Mendadak dari kanan depan, ia muncul. Berpakaian hijau lengkap berkerudung dan memakai masker putih. Naik sepeda motor temannya yang dulu suka kepadanya, sampai sekarang. Tapi tak digubrisnya. Ia memang gadis sedikit yang sedikit binal mungkin juga bengal. Walau tampangnya tak begitu menarik bila dibandingkan dengan Dian Sastro Wardoyo, saat memerankan “Cinta” di film Ada Apa Dengan Cinta. Tetapi mengapa ia selalu membuat pikiranku tidak nyaman. Ketika datang untuk menemui lelaki barunya. Yang tidak lain adalah temanku sendiri. Yang berada tempat yang sama sekarang ini, diwarung yang seolah-olah semakin seenaknya sendiri saat totalan harga. Tak kusapa hampir saat hari itu. dua hari tampa komunikasi. Sengaja untuk memberikan refleksi kepadanya. Tapi ternyata apa, malah yang terjadi adalah ketidak pastian yang menyudutkanku pada sebuah kekecewaan diriku atas hal sepele, mengenai rasa suka yang tak sesuai dengan keinginanku saat itu.
Siapa saja boleh mencela. Sepertinya aku sudah diludahi, diinjak-injak, diamputasi martabat-diri. Sehingga cerita fiksi yang sudah diamini mayoritas masyarakat kini. Sedang melabeliku. Lelaki yang mengharap tetapi tak kesampaian. Atau patah hati, yang berupa kekecewaan. Dan berujung tidak-sapa sama sekali. Mungkin itu yang sekarang banyak dirujuk oleh masyarakat masa kini, terhadap resiko suka dan memakai hati. Bila memakai hati, tunggu saja digerogoti oleh kecewa. Karena sekarang ini bukan hati atau nurani, bahkan ketulusan. Namun cukup tunjukan dengan pembuktian manipulasi saja. Bahwa urusan suka dan ingin memiliki. Sungguh-sungguh diartikan dangkal oleh kebanyakan masyarakat masa kini. Begitu pula aku sekarang ini. Yang diartikan sedang kecewa setengah mati atas gadis yang tak bisa kudapati. Padahal aku ini sedang belajar untuk mengatur emosi, dalam mempelajari setiap hubungan yang ingin aku jajaki. Namun bagaimanapun, labelisasi akan tetap dan tak bisa diubah dengan apapun cara bahkan pengorbanannya. Namun hanya dengan konsistensi dalam sabar-hati menerima setiap ucapan yang terlontar dari mulut-mulut tak tau diri.
Kadang-kala, aku sangat terganggu dengan kemunculannya. Sebagaimana hati dengki dan dendam dalam yang selalu menyelimuti kesungguhan, keseriusan, harapan, niat baik, atau bahkan ketulusan berduri. Dalam menunjukan ketertarikan kepada lawan jenis yang tak kumengerti dirinya, yang orang lain itu. aku sepertinya dendam-sukma. Namun itu masih kucari tau. Seperti saat aku bertemu dengannya. Aku selalu ingin membunuh, memukul, membakar, menusuk, membacok, tetapi yang paling aku inginkan adalah menghindar dan tak ingin melihat apapun yang berhubungan dengannya. Dengan gadis yang selalu menimbulkan amarah pada apa saja yang selalu berhubungan lansung dengannya. Seandainya aku ini mengakui kalau aku dendam karena banyak kekecewaan yang aku terima. Maka aku akan lebih bisa memaklumi segala tingkah polanya, setelah aku putuskan untuk tak melihat apapun mengenainya, mendengar cerita apapun tentangnya, atau bahkan memimpikan segala jasmani-rohaninya. Sungguh aku tak menemukan kenapa diriku ini. sebuah protes keras terhadapku. Menghantuiku selalu, mengenai berbagai dendam, amarah, bahkan kebencian-fundamental mengenai gadis itu. sehingga kuputuskan untuk membencinya. Walaupun resikonya adalah dosa. Dosa tak termaafkan. Namun aku berdo’a agar ia, gadis itu. Menjadi lebih baik selalu.
Lantas bagaimana aku. Ia duduk disebelah kiri dan berkumpul dengan lelaki barunya. Sambil ngobrol apapun yang mereka anggap perlu untuk diobrolkan. Namun aku disebelah kanan warung ini sedang mengerutu dengan amarah dan ruh diriku. Bagaimana aku berusaha menahan amarah dan emosi. Seperti penyesalan kiai semar kepada penduduk karang kedempel yang ribut memilih satu orang untuk menjalankan amanah banyak orang. Padahal jelas-jelas satu orang itu pasti tak mampu menyejahtrahkan mereka. Apalagi menjalankan semua amanah seluruh warga karang kedempel yang sedang ribut memilih satu orang yang jelas-jelas takbisa mewakilinya, apalagi memimpin mereka selama beberapa tahun kedepannya. Aku semakin tak yakin dengan keberadaanku sendiri. Yang tak bisa melewati masa-masa ini. masa-masa dimana semua menjadikanku tak ingin berhubungan dengan semuanya. Aku gila dengan kelakuan ini. Namun alahkah baiknya aku lebih bijak dengan diriku dalam menyikapi sebuah masalah seperti ini. Kata temanku, sebaiknya terima dan ihklas dalam menyikapi hal ini. Karena Allah pasti tau yang terbaik untuk masing-masing manusia-manusianya. Namun alangkah lebih baiknya, jika aku bisa menerapkan hal itu dengan kedewasaan yang tak menimbulkan banyak kekecewaan atau perkataan labelisasi diri sendiri.
Aku tak yakin dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini. Seperti bertemu dengan orang-orang yang tak kuyakin perilakunya. Melakukan kegiatan yang merugikan dirinya, menemuinya sedang berkumpul dengan banyak orang yang aku yakin bakalan menjerumuskannya pada hal-hal yang pasti akan lebih merugika dirinya sendiri. Aku masih sangat perhatian padanya, makanya aku selalu menghindar dan diam, jika ia bertemu denganku. Aku melupakan sebuah cara untuk menghargai dan menerima apapun yang tak kutebak bakalan seperti ini. ia punya hak untuk berhubungan dengan siapa saja, ia berhak untuk melakukan apa saja. Baik merugikannya atau tidak. Namun aku harus sadar, aku ini siapa dan aku ini apa. Sehingga tak bisa melakukan apa saja, selain menerima. Sehingga aku ingin menuliskan sebuah susunan kata ini;
Nurani
Kau itu, sedang kuperhatikan selalu
Namun aku malu untuk menyapamu, atau sekedar melihatmu
Walaupun batin menjadi ingkar
Dan dendam menguasai pikiran makar
Pikiran
Aku tak terima dengan keputusan itu
Sehingga aku tak mau lagi menyapamu
Apapun yang kau lakukan
Yang kutau, yang kutaktau, dan yang kucaritau
Aku benci itu, aku marah-menggerutu
Realita
Tawaran menerima, adalah pilihan paling utama
Tapi kesulitan rumusan risalah
Tetap membuat pengecualian-pengecualian
Untuk tetap menjaga harga diri
Dalam menjalani keputusan takdir semesta ini
Sehingga
Sekarang ini, kuputuskan untuk membenci
Tapi tetap kuawasi, apapun yang kau lakukan kini
Aku mencoba memperingatkanmu, dengan ekspresi tubuhku ini
Tapi kucoba saja, agar kecewaku tertutupi dalam realita dan nurani
Nofianto puji imawan
Madura, 01 Juni 2014. Untuk MDS diwarung ini.