Selasa, 14 Juli 2015

Perkara Prahara

Dibisiki angin dari timur.
Alkisah daerah yang dulu makmur.
Pejabatnya sudah tak bermartabat.
Berjama’ah sudah bukan, perkara ibadah.
Tapi maksiat pula.

Guncangan dibarat.
Adalah guncangan, peringatan.
Murka yang tak bisa dibandingkan.
Sedih yang paling sulit terobati.
Sudah dibohongi, sampai tak kenal diri sendiri.

Sikut-sikutan jabatan pun, tak dihiraukan.
Semua terlena realitas aktual.
Ada yang diperhatikan.
Ada yang mati di acuhkan.

Moral bukanlah hal sulit, untuk di urus.
Tapi memang “alot”.
Begitu pula bencana.
Sulit di terka, kapan tibanya.
Karena derita adalah bagian darinya.

Menoleh ke barat, nampak prahara dan paksa.
Menoleh ke timur, ada derita, dan tertawa.
Di banting keutara dibanting ke selatan.
Di tayangkan keperkasaan.

Di gilas, sampai tak nampak perawan.
Si gagak lewat mengendus bangkai.
Si bangkai mondar-mandir.
Tak sadar kalau di incar.

Tinggal tunggu akhirnya.
Tinggal berbelasungkawa.
Ini tak jadi masalah.
Karena banyak masalah sudah di buka.

Borok sudah bernana.
Semua rezim buta akan diteruskan.
Di pilihnya satrio pambuka.
Di undurnya satrio piningit.

Akankah di izinkan.
Akankah di rahasiakan.
Akankah di hilangkan.
Akankah di rajakan.
Akahkah di babukan.

Sekali lagi, ini cuma jadi pelajaran.
Pelajaran, bahwa waktu adalah batu.
Batu yang kalau kena tubuh, akan kaku.

Tak perlu waktu.
Apalagi membuktikan fakta yang tabuh.

Nofianto puji imawan
Jombang, 19-02-2014.