Awal puasa ini bertepatan dengan malamminggu. Setelah tarawih dan nantinya sahur, ada bagian dimana banyak nilai-nilai luhur menjadi luntur. Pembanding selalu menunjukan sarkasme dan antitesis tanpa menghasilkan sintesis yang estetis. Seperti saat ini, perjalanan dari Madura sampai Mojokerto seperti tidak mengambarkan sebuah “gapura menuju fitrah”, atau kesan pertama dimana kebahagiaan terpancar dalam hati manusia-manusia dalam menyambut kedatangan bulan ramadhan dan dibukanya bulan penuh ampunan.
Sepertinya keadaan memang takpastas untuk disalahkan kembali. Baik waktu maupun frekuensi, keduanya adalah sesama mahkluk yang takpastas disalahkan. Ketidakmampuan kita selalu dilampiaskan pada apapun yang bukan kita (manusia). Nampaknya keterbatasan manusia memang selalu berpangkal pada sebuah pelampiasan tak beralasan. Bagaimana membuat diri menjadi lebihbaik dengan mengotori orang lain. Bukan baik secara baik, namun kelihatan baik, karena mengotori yang lainya. Perasaan itu nampak melekat dan aku rasakan dalam perjalanan ini. Cuaca angin dan riuh knalpot motor-motor beringas menghiasi dengan tatapan sinis pengguna jalan. Dijalanan ini, walau awal puasa seperti ini. tidak ada belas kasihan dijalanan. Karena jalanan bukan tempat untuk manja dan bersuka cita. Lebih tegas dan paling lugas dalam melampiaskan segala bentuk dan unsur orang-orang yang melewatinya. Sehingga nampak sulit dan sunyi dalam mengembangkannya.
Bukan penyesalan atas kesalahan yang dibuat. Atau sedikit penghapusan kenangan atas keinginan membuat kebaruan dalam musim baru yang datang. Namun meneruskan dengan lebih baik untuk melebihbaikan hal yang seharusnya baik. Seperti memutuskan sesuatu yang masih membuat ragu jika dikatakan dan dilakukan. Atau sekadar menjawab pertanyaan yang sulit untuk diterapkan.