Jumat, 22 Juli 2016

Jalan Raya Pos Jalan Daendels Pramoedya Ananta Toer

Sebuah buku adalah sebuah kesaksian. Dan buku ini adalah kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau lebih dikenal dengan Jalan Daendels; jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Inilah satu dari beberapa kisah tragedi kerjapaksa tebesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia.

Pramoedya Ananta Toer lewat buku ini menuturkan sisi paling kelam pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan airmata manusia-manusia Pribumi. Pemeriksaan yang cukup detail dan bersorak tuturan perjalanan ini, membiakkan sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain.

Satu lagi buku yang menguak sejarah tragedi terbesar terkoyaknya kita sebagai bangsa yang kawasannya luas, kaya, tapi selalu kalah dalam segala hal.

***

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqeIpNZLmMiHGyaXTk_j0qxJNJDJYLPXwoBCw_TkYPReMIq6SJ3fxEDx5ey9Jko5iv1VXljTwbeRaZ1dD-iXX3Nj8oT8iWpcdud47QYK4n3zO1qWnP3bh4dtelBGPA7ewBJpcFx_Bgp0IT/s320/jalan_raya_pos_b.jpg

Menyelesaikan buku ini adalah perjuangan. Sebenarnya buku ini adalah buku wajib saya di bulan Februari, tapi baru saya selesaikan pertengahan Maret. Padahal bukunya tipis saja dan biasanya untuk buku setipis ini saya tidak membutuhkan waktu lebih dari tiga hari.

Mungkin karena buku ini tidak seperti perkiraan saya yang mengharapkan  karya fiksi seperti halnyat etralogi Pulau Buru. Ternyata buku ini  adalah buku non-fiksi yang lebih seperti text book sejarah. Apakah menarik? Entahlah, untuk saya, sepertinya agak nanggung. Ups? Siapa saya berani mengkritik Pramoedya? Well, this is all what I feel when I read it T.T

Buku ini membawa kita menyelusuri kota-kota yang dilewati oleh Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Daendels, dari Anyer sampai Panarukan, membentang sepanjang 1000 km. Tentu saja riset yang dilakukan Pramoedya sangat kuat dan informatif, tapi semua informasi tambahan itu seakan menenggelamkan peristiwa pembangunan Jalan Raya Pos itu sendiri. Seakan Pramoedya bebas saja memasukkan informasi apapun mengenai kota-kota yang ia bahas. Informasi itu bisa saja tentang masa penjajahan Portugis dan Spanyol, penjajahan Belanda (tidak terbatas pada masa Daendels), sampai masa perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, bahkan orde baru. Saya agak terganggu dengan hal ini karena menurut saya agak  tidak fokus dan mengaburkan tema semula.
 
Memang saya mendapat banyak informasi tentang sejarah kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos. Kalau buku ini memang mau sebatas menyusuri kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos, saya kira itu tidak masalah. Tapi saya tidak menangkap isu genosida yang disampaikan sejak awal, kecuali informasi mengenai  jumlah orang terbunuh. Jujur saja, saya mengharapkan buku ini fokus pada kisah tentang pembangunan Jalan Raya Pos itu sendiri, peristiwa-peristiwa atau polemik apa yang terjadi ketika jalan itu dibangun. Sesuatu yang bisa membuah hati kita sakit karena penderitaan para pekerja paksa pada saat itu.

Saya sebenarnya penggemar buku Sejarah, itu adalah mata salah sau masa pelajaran favorit saya di sekolah dulu. Tapi, saya agak capek membaca buku ini. Mungkin seperti perasaan di masa sekolah muncul lagi, ketika kita harus membawa textbook wajib tanpa menikmatinya. Ketika halaman terakhir sudah dilewati, saatnya menghembuskan nafas panjang dan beristirahat sejenak.