Awalnya aku bertanya-tanya, apa yang digelisahkan perempuan seperti dia. Berapa kali ia menyadari kalau rutinitasnya begitu membosankan. Mencoba berangan-angan dan berkeinginan untuk menenun kebaikan sebagai tabungan. Mempercayai segala kemungkinan hidup dengan mudah dan tak pernah mengelak. Menjalani semua alur kehidupan tanpa ada penolakan. Begitu pasrah dan melupakan naluri, menghiraukan keinginan berlebih diantara uforia zaman. Selambat-lambatnya waktu, sepertinya terlalu cepat untuk mati.
Makin lama keinginan seolah menumpuk, menimbun ampas-ampas keburukan dengan kompromi dan sedikit munafik. Hanya ada kenangan sekilas untuk terus menumbuhkan kasih sayang dikala tak bertemu. Sudahlah, waktu pasti lebih tau jawabanya.
Seberapa kuat kita dalam menunggu, seberapa keras kita saat mencari, seberapa sabar kita saat menjalani, dan seperti apa kita nanti. Sepertinya rumit, bertanya pada diri sendiri tentang diri sendiri. Memandang banyangan melalui air memang tak sebagus di cermin.
Pertanyaan, pernyataan, ungkapan, bualan, kebohongan, dan pilihan selalu melipatgandakan gairah hidup. Membuat kita punya alasan untuk tak ingin mati. Bagaimana jika yang mati dihidupkan kembali, dan yang hidup diabadikan. Lantas apa alasan yang tepat untuk mempertimbangkannya. Segaja menantang tatanan hidup dengan kesederhanaan sifat. Apa semua rela meninggalkan segala yang disayang, apakah siap ditinggalkan. Benarkah segala kemungkinan itu mungkin untuk dilakukan. Rumit sekali bukan, setidaknya ada yang bisa menyederhanakan hal ini.
Makin lama keinginan seolah menumpuk, menimbun ampas-ampas keburukan dengan kompromi dan sedikit munafik. Hanya ada kenangan sekilas untuk terus menumbuhkan kasih sayang dikala tak bertemu. Sudahlah, waktu pasti lebih tau jawabanya.
Seberapa kuat kita dalam menunggu, seberapa keras kita saat mencari, seberapa sabar kita saat menjalani, dan seperti apa kita nanti. Sepertinya rumit, bertanya pada diri sendiri tentang diri sendiri. Memandang banyangan melalui air memang tak sebagus di cermin.
Pertanyaan, pernyataan, ungkapan, bualan, kebohongan, dan pilihan selalu melipatgandakan gairah hidup. Membuat kita punya alasan untuk tak ingin mati. Bagaimana jika yang mati dihidupkan kembali, dan yang hidup diabadikan. Lantas apa alasan yang tepat untuk mempertimbangkannya. Segaja menantang tatanan hidup dengan kesederhanaan sifat. Apa semua rela meninggalkan segala yang disayang, apakah siap ditinggalkan. Benarkah segala kemungkinan itu mungkin untuk dilakukan. Rumit sekali bukan, setidaknya ada yang bisa menyederhanakan hal ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar