain-lain.

Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi tempatmu bekerja.

Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karirmu akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring wartawan, media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup TEMPO telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan.

TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup TEMPO telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, departemen dan sebagainya.

Saya bersyukur dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin bekerja sebagai buruh biasa seperti yang saya lakukan kini.

sumber : Insya Allah jauh dari dunia hitam. (Jilbab Hitam, mantan wartawan Tempo/ KCM/Kompasiana) yy/rimanews.com


Kompasiana: Tulisan Jilbab Hitam Provokatif

Pengelola media sosial Kompasiana, Pepih Nugraha, mengatakan tulisan berjudul "Tempo Dan Kata Data Memeras Bank Mandiri Dalam Kasus SKK Migas" dicabut karena dianggap memojokkan seseorang atau instansi. Tulisan itu, kata Pepi, mengandung unsur provokatif.

Menurut Pepi, dalam Kompasiana, ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh pemilik akun. Jika dianggap melanggar, maka tulisannya akan dihapus. Jika sampai tiga kali melakukan yang sama, maka akan dilakukan pencabutan akun.

"Tulisan milik akun Jilbab Hitam kami hapus, tapi akunnya tak kami cabut," kata Pepih saat dihubungi, Selasa, 12 November 2013.

Majalah Tempo bersama lembaga riset Katadata dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh akun Jilbab Hitam, yang mengaku sebagai bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013.

Setelah dilakukan penelusuran, kata Pepih, akun Jilbab Hitam terbukti memiliki itikad tidak baik. Ini bisa terlihat dari akunnya yang masih baru. Akun yang baru dibuat itu pun baru menerbitkan satu tulisan. "Akun dan e-mail-nya yang digunakan juga masih baru. Dia memang seolah sengaja," kata Pepih. Selain itu, e-mail yang sama juga memiliki blog dengan nama Jilbab Hitam.

Pepih menyayangkan sikap pemilik akun Jilbab Hitam yang tak mau terbuka. Menurut dia, sebelum tulisan itu dihapus, dirinya sempat berkomentar di tulisan tersebut, tetapi tak ada balasan. "Terlepas benar atau salah tulisan itu, harusnya penulis mau muncul dan bertanggung-jawab," ujarnya. Pepih mengatakan, karena Kompasiana lebih bersifat tulisan opini, sebenarnya Tempo juga bisa mengkonfirmasi dengan menerbitkan tulisan di media yang sama.

sumber : [id.berita.yahoo.com]


PKS: Tudingan “Jilbab Hitam” Soal Tempo, 1001% Benar

Opini publik terbelah setelah Kompasianer “Jilbab Hitam” mengobral upaya pemalakkan yang dilakukan petinggi Tempo Group terhadap menejemen Bank Mandiri. Jilbab Hitam tak hanya menyebut Tempo, tetapi media-media besar lainnya.

Akun Twitter @pkspiyungan, yang dikelola kader-kader militan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yogyakarta, ikut angkat suara. @pkspiyungan memastikan bahwa isu yang dilempar “Jilbab Hitam” adalah benar.

“Dapet inpo dari Bang DW si Jilbab Hitam itu seorang pria.. tetapi semua yg disampaikan 1001 persen bener,” kicau @pkspiyungan.

Sebelumnya, Senin (11/11), Jilbab Hitam menulis, Majalah Tempo bersama lembaga riset Katadata telah melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus mantan Ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini.

Penulis yang mengaku sebagai bekas wartawan Tempo angkatan 2006 itu menyebut Direktur Utama Tempo Bambang Harimurti (BHM) telah menelepon Dirut Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, menanyakan soal proposal Katadata. Katadata sebelumnya menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Di Bank Mandiri, Rudi tercatat sebagai komisaris bank pelat merah itu.

Jilbab Hitam menyatakan, karena Bank Mandiri tak meloloskan proposal Katadata, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk “Setelah Rudi, Siapa Terciprat?” pada edisi 18 Agustus 2013 dengan cover Rudi Rubiandini.

Atas tudingan akun anonim Jilbab Hitam itu, pihak Tempo menyebut tulisan itu sebagai fitnah. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli menyebut sejumlah kejanggalan terkait tudingan Jilbab Hitam itu.

Salah satunya adalah, menurut Jilbab Hitam, proposal Katadata sudah ada di Direksi Bank Mandiri selama dua minggu. Padahal, Rudi ditangkap KPK pada 13 Agustus 2013. Sementara Majalah Tempo dengan sampul Rudi terbit pada 19 Agustus.

sumber : [itoday.co.id]


Lonceng Kematian Media dari Si Jilbab Hitam

Laksana lonceng kematian, artikel berjudul “Mengerikan dan Brutal, Tempo dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas” yang ditulis oleh oleh sosok misterius dibalik identitas anonim Jilbab Hitam, membuat panik sejumlah pihak. Lini masa geger oleh artikel provokatif dan berani, yang ditulis laksana mengurai jeroan media massa yang selama ini tak banyak diketahui publik.

Artikel itu awalnya diposting di Kompasiana, namun kemudian dihapus oleh pihak pengelola dengan alasan provokatif. Tapi apa mau dikata, arus informasi sosial media tak terbendung. Independensi pegiat lini masa sebagai wilayah suci yang sangat privat, tak bisa diintervensi. Dengan cepat artikel itu malah nongol di berbagai halaman website. Ibarat kata, mati satu tumbuh seribu.

