Apapun bisa dipersoalkan, hanya dengan beberapa ketidakpuasan atau kekagetan akan perubahan. Bagaimana bisa menyelaraskan perasaan atau menciptakan “perasaan saling menerima”, dalam lingkungan paling kecil. Contohnya keluarga. Bagaimana banyak sekali perkembangan setiap individu dalam sebuah keluarga. Yang membuat perubahan secara langsung atau tidak. Baik perubahan fisik, pribadi, dan suasana. Sehingga keluwesan diri lebih besar dari egoisme pribadi yang sering ditonjolkan, dalam menanggapi atau memberikan feedback secara langsung atau tidak dalam suatu hal. Meminimalisir keadaan tentang cara setiap individu dalam menyikapi sebuah hal yang berorientasi pada segala bentuk perubahan atau perkembangan. Dari mulai bentuk atau isi, yang dulunya seperti ini, menjadi seperti itu. Yang dulunya seperti itu menjadi seperti ini. Maka sikap dan rasa atau cara kita dalam menunjukan kepedulian atau ketanggapan kita akan suatu hal. Haruslah lebih bisa menerima dan memaklumi. Karena perubahan itu pasti, entah lebih baik atau sebaliknya. Cuma kedinamisan sebuah perubahan kadang selalu bergesekan dengan hal lainnya, sehingga memunculkan kemungkinan-kemungkinan akan kerugian dan sebuah permasalahan atas banyak hal yang timbul. Dari sebuah pergesekan atas perubahan yang terjadi. Maka munculah sebuah efek. Dan bercabang secara negatif dengan sebutan imbas.
Mungkin dulu Jombang menjadi sebuah daerah yang penuh misteri tak terelakan. Dalam pandanganku, Jombang memang syarat orang-orang baik, orang-orang berpengaruh, orang-orang penting, orang-orang hebat, dan orang-orang yang bisa menjadi manusia diantara manusia lainnya. Kekagumanku akan kota kelahiranku ini memang bukan semata-mata pujian kekosongan. Atau bukti kelemahan atas kebutuhan pengakuanku dalam sebuah geliat keributan eksistensi. Kalau dibilang Jombang memang sangat istimewa dibanding daerah lainya. Tapi hal ini menimbulkan kesan, bahwa kita sebagai generasi kekinian hanya membanggakan atau membesar-besarkan kehebatan dahulu. Kita bercerita, membanggakan, mengenang, hingga terlena dengan kebesaran pendahulu atau ketersohoran suatu daerah. Untuk sebuah pengakuan dan penghormatan yang lainya atas diri sendiri. Kalau kataku, memang dahulu Jombang begitu hebat dibanding daerah lainya. Namun sekarang apa yang bisa ditawarkan, kecuali keterpurukan generasi yang semakin tak berdaya menghadapi persaingan zaman dimana materi lebih utama dibanding rohani. Sehingga Jombang bukan saja menunjukan aib secara gamblang. Tapi juga menyiarkan ketidakmampuannya berdiri dengan tubuhnya sendiri. Jombang kini lemah, Jombang kini tak berdaya. Karena orang-orangnya dan keadaan lingkungan yang sudah berubah semakin kurang baik. Seperti, kalau dahulu jalanan masih belum lebar, aspalpun belum baik, dan masih jarang sekali marka ataupun lampu merah. Tetapi sangat berguna untuk sirkulasi perekonomian perdagangan ataupun aktivitas warga masyarakatnya. Namun sekarang alangkah mirisnya, jalanan sudah dibuat sebagus mungkin, marka jalanpun dibuat, lampu merah nampak megah dimana-mana, polisipun ditugaskan disela-sela jalan raya, peraturan dibuat sedemikian rinci, dan lampu jalan semakin berkembang seperti lampu jalan yang menggunakan panel surya. Namun bukan malah baik, malah makin banyak sekali kecelakaan transportasi, perampokan atau pemalakan dijalanan waktu sepi, dan kurangnya kesadaran atas keselamatan pribadi dijalan-jalan.
Namun bukan itu sesungguhnya yang patut dibuat sebuah contoh. Bentuk perubahan yang sedang membuat keresahan dalam pikiranku adalah sebuah perubahan sebuah pola yang kosmos. Jombang memang memiliki daya pikat yang sangat besar. Tapi daya pikat hanya sebatas pembuka dalam tatanan protokoler. Lantas isi dan konten yang utama dalam muatan sebuah Jombang itu harusnya bagaimana. Tak salah jika tuntutan semakin besar. Bagaimana menyempurnakan hal yang dianggap kurang efesien fungsi dan gunannya. Merujuk pada sebuah ketidakpuasan akan realitas yang disuguhkan. Semakin besar tuntutan, namun usaha untuk mencukupi itu kurang. Maka jadinya timpang atau tak seimbang.