Eksistensi seperti nomor satu di zaman ini. Kebutuhan untuk diakui, dianggap, dilihat, dipahami, dimengerti, dan disadari keberadaannya. Lebih menakutkan dibanding rasa lapar. Karena pengakuan atas keberadaan dan kesosokan manusia atas manusia lainnya lebih diinginkan dan didahulukan dibandingkan pengakuan Allah SWT. Sebagaimana mestinya, manusia lebih mendahulukan hal selain yang pantas didahulukan dalam kehidupan. Semua serba salah kaprah. Apa yang semestinya malah tak dilakukan, dan lebih buruknya adalah kenyamanan atas kesalahan kaprahan telah dijadikan kebiasaan yang sudah dipantaskan sehingga yang salah dianggap benar dan yang benar dianggap aneh.
Ini bukan sebuah pembahasan yang fokus tapi sesungguhnya bisa saling terkait. Bagaimana eksistensi selalu digambarkan dengan pengakuan-pengakuan. Kalau eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya, yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar. Tapi fokusnya sama-sama mengandung muatan bahwa manusia bebas dalam melakukan segala hal yang dibuat untuk menunjukan bahwa manusia ini ada dan meng’ada. Sama halnya apa yang aku lakukan melalui sebuah blog ini. Bagaimana aku menuliskan mengenai keakuan yang aku dan yang tidak. Lalu itu membuat sebuah persaingan, dan segala hal mengenai persaingan merambah dalam sebuah kesepakatan tentang bagaimana semua hal bisa dimenangkan.
Dalam sebuah pencarian. Atau penuntutan atas jawaban dari sebuah keadaan yang sangat dinamis kontruktif ini. maka yang selalu dipersoalkan adalah sebuah batasan, “akan sampai dimana”. Sebuah pencarian dan susunan pertanyaan yang diberikan atau dituntutan. Bukan saja soal diri sendiri dan keadaan, namun mengenai segala hal yang dipikirkan dan dirasakan. Seperti kegelisahan, keresahan, kemunafikan, kenyataan, dan keseharusan. Apa perlu aku meminum kopi dan menumpahkan sisa kopi ke korden jendela kamar ini.