Badanku dililit kabel, kepalaku menunduk dan telingaku tersumpal plastik yang berbunyi. Duduk tenang seolah sendirian padahal temanku sedang teriak-teriak tak kudengarkan. Ia berbicara tanpa suara, ludahnya muncrat kemana-mana. Ladalah headsetku belum terlepas dari telinga. Dipukulah kepalaku sampai mataku kemana-mana, sambil tertawa aku memukul balik kepalanya sambil berkata “sek, iki WA penting, urusan masa depan. Koyok gag tau koyok ngene ae…” tertawalah kami berdua sampai segelas kopi tumpah. Selesailah, kamipun diam seoalah takut padahal hanya menahan tertawa. Setelah beberapa detik kami langsung tertawa sambil bicara ngalor-ngidul tentang kebiasan kalau sudah ada di “warung bisu” (warung yang menyediakan wi-fi gratis biasanya disebut warung bisu) semua yang tampak seolah tak ada.
Apapun bisa berubah dan itu sangat kupercaya. Kenyataan bisa berbalik, kejujuranpun akan tetap menjadi misteri yang bisa disembunyikan. Untuk mengatakan kebaikan selalu diperlukan kesabaran ekstra. Andai saja banyak kebaikan yang benar-benar baik mungkin kini penindasan bisa dirasakan sebagai penindasan. Bukan sebagai kebaikan yang semakin dieluh-eluhkan. Semua yang tertulis diatas sebenarnya bukan apa yang ingin kusampaikan. Semua ini sebenarnya tentang bagaimana kenyataan dialihkan menjadi simulasi yang bermutasi menjadi realitas. Pengalaman otentik semakin jarang dirasakan banyak orang bahkan untuk berbicara saja semua sudah tak memerlukan pertemuan antar mahluk lainnya. Peralihan cara bersosialisasi semakin mengingkari kodrat manusia sekarang. Semua bisa diakali, sampai yang wajibpun ditawar-tawar untuk bisa diingkari. Media sosial sudah menjadi realitas yang primer bagi manusia lainnya. Kenyataan semakin diduakan dengan keberadaannya. Legitimasi atasnya pun semakin mendukung. Bahwa generasi kini lebih dimudahkan dalam berkehidupan namun semakin menyepelekan apapun yang seharusnya tidak disepelekan. Lihatlah manusia-manusia yang lebih percaya apa yang tidak nyata. Pesan-pesan media, huruf-huruf yang terangkai menjadi kata lalu kalimat dan membentuk pesan, semakin mempengaruhi alam bawa sadar tanpa terkecuali. Manipulasi-manipulasi realitas yang ada didalam media sosial seolah menjadi wahyu yang diturunkan dan dilaksanakan oleh umat-umat Adam.
Yang dahulu tidak biasa kini menjadi biasa. Apapun keanehan akan tidak lagi aneh jika semua orang bilang kalau itu biasa saja.
“iki salah’e cino ngawe Hp murah seng lengkap fiture”Mungkin itu penggalan percakapan yang bisa dikatakan sangat lama sekali, mungkin bisa diragukan kebenarannya.
“kok ngunu, yo tambah enak se,,,”
“la mangko tambah akeh wong lali sembarang kalir’e, ngadep Hp ae lali ngadep seng kuoso”
“huss,,,,ngomong opo. Yo ngene iki perkembangan jaman”
“iki jenengen meksooo,,,”
“mekso opo toh ?”
“mekso = mulosoro awak lan ati seng gurung ruso”
“hahahaha, iso-iso ae,,,”
“yo iso, yo ae milih seng endi”
“milih bojomu ae yo,,,,”
“ngomong pisan’engkas tak sumpel lambemu nganggo Hp cinomu”
“Hpku loh gag cino”
“lah opo ?,,,,iku merk’e Semratpren”
“Hpku loh Jowo,,,,ora cino,,,hahahahaha”
“Jowo endi, gag tau ngedum pulsa ae,,,gag tau paketan pisan,,,wi-fi’an ae, Hpmu iku Hp-Meduro”
“hahahahhaha lah iku pas banget,,,hahahaha”
Apapun bisa berubah dan itu sangat kupercaya. Kenyataan bisa berbalik, kejujuranpun akan tetap menjadi misteri yang bisa disembunyikan. Untuk mengatakan kebaikan selalu diperlukan kesabaran ekstra. Andai saja banyak kebaikan yang benar-benar baik mungkin kini penindasan bisa dirasakan sebagai penindasan. Bukan sebagai kebaikan yang semakin dieluh-eluhkan. Semua yang tertulis diatas sebenarnya bukan apa yang ingin kusampaikan. Semua ini sebenarnya tentang bagaimana kenyataan dialihkan menjadi simulasi yang bermutasi menjadi realitas. Pengalaman otentik semakin jarang dirasakan banyak orang bahkan untuk berbicara saja semua sudah tak memerlukan pertemuan antar mahluk lainnya. Peralihan cara bersosialisasi semakin mengingkari kodrat manusia sekarang. Semua bisa diakali, sampai yang wajibpun ditawar-tawar untuk bisa diingkari. Media sosial sudah menjadi realitas yang primer bagi manusia lainnya. Kenyataan semakin diduakan dengan keberadaannya. Legitimasi atasnya pun semakin mendukung. Bahwa generasi kini lebih dimudahkan dalam berkehidupan namun semakin menyepelekan apapun yang seharusnya tidak disepelekan. Lihatlah manusia-manusia yang lebih percaya apa yang tidak nyata. Pesan-pesan media, huruf-huruf yang terangkai menjadi kata lalu kalimat dan membentuk pesan, semakin mempengaruhi alam bawa sadar tanpa terkecuali. Manipulasi-manipulasi realitas yang ada didalam media sosial seolah menjadi wahyu yang diturunkan dan dilaksanakan oleh umat-umat Adam.
Yang dahulu tidak biasa kini menjadi biasa. Apapun keanehan akan tidak lagi aneh jika semua orang bilang kalau itu biasa saja.