Kamis, 08 Januari 2015

Sebaiknya Jangan Dusun Namanya

Menerjemahkan setiap pesan dan makna ataupun hal yang terjadi didusun ini, seperti mengeja kembali kalimat-kalimat yang sudah tersusun rapi dalam buku catatan seorang empuh. Menyederhanakan permasalahan dalam berbagai ruanglingkup. Atau mengkaitkan segala kejadian dan momentum yang terjadi, dengan hal yang lebih besarnan jauh disana. Adalah cara bagaimana memahami setiap jengkal pendidikan yang diberikan dusun ini sebagai ruanglingkup kecil, kepada kita sebagai element penting semesta. Setiap sosok mempunyai peran yang taksama. Bahkan saling melengkapi kerangka struktur keselarasan dusun yang mulai terjamah arus modernisasi. Unsur-unsur tradisional yang masih bertahan hanya dibuat kedok seremonial atas eksistensialisme yang semakin redup akibat budaya baru yang menghisap saripati keguyuban warga dusun dan kedusunawian. Semakin melorotnya moral warganya, keterikatan rasa kekeluargaan yang menipis akibat saling sikut dalam mencari lahan pekerjaan, keinginan untuk mencari keuntungan yang menimbulkan hubungan kurang baik, egoisme dan gengsi turun temurun semakin diwariskan dengan berbagai cara. Ketidaksadaran memang membuat hanyut manusia disini. Alambawahsadar mulai terinfeksi virus kurang memaklumi, bahkan hawa tak saling menyukai. Walau itu adalah saudara sendiri. Penyebabnya bisa karena hal sepele atau urusan sehari-hari. Sawahnya dikikis oleh kapitalisme industrialisasi. Seandainya saja disini tak tersentuh perkembangan global kompleks struktural. Mungkin kebersamaan dan aura persaudaraan dusun ini tak bakalan menipis atau bahkan kembang kempis.

Mengawali banyak hal dengan bangun dikala pagi sepertinya berbeda saat tak ada suara sapu lidi menyapu pekarangan tanah. Aku terheran-heran waktu itu. tiga tahun yang lalu masih terdengar suara itu, bahkan suara teriakan penjual sayur, tahun, tempe, jamu, dan daging. Dimana para pejual itu, dan suara sapu lidi itu. Aku kebinggungan mencari-cari suara dan moment seperti itu. Seperti orang yang kasmaran atau membayangkan suasana dahulu. Tak lama akupun mulai memainkan logika dialam pikiranku. Pekarangan tanah sudah dilapisi dengan batako dan semen kokoh, sampai jika diteliti lebih jeli lagi. Hampir semua rumah tak punya pekarangan tanah. Semuanya dibangun hingga bangunanya tak berjarak dengan bahu jalan, alias tampa pekarangan. Karena pekaranganya ditutup rumah yang dibangun lebih kedepan. Para penjualpun sudah jarang menampakan diri dikalah pagi. Kebanyakan beralih berjualan dipasar kecamatan. Apalagi kebanyakan warga dusun lebih suka berbelanja di supermarket. Karena sudah banyak dibangun supermaret dipinggir jalan dekat dusun. Sehingga otomatis banyak sekali yang memilih belanja disitu. Apalagi dengan belanja di supermarket bisa menaikan gengsi antar warga. Sehingga jika dirunut lagi, maka tak salah jika perubahan dikalah pagi memang perlu dimaklumi. Namun juga perlu dipertanyakan.

Apapun yang menonjol, pasti lebih menonjol pemuda-pemudinya. Perubahan zaman tak pernah kompromi dengan yang namanya pemuda-pemudi. Siapapun yang tak pernahkuat kekebalan tubuhnya, pasti terlibas habis oleh perubahan zaman. Awalnya memang terpengaruh namun akhirnya akan terikat sampai menjadi candu. Kebersamaan bermain dihalaman telah digantikan dengan saling beradu strategi bermain playstation di rental. Kebersamaan bersepeda bersama keluar dusun hingga ke daerah-daerah nan jauh diganti dengan ria-riuh bersepeda motor dengan berbagai asesoriesnya. Kegembiraan kumpul bersama dikala malam hari berubah menjadi obrolan mengenai handphone, motor, perempuan, dan terkadang video bokep terbaru. Lebih sibuk memperhatikan handphone dari pada antusias ngobrol dengan yang lainya mengenai dusun dan perkembangannya. Atau mengenai hal-hal yang dulu pernah dilakukan didusun sewaktu kecil bersama-sama. Semuanya digantikan dengan konsentrasi memanto sosial medianya masing-masing dengan serius. Hingga suasana kumpul dan keguyuban menjadi berkurang.