Untuk sekolah aku tak segan membohongi diri. Hampir semua alasanku untuk melanjutkan sekolah ialah disuruh orang tua. Bagiku itu kewajiban seorang anak kepada orang tuanya. Apa pernah kita menemukan alasan yang kuat, kenapa kita harus tetap sekolah?, biar pintar, agar mendapat pekerjaan mapan di esok hari, agar bahagia, agar tercapai cita-citanya, atau agar masuk surga. Apa kita berani menjamin semua itu hanya dengan sekolah. Tapi takkan kubahas ini lebih jauh. Karena sekolah hanya salahsatu cara menimbah ilmu. Jadi, masih banyak cara untuk menambah atau menuntut ilmu, tak hanya sekolah. Karena ilmu itu banyak rupa dan bentuknya, tak hanya melalui buku atau bahan bacaan saja. Karena apapun yang tuhan ciptakan tak ada yang kebetulan, semua ada maksudnya. Jika alam semesta lebih tua daripada manusia dan buku (text atau tulisan) adalah perantara antara manusia lainnya agar bisa tetap berhubungan. Maka apasalahnya memulai belajar dari situ. Kadang kita menjadi ragu dengan ketetapan yang kita ciptakan sendiri. Semua serba rumit dengan ukuran lazim atau tidak. Prosedural hidup membuat kekerdilan dalam mencerna pesan-pesan tuhan.
Bisa jadi, aku dilahirkan untuk menguji kesabaran dan keimanan orangtuaku. Bisa juga, kelahiranku ialah sebagai pintu rejeki bagi orangtuaku, mungki juga tidak sama sekali. Karena yang tau hanya tuhan, kenapa aku dilahirkan? Banyak kemungkinan tentunya semua itu diluar perkiraan akal dan logika kita sebagai anak atau sebagai manusia. Untuk menjalani peran sebagai anak, setidaknya aku harus berbakti pada orangtua. Setahuku itulah peran pertamaku dalam hidup. Setelah lebih dewasa, aku semakin sadar ternyata peranku ialah sebagai manusia dan tanggung jawabnya ternyata begitu berat. Awalnya aku tak yakin mampu menjadi manusia yang benar-benar manusia. Bahkan aku pernah melakukan pelarian dalam hidup dengan memilih ingin menjadi dokter, pilot, insinyur, polisi, masinis, bahkan hingga kini aku terobsesi menjadi sarjana. Setelah sadar semua itu sudah melenceng dari takdir dan peranku sebagai manusia (seharusnya). Aku di hadapkan pada sebuah pilihan, setelah 20 tahun lebih memilih menjadi sesuatu yang menyalahi kodrat. Semua tittle, pencapaian, dan gelar hanyalah suplemen kimiawi yang hanya merusak kesejatian hidup. Ketakutanku ialah tak mampu berperan sebagai anak yang berbakti pada orangtuaku sendiri. Lebih menakutkan lagi, dikalah aku berani bermimpi untuk menjadi apapun selain manusia.
Selama ini, aku layaknya manusia lainnya. Menjalani hidup dengan normal dan seaman mungkin. Sekolah TK, lalu SD, Kemudian SMP, dilanjutkan SMK, hingga Pendidikan Tinggi. Semua kujalani dengan banyak pertanyaan dan pernyataan. Kemunafikan selalu hadir tanpa malu-malu. Apalagi aku ingat saat, kebinatanganku melebur dalam tubuhku. Aku seolah manusia tak tau diri. Selama 20 tahun lebih belajar menjadi anak yang baik tapi ternyata hingga kini aku belum mampu berperan sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Semoga aku tetap tak menyerah untuk menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
Bisa jadi, aku dilahirkan untuk menguji kesabaran dan keimanan orangtuaku. Bisa juga, kelahiranku ialah sebagai pintu rejeki bagi orangtuaku, mungki juga tidak sama sekali. Karena yang tau hanya tuhan, kenapa aku dilahirkan? Banyak kemungkinan tentunya semua itu diluar perkiraan akal dan logika kita sebagai anak atau sebagai manusia. Untuk menjalani peran sebagai anak, setidaknya aku harus berbakti pada orangtua. Setahuku itulah peran pertamaku dalam hidup. Setelah lebih dewasa, aku semakin sadar ternyata peranku ialah sebagai manusia dan tanggung jawabnya ternyata begitu berat. Awalnya aku tak yakin mampu menjadi manusia yang benar-benar manusia. Bahkan aku pernah melakukan pelarian dalam hidup dengan memilih ingin menjadi dokter, pilot, insinyur, polisi, masinis, bahkan hingga kini aku terobsesi menjadi sarjana. Setelah sadar semua itu sudah melenceng dari takdir dan peranku sebagai manusia (seharusnya). Aku di hadapkan pada sebuah pilihan, setelah 20 tahun lebih memilih menjadi sesuatu yang menyalahi kodrat. Semua tittle, pencapaian, dan gelar hanyalah suplemen kimiawi yang hanya merusak kesejatian hidup. Ketakutanku ialah tak mampu berperan sebagai anak yang berbakti pada orangtuaku sendiri. Lebih menakutkan lagi, dikalah aku berani bermimpi untuk menjadi apapun selain manusia.
Selama ini, aku layaknya manusia lainnya. Menjalani hidup dengan normal dan seaman mungkin. Sekolah TK, lalu SD, Kemudian SMP, dilanjutkan SMK, hingga Pendidikan Tinggi. Semua kujalani dengan banyak pertanyaan dan pernyataan. Kemunafikan selalu hadir tanpa malu-malu. Apalagi aku ingat saat, kebinatanganku melebur dalam tubuhku. Aku seolah manusia tak tau diri. Selama 20 tahun lebih belajar menjadi anak yang baik tapi ternyata hingga kini aku belum mampu berperan sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Semoga aku tetap tak menyerah untuk menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
Ini doaku.
0 komentar:
Posting Komentar
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Komentar