Memulainya dengan kejujuran, dan mengakhirinya tanpa dendam. Tinggal sebentar lagi, kuharap ia tak gentar. Mengupayakan semua waktu dilalui dengan maksimal untuk mengejar satu alasan, supaya tak menyesal.
Kini, semua manusia berani berharap apapun yang tak logis dan tak relevan. Mereka menamakannya ‘mimpi’ atau ‘harapan’. Malah ada yang menyebutnya sebagai ‘cita-cita’. Entah apa yang merasuki mereka, hingga berani menggarang ceritanya sendiri, menggambar perannya sendiri, bahkan menulis takdirnya tanpa peduli dan tak bijak dalam memilih ‘mimpi’ nya. Setiap ia bertemu manusia-manusia baru, seolah ia menemukan peran-peran baru untuk ia telisik. Walau adakalanya ia memilih menepi dan meninggalkan segala yang ia miliki untuk memahami kesejatian dan sejenak meninggalkan semua hal yang semu. Karena menurutnya, yang baik bisa saja buruk, dan yang buruk tak selamanya buruk.
Semakin lama, ia telah memupuk mimpinya setinggi bukit. Dikala, ia belum mampu mencapainya maka ia telah membuat bukit baru bernama ‘dendam’ dan diatas bukit itu ia tanami pohon yang disebut ‘ambisi’. Sedangkan setiap hari, ia memiliki mimpi baru yang ingin dicapai dan hal itu terus berlanjut hingga 20 tahun lebih.
Ia sekarang kalut, sebab tak satupun mimpinya terwujud. Dendamnya sudah membentuk pengunungan yang melingkar, dan ambisinya sudah menjadi rimba yang menutupi pengunungan. Ia semakin terjebak diantara pengunungannya dan rimbanya. Tiada jalan atau tanda didalamnya, ia lupa, bahwa selain semua itu yang terpenting ialah membuat jalan dan menentukan jalan. Fokusnya habis untuk memulai, dan bukan untuk menyelsaikan. Sekarang ia mati terjebak diantara pengunungan yang ia buat dan tetap tersesat oleh rimba yang ia tanam sendiri.
Kini, semua manusia berani berharap apapun yang tak logis dan tak relevan. Mereka menamakannya ‘mimpi’ atau ‘harapan’. Malah ada yang menyebutnya sebagai ‘cita-cita’. Entah apa yang merasuki mereka, hingga berani menggarang ceritanya sendiri, menggambar perannya sendiri, bahkan menulis takdirnya tanpa peduli dan tak bijak dalam memilih ‘mimpi’ nya. Setiap ia bertemu manusia-manusia baru, seolah ia menemukan peran-peran baru untuk ia telisik. Walau adakalanya ia memilih menepi dan meninggalkan segala yang ia miliki untuk memahami kesejatian dan sejenak meninggalkan semua hal yang semu. Karena menurutnya, yang baik bisa saja buruk, dan yang buruk tak selamanya buruk.
Semakin lama, ia telah memupuk mimpinya setinggi bukit. Dikala, ia belum mampu mencapainya maka ia telah membuat bukit baru bernama ‘dendam’ dan diatas bukit itu ia tanami pohon yang disebut ‘ambisi’. Sedangkan setiap hari, ia memiliki mimpi baru yang ingin dicapai dan hal itu terus berlanjut hingga 20 tahun lebih.
Ia sekarang kalut, sebab tak satupun mimpinya terwujud. Dendamnya sudah membentuk pengunungan yang melingkar, dan ambisinya sudah menjadi rimba yang menutupi pengunungan. Ia semakin terjebak diantara pengunungannya dan rimbanya. Tiada jalan atau tanda didalamnya, ia lupa, bahwa selain semua itu yang terpenting ialah membuat jalan dan menentukan jalan. Fokusnya habis untuk memulai, dan bukan untuk menyelsaikan. Sekarang ia mati terjebak diantara pengunungan yang ia buat dan tetap tersesat oleh rimba yang ia tanam sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar