“Apa tidak kau lihat rudal meluncur dan menghantam bangunan-bangunan. Jeritan, teriakan, erangan, dan berbagai macam suara dengan bahasa yang takku mengerti, menjadi soundtrack video yang ditampilkan ditelevisi sore tadi. Mayat-mayat bergelimpangan dengan jarak yang berjauhan. Dari mulai anak-anak sampai orang dewasa histeris saat memikul mayat seorang anak kecil yang hancur badannya. Keadaan kota seperti tak berpenghuni. Jalanannya rusak parah, bagunannya tak rupa-rupa, yang kelihatan menghiasi setiap sudut hanya tentara memegang senjata beraneka ragam rupanya. Aku binggung kenapa semua televisi menyiarkan berita seperti ini. Aku malah berfikiran bahwa akan ada rudal menghantam atap rumahku. Sebenarnya apa yang terjadi diluar sana. Keji sekali mereka, taktakutkah dengan azab tuhan. Aku kira perang hanya ada dulu dan tak sampai zaman sekarang. Tapi tebakanku salah kaprah. Tapi aneh sekali, kenapa beritanya malah disiarkan begitu tampa sensor, bukannya ini sangat berbahaya jika yang menonton anak-anak dibawah umur. Tapi anak-anak dizona perang, apakah sudah terbiasa melihat mayat dan bunuh-membunuh. Sebenarnya siapa yang melakukan semua ini. Bukankah hidup dalam tenang dan kebersamaan lebih baik daripada menciptakan perang. Sudah terlalu nyamankan manusia-manusia itu. sampai-sampai melakukan perang dengan senjata-senjata modern itu. Lantas kenapa senjata masih ada di dunia ini, kalau kanyataannya jadi alat pencabut nyawa semata. Seandainya senjata itu takperlu ada, tapi apakah tampa senjata manusia-manusia takbisa perang dengan lebih beringasnya. “
Aku kebingungan setelah melihat televisi. Sedangkan anak istriku tidur dengan lelap. Kubuka pintu rumahku, dengan lagak sedikit bingung aku memanggil siapa saja yang didepan rumahku. Dari mulai cak karmo, bonong, pak jiono, tuek, markona, bogel, bren, gepeng, pa khodir, pak kuswadi, dan semua anak-anak yang sedang bermain kuda lumping didepan rumah. Setelah itu kutanyai secara bersama-sama.
“Nikuloh, ten TV rame enten perang. Niku ten daerah pudi cak, kulo wedine cedak kale ngriyo kulo niki. Engken lak bahaya toh. Lek sak deso niku kenek rudal-rudal. Iso-iso mbeldos mboten karuan. Opo mane ngriyo kulo.”
Pak khodir menjawab langsung dengan mata kebingunggan.
“Sampean loh lek karso, mboten popo tah.”
Setelah jawaban itu selesai dari mulut pak khodir, aku langsung diam. Tapi anehnya semenit kemudian semua tertawa tanpa henti dan membubarkan diri. Akupu semakin kebingungan dengan hal ini. kuteriaki agar kembali, malah tertawa lebih kencang lagi. Sebenarnya ada apatoh ini. apakah warga sudah semakin gila. Aku putuskan untuk kembali kedalam dan tidur terlentang di kursi depan televisi dengan kondisi televisi yang mati.
Empat jam kemudian aku terbangun dengan kepala yang teramat pusing. Namun kali ini aku bermimpi cukup aneh dibanding hari-hari sebelumnya. Mimpi yang mengisahkan banyak hal. Kuceritakan sedikit :
“aku tiba-tiba melihat diriku sendiri diantara banyak orang disebuah pasar. Selama dipasar itu aku mendegar banyak suara hati orang-orang dipasar itu. ada yang sedang menipu pelanggannya, ada yang kebingunggan mencari uang tambahan untuk belanja, ada yang sedih karena tak bisa membeli beras, ada yang licik menipu pelanggannya, ada yang sabar menanti calon pembeli walau sepi, ada menaikan harga dagangannya, ada yang lupa membawa dompetnya, sampai-sampai ada segerombolan pemuda yang merencanakan sebuah penjambretan pada seorang ibu-ibu. Namun tiba-tiba aku berpindah tempat dengan cepat. Tempat ini nampak tak berlantai tanah, hawanya dingin seperti ada AC dimana-mana. Jendelanya banyak sekali, dan sangat bersih bahkan wanginya setengah mati. Sepertinya hotel atau gedung pencakar langit. Disitu aku bisa melihat tembus pandang kedinding-dinding ruangan yang terdapat tempat ini.