Minggu ini memang baik untuk mengawali kebaikan, dan meninggalkan keburukan. Setiap waktu harus bisa merendah atau mengesampingkan ego. Nafsu dan kejengkelan seakan monster yang harus ditiadakan. Sebagaimana keseharusan untuk menjaga keselarasan kosmos yang ada disini, dilingkungan ini, dan disamping pemuda-pemuda ini. Perbedaan bukan selalu menjadi halangan atau pemicu keresahan. Namun perbedaan membuat semua yang disini dapat selalu belajar dan mengerti tentang apapun yang belum dimengerti dan segala hal lainya, untuk kebaikan bersama. Dalam kehidupan bersama pula. Seperti yang selalu diucapkan orang itu “guyup”.
Jika berfikir untung-rugi, maka yang didapatkan mungkin akan kurang maksimal. Timbal balik menjadi sebuah kelemahan yang berujung pamrih dan ketidakihklasan dalam melakukan kewajiban berbuat baik pada sesama. Selekas meluangkan waktu untuk menanam benih ditanah gersang. Maka yang dibutuhkan adalah keyakinan kalau benih itu akan tumbuh. Dengan usaha menyiraminya dan berdoa dalam tiap kesempatan nafas. Seakan banyak ucapan masih dipertanyakan diam-diam. Apapun yang dilakukan untuk mencapai kepuasan bahwa keinginan itu tiada habis dan tiada tuntas. Seharusnya tetap saja membuat tuntutan akan kenyataan bahwa yang harus jadi tidak karena kenyataan sudah membuat banyak orang menipu kenyataan dan mengakali realita yang sungguh-sungguh menyakitkan. Apapun yang dilakukan bukan semata-mata untuk mengakhiri keinginan yang sebenarnya sulit untuk diakhiri. Seperti sebaik-baiknya merewat diri sendiri, agar terhindar dari tindaka yang kurang terpuji dimata tuhan masing-masing. Namun tetap tidak dengan mengesampingkan atau menyepelekan yang lainya dengan keutamaan.
Pelajaran demi pelajaran, selalu nampak dan tersampai dimalam-malam belakangan ini. orang-orang yang harusnya aku kenal sejak dulu, malah baruku pahami. Realita memang sekeras yang dibicarakan. Kenyataan akan kesusahan memutuskan dan mencoba mengerti suatu keadaan, memang layak untuk diperbincangkan. Adakalanya setiap orang bebas menilai dan menjatuhkan dirinya sendiri didepan yang lainya. Apalagi mencoba mendahulukan keinginannya untuk mencapai kecukupan dalam merasakan. Pembenaran-pembenaran yang merujuk pada penghakiman atas keadaan yang diterima pihak lainya, selalu menjadi obrolan atau gunjingan. Apapun dikomentari, hingga lupa bahwa diri sendiri adalah ketidakmampuan yang berlebih. Kapan datang malam, aku merasakan kangen yang tak terhindarkan. Beberapa jam sepertinya tak cukup untuk memuaskan pendengaran dan merasuki badan. Merasa selangkah lebih maju, terkadang membuat kalap seseorang dalam berbagai bentuk goresan bangunan yang kalah, kalu ditempa dengan baja bulat dari mesin produk modernitas. Apalagi merasakan cukup dan penuh dalam pikiran dan kering dalam perasaan. Semata-mata semuanya didapatkan dengan mudah dan gampang. Kenyamanan demi kenyamanan adalah kematian dari beberapa manusia atas kesombongan atas manusia lainya.