Beberapa angin sepakat untuk menyentuh kulitku hingga kering. Hawa ngeri menunjukan sedikit kekuasaannya padaku. Dagunya naik, seolah sombong dengan kemampuannya dalam memojokanku dalam dingin. Luasnya dermaga malam seolah sempit. Apapun yang aku rasakan memang sedikit sulit dimengerti oleh kebanyakan orang saat ini. Malam memang semakin malam, tapi bukan “Bila Malam Bertambah Malam”-nya Putu Wijaya. Tapi malam memang semakin pintar membohongi banyak orang. Gelapnya kadang lebih gelap dari hati manusia, gemerlapnya nampak persis anomali zaman ini. Sukarnya memang sulit ditebak, kadang mendung sampai berkabung. Kadang cerah, sebab bulan sedang marah. Tak ada kejujuran saat malam mulai datang.
Banyak ucapan semakin tak terarah. Semuanya terlena karena mabuk oleh suasana. Kejelasan sudah bukan ukuran sesamanya untuk memahami makna yang sebenarnya. Tapi apakah malam akan semakin menjeruskan pada kebohongan demi kebohongan. Seperti mengharapkan tenang saat gemuruh guntur membumbung. Anehnya, tembok itu tetap tegak dan tegar saat mautidakmau harus mendengarkan ocehan, gerutuhan, curahan, ucapan, gunjingan, teriakan, bisikan, tatapan, renungan, harapan, rayuan, dan kesunyian. Walaupun diludahi, disandari, ditendang, atau dipukul. Tembok tetap menjadi dirinya sendiri yang menerima dan pasrah. Bahkan lebih banyak mendengarkan, walau telingannya tak lebih banyak daripada manusia yang sedang bergumul didekatnya. Lamunan terus menyeruak dari mata yang kelayapan menoleh kesegala penjuru arah. Mulutnya meludah penuh sesak. Irama tubuhnya menunjukan bahwa banyak hal yang sedang dipikirkan dan dirasakan. Matanya samar, karena gelap lebih pekat daripada genangan airmatanya. Sampai sadar kalau waktu sedikit memperingatkannya. Tawar menawar adalah syarat kekinian. Jika ada yang lebih menguntungkan, mengapa tidak. Itulah kesadaran dari munculnya sebuah tawaran kompromi keadaan.
Siapa dia yang disana. Sedikit memperlihatkan banyangan duduk sambil diterangi cahaya minim dari handphonenya. Matanya dilindungi oleh kacamata, biru bajunya bersinar menembus suram, dan tiupan angin membuat rambutnya yang dikuncir semakin berirama jika dirasa. Dipandang dengan malu-malu sambil membatin, “apakah engkau merasa”. Tidak mungkin frekuensi perasaan tak sampai hanya karena gengsi dan ego manusia, atau kelemahannya sendiri. Kapan terakhir kali merasakan firasat, tak pernakah firasat dan membuat kita berfikir mengenai apapun yang sudah, atau yang sedang kita lakukan. Karena jelas sekali, bagaimana frekuensi rasa lebih tinggi dan bisa dirasakan siapa saja. Walaupun malam selalu diidentikan dengan kerinduan memuncak, kesedihan, kepedihan, kenangan, penyesalan, bahkan jerit-tangis adalah sebagian dari kisah berlarut-larut yang dimunculkan berdampingan dengan malam. Apapun itu, yang kutau malam selalu bohong. Dan musti senyum untuk menutupinya. Mimik mukanya malu mungkin ragu-ragu. Daguku tetap terjaga untuk selalu mudah menoleh. Seorang datang dan bilang, “jangan dilihat dan dibanyangkan, karena itu menyakitkan”. Seandainya saja cahaya lampu dermaga lebih pengertian dan meredupkan lampunya. Mungkin aku akan datang padanya, untuk sekali menciumnya dalam senyap itu. tapi sekali lagi ini hanya banyangan akan ketidakterimaan mengolah pahitnya kenyataan dari sebagian realitas yang menyakitkan. Ketidak mampuan membuat manusia-manusia semacam berfatamorgana atas kenangan-kenangannya. Sampai saatnya kenyataan pahit akan menggerogotinya.
Sampai pulaspun, aku masih tak percaya pada siapapun. Termasuk malam, karena malam telah menipu segala yang buruk menjadi indah, segala yang jahat menjadi baik, segala yang usang menjadi baru, dan segala bentuk kebohongan menjadi realita yang kupercaya sampai sekarang. Siapa lagi yang mempercayai kekalahan atas kelemahan. Apapun yang nampak sudah dibuang jauh-jauh untuk mencapai keinginan semu. Bagaimana bisa kegagalan diulang-ulang sampai lemah badan dan jiwa. Kebodohan dipupuk hingga subur mengakar kehalaman tetangga yang gersang. Hingga dibuat taman untuk semakin dikembangbiakan. Segala urusan diambil untuk mencapai pengakuan, bahwa ini aku bisa menyelsaikan segala rintangan atas segala macam bentuk tantangan yang tak lelah menghadang disebrang jalan. Apapun itu, aku tetap tertipu. Sama seperti dialog “Bila Malam Bertambah Malam”-nya, Putu Wijaya.
“GUSTI BIANGKalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.”
Memang segalanya akan nampak menipu dan mencoba mengelak apapun yang dikemukakan oleh nurani. Tawaran pikiran akan lebih menggiurkan dibanding kenyataan. Karena tipudaya malam selalu kuat dibanding logika-rasio berfikir waktu sadar. Malam sudah merasuki segala yang ditunjukan secara nyata. Semoga kita tak tertipu dengan kenyamanan malam yang lebih lagi. Karena hanya kekuatan diri sendiri dan kenyakinan hati akan keteguhan. Yang akan menuntun kita menuju kebaikan yang sesungguhnya, walaupun sedikit mengecewakan banyak pihak termasuk kita sebagai kita, bukan yang lainya.