Minggu, 07 Juni 2015

Dekadensi Kepenulisan


Dulu tinta dan kertas cukup sulit didapat. Namun niat dan semangat menjadi modal besar bagi penulis-penulis itu dalam menciptakan karya-karya yang begitu hebat. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisyabhana. Mereka berada dalam keadaan yang jauh berbeda dengan kini. Tiada kenyamanan yang bisa didapat secara mudah, ketenanganpun hanya bisa didapat dengan darah. Apalagi kemerdekaan yang harus mempertaruhkan banyak nyawa, dan meninggalkan beribu kisah. Tapi kini apapun sudah lebih enak, dimana nyama bukan jadi barang taruhan lagi. Anehnya sampai kini, belum banyak yang karyanya begitu hidup seperti penulis-penulis zaman dahulu. Sempat ada kutipan “Sastra Yang Baik, Adalah Sastra Yang Tak Lekang Oleh Waktu.” entah kenapa makna dari kutipan tersebut belum sampai atau hadir dalam realita. 

Gairah menulis cukup memprihatinkan. Begitu juga Tumpukan kertas bersampul itu mungkin sudah ditinggalkan banyak orang. Bentuknya sama, sama sekali tak berubah. Kepercayaan bahwa ia dapat menjadi jendela dunia, masih dipengang teguh dalam dongeng rakyat. Iapun dijadikan simbol dalam dogma-dogma pendidikan. Benda sakral kaum terpelajar ini seperti tenggelam dalam samudra kekalutan. Apakah ia terlalu tua untuk dibolak-balik satu-satu perlembarnya, atau ia terlalu egois dan tidak bersahabat dengan zaman. Semoga ia dapat bertahan dalam banyaknya kemungkinan.

Mungkin narasi itu tidak berlebihan. Disitu hal yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana budaya menulis perlu ditingkatkan lagi. Untuk memperbaiki kualitas generasi dari zaman ke zaman “Jangan Sampai Adekmu Lebih Bodoh Darimu, Kalau Bisa Adekmu Lebih Pintar Darimu”. Sayangnya kini semua serba dihitung dengan nilai. Materi menjadi salah fokusnya, sedangkan oportunis menjadi caranya. Tapi kini tak ada waktu untuk penyesalan atau saling menyalahkan antara yang kini dan yang dulu. Tiada kata terlambat untuk tetap berusaha dalam memperbaiki suatu keadaan dimana memang keadaan tersebut perlu diperbaiki.

Seperti halnya membaca buku dan menuliskan atau menjelaskan hasil dari yang dibaca dalam buku. Kini kurang diminati sebagian orang. Mirisnya, orang itu adalah calon-calon sarjana terpelajar. Yang bertahun-tahun dipersiapkan agar dapat berguna bagi masyarakat luas. Yang notabene setiap tahun harus membuat skripsi, penelitian, riset, dan karya ilmiah yang musti bermanfaat bagi masyarakat. Bagaimana hal tersebut akan terwujud sesuai dengan harapan. Jika budaya menulis dan membaca semakin ditinggalkan dan kurang begitu diminati. Hasilnyapun skripsi hanya jadi formalitas yang isinya kebanyakan hasil copy-paste ataupun plagiasi. Dan berakhir diruang arsip atau rak-rak perpustakaan dengan tumpukan debu yang menyelimutinya.

Mungkin itu hanya sebuah refleksi mengenai realita yang sebagian besar terasa jika kita hidup di ruanglingkup Perguruan Tinggi. Mindset dan orientasi cara berfikir pelaku pendidikan hanya fokus pada tujuannya sendiri, bahkan cenderung oportunis tampa mau menjalankan amanah dan tanggung jawabnya sebagai pelaku pendidikan yang tersimpulakan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi secara maksimal dan totalitas.

Sesungguhnya kenapa begitu?, ada apa dengan “menulis” dan kenapa dengan “membaca”. Sebegitu rumitkah menjalankan aktivitas tersebut. Ataukah menulis dan membaca itu buang-buang waktu dan tidak berguna. Bukankah menulis itu bisa menjadi bentuk dan cara kita dalam menuangkan ide, gagasan, pemikiran, keresahan, kegelisahan, keinginan, harapan, emosi, dan bisa juga perasaan. Tapi kenapa mahasiswa sekarang lebih suka bermain media sosial (Facebook, Twitter, Path, Instagram, Google+, Pinterest, dll.) dibanding melakukan sebuah penelitian atau riset. Lalu sebegitu membosankankah membaca buku itu, sedangkan setiap harinya selalu tak ketinggalan kabar terbaru di masing-masing akun media sosialnya.

