Bahasa memang selalu menyiman misteri. Yang tak pernah kompromi dengan dua jenis manusia. Laki-laki begitu juga perempuan, yang telah dikalahkan oleh bahasa yang dinamakan bahasa seksis. Bagaimana geliat seksis telah membuat banyak sekali daya pikir dan stereotip dua jenis manusia itu saling merendahkan secara langsung, tidak langsung, sadar, tidak sadar, dan musti saling menjatuhkan salah satunya. Namun alangkah mirisnya kaum perempuan selalu paling banyak menerima seksis secara berkala. Budaya yang terus menerus. Sehingga membuat banyak sekali imbas sampai kerugian secara moral dan psikis. Entah dari mana bahasa ini namun sesungguhnya hal ini tak pantas untuk dilanjutkan. Verbal menjadi senjata, kebiasaan menjadi alasan, bagaimana ini harus selesai dan memakai pemakluman beserta kesiapan diri menerima sebuah kesetaraan yang sangat-sangat sulit dicapai antara kaum laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan haknya lalu menyelsaikan kewajibannya. Dalam konteks lingkungan sosio-masyarakat kita. Yang dimana dari mulai kecil, sampai dewasa dijejali dengan sebuah pembiasan gender dalam bahasa dan labelisasi yang melekat disetiap kepala masing-masing manusianya. Sehingga membuat iklim yang semakin runyam dengan segala problema beserta ketidakseharusan yang tetap berjalan dan penuh pembiaran-pembiaran secara strukturan, sistematis dan masif.
Seksi membuat bias gender semaki menunjukan bawah kejadian-kejadian seperti ini adalah sebuah cara dimana semua pembodohan secara besar-besaran masih berjalan. Dan membuat menurunya kualitas generasi yang semakin terlihat nyata. Namun itu masalah besarnya yang jelas-jelas sulit diatasi dalam waktu puluhan tahun. Seksis telah adalah efek dari masalah fundamental yang sangat sulit dirubah. Kebiasaan memang tak pernah diketahui akarnya. Kecuali kita mengetahui dari sebuah kebohongan yang disepakati (sejarah). dimana yang kuat yang menang dan yang menang akan menentuakan sebuah sejarah dan darisitulah akan menimbulkan sebuah hal yang kita lakukan secara terus menerus lantas akan kita sebut sebagai kebiasaan. Dimana hal itu selalu mengikat dan sulit dilepaskan dengan acar apapun. kebiasaan telah melekat di diri kita sebagai manusia yang masih bisa dikalahkan oleh keinginannya sendiri. Menimbulkan begitu bertumpuknya problema mengenai pencarian diri. Prasaka memang bukan akar dari sebuah seksis. Dimana motif yang sekadar berlatar belakang ketidak sukaan atas manusia satu kepada yang lainya, kelamin laki-laki kepada perempuan ataupun sebaliknya. Namun prasangkan selalu biasa menimbulkan sebuah stereotip dimana hal itu bisa memicu sebuah seksis dan bahasa tubuh yang rasis cenderung seksis. Diamana hal itu membuat segala negatifisme brainstrom memicu untuk menimbukan output-output negatif untuk memuaskan rasa ketidaktrimaan dan ketidaksukaan atas suatu hal.
Ruanglingkuang seksis language atau bahasa seksis menag sekadar sebuah bahasa sebagai medium. Medium untuk menyatakan pesan atau cara berkomunikasi demi mencapai apa yang diinginkan.bahasa menjadi sebuah medium yang sangat fundamental. Namun bahasa juga bisa menjadi bias. Terutama jika bahasa digunakan sebagai medium bahasa seksis. Makan akan menimbulkan banyak sekali biasa gender yang merugikan jenis kelamin lainya. Karena bahasa seksis secara sederhana adalah meninggikan salah satu jenis kelamin dan merendahkan yang lainya. Sehingga menimbulkan banyak sekali sebuah kesenjangan dan kepercayaan diri yang tinggi atas pengakuan secara luas bahwa atas status siapa yang lebih baik antara kelamin satu dan lainya. Seperti perempuan dan laki-laki yang memang memiliki banyak sekali perbedaan namun diciptakan secara berdampingan. Keselaran memang dibutuhkan. Tetapi kenyataan yang berjalan. Laki-laki menjadi garda depan, sedangkan perempuan berusaha untu setara saja, dari dulu hingga kini syarat dengan pengorbanan dan seksis dalam bahasa beserta tekanan-tekanan bertubi-tubi dari laki-laki.
Kenapa perempuan selalu merasa bahwa dirinya selalu direndahkan dan dianggap nomor dua dari pada lawan jenisnya yaitu laki-laki. Sehingga menimbulkan banyak kecaman, protes, dan muncul banyak sekali ilmu-ilmu yang menkaji hal ini. bagaimana gejolak antar gender yang ingin disetaraan dalam segala aspek kehidupan. Demi tak terjadinya fedalisme gender atau tindakan yang semaunya sendiri. Perempuan dan laki-laki menjadi objek pengkajian yang cukup mudah. Karena dari mereka selalu ada fakta dan realita mengenai bahwa budaya-budaya seksis masih bisa berjalan dalam lingkungan sosio-historys yang cukup padat. Ataupun di tempat-tempat kepulauan, pedalaman atau pedesaan. Masih banyak sekali seksis dan bias gender. Yang dimana hal itu terjadi dikarenakan budaya dan yang mereka sebut adalah kebiasaan dalam menyebutnya dengan medium bahasa dan menyikapinya dalam sebuah persepsi mengenai lingkungan sekitar.
Belum ada cara atau solusi pragtis. Mengenai bagaimana menghilangkan sebuah budaya buruk apalagi mengenai bahasa seksis ini. bagaimana realitanya sehingga mampu membuat efek, masalah, imbas, dan terutama kemerosotan moral yang tampa henti semakin berevolusi dengan banyak sekali acecories zaman dan globalisasi umur panjang berkesinambungan ini. namun seksis yang berasal dari sebuah pengadopsian bahasa dalam konteks bias gender. Namun anehnya seksis ini lebih cenderung keperempuan. Baik survei dari luar negri seperti ingris maupun di indonesia seperti dimadura. Perempuan masih menjadi objek seksis language. Yang nampak rapuh dan selalu disebut-sebut.