Selasa, 14 Juli 2015

Aku Sjuman Djaya

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYmyQwMmQYAp_TZ9rPmN7ByyfY4xz-sxxqIk8C3nxDy5qQRkrwJYvNUmY2DlsHnmgmtgZ-iTPrlhtYTF3WhFi1OM9C5zRAMlHWpKlY-nclmewy_f8AWcEqeqvCceivq24sNrC0vwo7wQw/s320/DSC00130.JPG

Siapa yang tak kenal dia. Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Sempat terpinggirkan oleh zaman Jepang. Perang yang terus berlalu lalang tidak membuatnya gentar ataupun takut. Sosok penyair bohemian yang rindu akan kebebasan, sempat merdeka meski belenggu penjajahan mengangkang.Tak peduli peluru menerjang kulitku, aku tetap meradang menerjang, luka dan bisa kubawa berlari, hingga hilang pedih peri dan aku akan lebih tidak peduli, aku mau hidup seribu tahun lagi.Sederet larik di atas, dengan kata sederhana namun memberikan energi, kekuatan bagi mereka yang mendengarnya. Dia sang penyair liar, Chairil Anwar. 

Kehidupannya yang amburadul, anti kemapanan tak membuatnya gerah menghadapi rumitnya pada saat ia mengangkangi bumi ini. kehidupan setiap orang memiliki warna-warni yang saling berbeda dan hal itulah yang membuat hidup ini terasa manis.

Seperti kehidupan Chairil yang juga sosok manusia biasa yang ingin berteriak pada dunia, bahwa, Aku ingin bebas dari segala, Merdeka... Kendati bebas, ia lantas tak hanya berpangku tangan saja melihat situasi kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Setiap untaian kata-kata yang keluar dari mulutnya dan goresan tinta di secarik kertas buram, mampu menelurkan sajak-sajak yang akan membuat dirinya dikenang di masa mendatang, menjadi maestro penyair terkemuka dalam kasusastraan indonesia angkatan 45.Alur cerita kehidupannya yang menceritakan dia sosok penyair fenomenal tak di dapatnya secara instant begitu saja. Meminjam kata-kata iwan fals, bukan tujuan yang dicari tapi prosesnya. Itulah yang dilakukan Chairil dalam hidupnya, meski dia mati muda. Tak habis-habis orang membicarakan karya-karyanya dan kehidupannya. Dia mampu mengubah ketakutan pada Jepang kala itu menjadi senjata untuk kreatif dalam kata-kata sajaknya.

Proses hidup yang terus dijalani mampu memberikan cerminan realitas dirinya pada saat itu. Hidup yang tak monoton. Berliku-liku tak mudah ditebak dan penasaran.Proses hidupnya itulah yang membuat si penulis, Sjuman Djaya menulis skenario tentang kisah perjalanan dan karya-karya penyair Chairil Anwar. Judul sajaknya “AKU” telah membuat pemerintahan Jepang, kala itu sempat ketakutan karena isi lirik-liriknya yang menimbulkan semangat pemberontakan, keberanian. Hingga Jepang mengubah judulnya “Semangat” untuk mengaburkan sajak itu.

Skenario yang belum sempat dibuat filmnya karena keterbatasan ruang dan dokumentasi saat itu tak membuat kesegaran isinya hancur remuk hilang bentuk. Malah sebaliknya sederetan kata-kata dalam skenario dibawakan dengan apa adanya, menimbulkan kebaruan.Referensi yang dicari dari mana-mana, teman sesama penyair, keluarganya dan orang-orang yang merasa kenal dengan dirinya membuat naskah ini kelihatan hidup dan berbobot.Buku ini memuat skenario perjalanan penyair Chairil Anwar dari ketika dia dalam masa-masa kecilnya bersama nenek dan ibunya, ketika beranjak menjadi pemuda liar, dan sempat angkat senjata berjuang melawan penjajah hingga pembuktian kedewasaan melalui kisah cinta romantis bersama wanita-wanita yang pernah hidup dengannya. Begitu juga ketika dia sesaat TBC merenggut nyawanya.

Sjuman Djaya mengambil sosok Chairil menjadi pelaku utama dalam sandiwara ini. Dan rasa senang, sedih, angkuh dan, marah diungkapkannya secara apik. Buku ini, lebih cocok skenario ini enak dibaca karena pilihan diksi san kata-katanya sederhana, begitu juga sajak-sajak Chairil, sederhana tapi tak menghilangkan makna. Lewat karya Chairil dan Sjuman Dyaya bisa terdengar gaungnya hingga sekarang. Meski keduanya telah tiada namun karya-karya mereka mampu kita nikmati dan rasakan. Teringat pesan dari anonim: bahwa ter penting bukan bagaimana dia mati, namun bagaimana ketika mereka saat hidup. Mari kita baca karya mereka dan tak lupa kita renungkan.