Lantas apa bedanya menulis sebuah karya ilmiah dengan menulis status Facebook dan status Twitter. Padahal sama-sama menulis dan merangkai huruf beserta kata bahkan bermain makna. Lalu kenapa mahasiswa banyak yang mengeluh disaat menulis sebuah laporan atau makalah, sedangkan mudah sekali merangkai kata untuk menuliskan kata-kata mesra yang beribu-ribu karakter kepada pacarnya. hanya untuk agar mendapat perhatiannya.

Menurut apa yang saya baca dari dan tulisan Hernowo, hasil pemetaan pikiran dalam menyikapi sebuah permasalahan yang terjadi, khususnya permasalahan mengenai penulisan dan menulis. Kadang dalam menulis selalu ada yang namanya kebuntuan dalam menulis (Writing Block). Selalu saja kebinggungan dan berujung pada malas dan meninggalkanya. Untuk menghindari kebuntuan dalam menulis memang tidak ada cara praktis ataupun cara cepat. Mungkin kalau adapun itu klise atau absurd. Namun yang menjadi kunci utama dalam mengatasi kebuntuan dalam menulis adalah keterbatasan ide dan kurangnya niat dalam melakukanya. Sehingga semakin membuat kita menjadi “mendadak binggung”. Padahal ide itu sangat banyak dan berkliaran dimana-mana. Setiap detik ide itu bak sebuah mahkluk (karena hal lain selain allah itu adalah mahkluk.) jadi ide itu adalah mahkluk yang tak nampak namun terasa, asal kita peka dan menyadari kehadirannya. Dengan melatih kita supaya mudah merasakan sebuah ide. Yang salah satunya dengan membaca, analisa sosial, menulis catatan harian, membuat mind mapping, mengolah pikiran dengan pemetaan pikiran, memasimalkan kemampuan ingatan, berlatih untuk lebih konsentrasi dan fokus dalam menghadapi suatuhal. Mengerti cara mengatasi persoalan dengan berfikir panjang dan cobalah membatasi diri. Insyaallah dengan niat yang baik dan keseriusan beristiqomah maka kebuntuan dalam menulis dijamin tidak bakalan singgah dan menggoda lagi. Tapi juga tidak menutup kemungkinan jika dalam proses tersebut kalau tidak dilakukan secara maksimal dan konsisten. Hasilnyapun juga bakalan tidak sesuai dengan harapan.

Dengan adanya sebuah kepercayaan diri yang tinggi dalam menulis. Akan mempergaruhi diri sendiri atau bahkan feel dan soul yang perlu menemukan sebuah ketepatan untuk menuangkan sebuah ide dengan lebih matang. Bagaimana bisa menulis dengan kenyakinan yang rendah hingga berujung pada pesimistis secara kompeks. Dan hal itu akan semakin membuat pribadi diri sendiri makin menyakini bahwa kita memang tidak dapat menulis dengan dan sesuai keinginan beserta kemauan.

Lantas apa yang bisa dilakukan jika kebuntuan dalam menulis masih mampu membuat kita belum bisa menulis. Begitu juga kepercayaan diri yang tak kunjung muncul sehingga masih menjadi kendala juga dalam menulis. Bahkan kebiasaan membaca masih sedikit dan belum konsisten alias kalau ingin saja. Mungkin yang bisa dilakukan adalah menulis bebas (Free Writing). Jadi kita menghilangkan semua hal yang dirasa sulit lalu menulis tampa memikirkan beban apapun. bahkan tampa alasan. Menulis saja, mengenai apapun dan berisi apapun. seperti menulis catatan harian. Ataupun kegelisahan diri sendiri. Menulis bebas menjadi cara untuk melatih kemampuan dan kemauan dalam menulis. Karena dengan menulis bebas berarti kita belajar dengan cara yang benar-benar hypersubjektif. 

Dimana kita mencoba menuangkan apa yang ada pada diri kita dengan rasa apa adanya. Sehingga hal itu akan lebih merangsang kita untuk menemukan kenyamanan dalam menuliskan sesuatu apapun. Dalam hari-hari kita, pasti selalu ada ide yang muncul. Kalau tidak ya sebuah hal penting yang bisa menjadi tema sebuah tulisan. Tidak adalah hal yang menarik atau pantas menjadi sebuah tema atau fokus tulisan dalam sehari. Bohong jika tidak ada. Cobalah dengan cara analisa sosial atau pemetaan beserta tingkatkan kepekaan masing-masing untuk segera mendapatkan sebuah ide dan kemauan yang tinggi.

Menulislah karena kamu harus menulis. Menulis itu pekerjaan sosial yang baik. berikan kejujuran dan ruh pada tulisanmu. Beserta buatlah tulisanmu menjadi hidup dan bertahan walaupun terlampau waktu dan tempat.

“Karya Yang Baik Adalah Karya Yang Tak Lekang Oleh Waktu”