Secara blak-blakan, Jilbab Hitam yang mengaku bekas wartawan Tempo, membongkar praktek yang ia sebut permainan uang di kalangan wartawan. Praktek ini ternyata tak hanya terjadi pada media-media yang tidak jelas atau media Bodrek dengan bayaran ecek-ecek, namun juga telah merambah ke mafia jual beli pencitraan lembaga-lembaga ternama, memanfaatkan media sebagai corong kamuflase.

Kesaksian Jilbab Hitam di dalam tulisan memang cukup meyakinkan, sebab ia menguraikan sejumlah kongkalikong pimpinan media secara kronologis dan detail hingga menyebutkan nama dan tempat. Jilbab Hitam juga mengaku menyaksikan secara telanjang mata serta ikut terlibat berkomunikasi untuk mengawal pencitraan sebuah perusahaan oleh satu media, tentu saja dengan nilai transaksi yang besar. Seperti judul artikelnya, Jilbab Hitam secara ‘brutal’ menguak praktek menjijikkan dalam dunia jurnalisme tersebut.

Setelah berkali-kali membaca artikel itu, juga membaca klarifikasi yang disampaikan oleh pihak-pihak yang disebut namanya, termasuk Tempo, guna membanding informasi, sebagai pembelajar dan pegiat media sebenarnya saya tidak begitu kaget. Di Indonesia, selentingan kabar soal main mata antara pemilik dan atau pimpinan media dengan berbagai pihak yang berkepentingan untuk pencitraan, seperti partai politik, perusahaan hingga pemerintah memang santer terdengar.

Ketika sejumlah pemilik media kemudian ramai-ramai memanfaatkan ruang publik mengendarai media yang mereka miliki untuk mengampanyekan diri sebagai capres/cawapres misalnya (seperti kampanye Abu Rizal Bakrie di TV One dan Antv, Surya Paloh di Metro TV dan Wiranto-Harry Tanoe di RCTI, Global TV, MNCTV,dll) dalam varian format berupa iklan maupun dalam bentuk berita, kabar burung itu menjadi lebih terang. Media memang telah dikangkangi kepentingan kuasa dan kapital. Tapi tidak semua.

Tulisan Jilbab Hitam, mengungkap semua permainan dari dalam, berdasarkan kesaksian mata yang dialaminya. Sungguh sebuah episode menarik, mengingat peran media sangat vital di era informasi sekaligus periode transisi demokrasi ini. Kebenaran, kini seolah hanya milik media. Bagi para pendewa citra, 'sabda' media kerap diposisikan melebihi kebenaran kitab suci. Tapi syukurlah, si mbak Jilbab Hitam, melalui artikel provokatif tapi asyik itu, membantu kita mendesakralisasi media yang hampir-hampir menjadi setengah dewa.

Jauh sebelum Jilbab Hitam menulis perihal permainan media, di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi yang telah mapan, juga tak lepas dari praktek jual beli pencitraan memanfaatkan media massa. Sangat menarik buku yang ditulis oleh Danny Schechter berjudul The Death of Media yang secara gamblang menguak praktek culas media di negeri Abang Sam sana. Temuan Danny di AS membongkar praktek perselingkuhan raksasa media dengan para pemilik modal sekaligus sponsor pemerintah. Danny mengatakan, konsolidasi korporasi yang begitu besar membungkam sejumlah suara yang ada di dalam media-media Amerika. Sebagaimana kenyataan menunjukkan, bahwa sejumlah acara berita telah dikendalikan sejumlah konglomerat media raksasa.

Danny memang konsisten menjadi kritikus media-media aurs utama. Danny juga menulis buku When News Lies : Media Complicity and The Iraq War, berisi gugatan atas kebohongan dan manipulasi yang dilakukan oleh raksasa-raksasa media sebagai pengendali informasi global terkait perang Irak. Jika media-media di Barat yang secara ekonomi telah mapan, begitu tergiur oleh kapital, lantas bagaimana dengan media di Indonesia yang kerap nampak tidak sabaran sehingga menelanjangi diri sendiri tentang kepentingan bos besar yang ia bawa.

Padagalibnya, media membawa misi suci. Media laksana pencerah, penyambung lidah kebenaran, penyampai informasi dan penyiar kabar. Karena itu, media kita beri keistimewaan , menggunakan gelombang udara dan ruang publik. Konsekuensinya, karena segala keistimewaan yang melekat itu, maka mutlak bagi media untuk bekerja melayani kepentingan publik. Ketika ada media yang coba-coba bermain dengan kepentingan publik, benar kiranya bila kita kubur ia dalam-dalam. Mungkin benar bila ada pemikiran genit mengatakan, saatnya kita mengubur media di tumpukan sosial media, termasuk dengan cara memanfaatkan linis masa untuk membongkar berbagai skandal jual beli berita, manipulasi fakta dan kamuflase citra yang mereka lakukan.

Bila tidak kritis sebagai konsumen media, kekhawatiran Danny terhadap demokrasi Amerika, juga bisa terjadi di Indonesia. Danny menulis, “Demokrasi Amerika sedang rapuh. Kebebasan kita kini terancam. Proses politik kita sedang dalam bahaya. Bunyikan lonceng peringatan, sekarang juga!”

sumber : Jusman Dalle Personal Blog

semua sumber tuisan-tulisan ini :

http://jusman-dalle.blogspot.com/2013/11/lonceng-kematian-media-dari-jilbab-hitam.html
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=87620:ketika-jilbab-hitam-ungkap-borok-etika-pemberitaan-tempo&catid=53:berita-nasional&Itemid=340
http://www.rimanews.com/read/20131111/126044/mengerikan-dan-brutal-tempo-dan-katadata-%E2%80%98memeras%E2%80%99-bank-mandiri-dalam-kasus-skk