“Semua harus rapi, itu ditata paragrafnya harus menjorok kedepan. Pembagian Bab dan Subbab harus jelas, penomoran juga perlu ditata ulang, aduh, catatan kakimu ini mana kok tidak ada. Padahal banyak sekali pengertian yang belum jelas dan itu harus diartikan disebuah catatan kaki. Daftar pustaka haruslah mendahulukan referensi yang berasal dari buku, bukan dari internet. Lalu, kesinambungan antar Bab juga perlu diperhatikan. Soalnya masih banyak maksud-maksud yang membinggungkan. Landasan teorimu dan rujukanmu masih sangat Irelevan, sedangkan dalam pembahasan yang kamu angkat ini masih belum kuat dan berdasarkan data yang benar. Ini haruslah benar dan berdasarkan landasan atau fakta yang tejadi. Sehingga ini bisa diakui kesahihannya. Daftar pustakamu harus sesuai abjad, padahal ini itu tugasnya anak semester 1, kalian yang semester 4 malah terlalu banyak mengeluh. Kalau seperti ini, sudah tidak sesuai dengan pakem dan jelas banyak kesalahannya ini. Apalagi kalau ini dicek di aplikasi antiplagiasi. Pasti akan ketahuan jika copy-paste. “
Kekesalan dalam wajah karso membuat kesumpekan dalam dirinya menjadi sempurna. Karso yang biasanya punya waktu banyak untuk sekadar ngopi dan santai, menjadi hilang sesaat. Ia sekarang lebih sering pulang kekontraannya dan bercumbu dengan laptop mungilnya. Dikamarnya yang sempit karena sesak dipenuhi buku beserta baju-baju yang tak sempat ia cuci. Semakin mendukung tema kali ini yaitu, “kesumpekan”. Karso sumpek dengan bertubi pertanyaan. Analisisnya ditolak dan dimentahkan, bahkan ide-idenya disepelekan dengan menuduh bahwa ia melakukan sebuah analisis tidak dengan rujukan atau landasan teori yang jelas. Sehingga saat karso mengumpulkan analisisnya, penolakan dan koreksi habis-habisan membuat karso menciut mentalnya, ragu pikirannya, menurun kepercayaandirinya. Sehingga ia seperti pemurung yang mendendam. Dendamnya menjelma dalam berbagai bentuk, seperti kemarahan, kebencian, kedengkian, kedangkalan, kegundahan, dan kesensitifan dalam kesehariannya. Namun dendamnya memusat bukan pada si pengkritik analisisnya. Namun pada kebudayaan yang disepakati. Dan kebudayaan pakem yang menolak sebuah pembaharuan, inovasi, pengembangan, kreasi, dan ciri khas yang tidak sesuai dengan standart dan keseharusan dalam sebuah analisis atau bahkan karya ilmiah.
Pemuda berkacamata ini sedikit mual, saat dijejali dengan berbagai buku teori dan ilmu-ilmu abstraksi. Hatinya mengelak disaat apa yang dituliskannya tidak sesuai dengan keinginannya. Tuntutan untuk menuliskan hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan cara berfikirnya. Semakin membuat karso menelanjangi dirinya sendiri. Menurutnya sebuah analisis atau karya tulis adalah sebuah bentuk dari pembelajaran tesis, antitesi dan mewujudkan sintesis. Bukannya mengutip tesis dan fokus dalam pembahasan tesis tersebut dengan konteks yang baru. Atau mencari sebuah bentuk baru dari bertumpuk-tumpuk analisis yang menumpuk seperti sampah diruang baca atau perpustakaan lama. Ide baru tak diterima dalam sebuah penyususnan karya ilmiah, apalagi analisisnyata. Jika ide baru tersebut hanya bisa dimengerti di otak kita dan cuma bisa kita bicarakan tampa bisa menghubungkan dengan teori dan landasan yang sesuai. Maka ide kita hanyalah hipotesa tampa dasar yang kasar dan takbisa dimaklumi, bahwa sesungguhnya ide kita adalah bentuk dari realita yang tak terbatas ruang dan waktu.
Karsopun berteriak ditengah tempat bermain lembu-lembu sore itu,
“Disaat ide baru tidak diterima, maka selamanya akan terkungkung pada kebiasaan lama.”
Namun teriakan itu disambut dengan suara lembu yang saling bersaut-sautan seperti lolongan anjing dipadang safana. Sehingga karso kaget. Dan berlari menuju warung terdekat untuk segera membuka laptop mungilnya dan segera diam disamping etalase sampai larut malam.
Semenjak saat itu karso menjadi pesimistik dalam segala hal. Kerelatifan pikir membuatnya gampang marah dan serba aneh dalam perlakuannya. Ia juga sering pergi bersama wanita setiap sorenya dan pulang subuh dengan keadaan sempoyongan. Kontraannyapun seperti tempat hiburan malam. 1 minggu saja, sudah 3 wanita yang menjadi korbannya. Karsopun sulit diajak bicara serius mengenai kuliahnya. Ia sepertinya sudah mengalami lost memory sindrom. Penyakit yang membuat otaknya jebol alias stress. Namun sekali aku dipesani oleh karso mengenai hal akan terjadi kepadaku. Yaitu,
“Disini kau tidak akan mendapat apa-apa, selain kekecewaan dan waktu yang terbuang. Tapi jika kau keluar dan menemukan kebaruan-kebaruan lingkungan beserta manusia-manusia yang jauh lebih dalam segala hal diluar. Maka kau akan bisa lebih baik dari sebelumnya. Keluarlah dan carilah hal yang semestinya kau dapatkan, jangan didalam sini. Disini kau tak akan berkembang walau bagaimanapun usahamu. Karena disini sudah membuat kesepakatan bahwa disini bukan untuk sebuah perkembangan menuju kebaruan. Tapi untuk kestabilan dalam menghadapi perkembangan.”
Sepantasnya aku mendengarkan hal itu. karna bagaimanapun karso adalah teman yang baik untukku. Walaupun belum tentu baik untuk dirinya sendiri.
Memang mungkin jika interaksi yang disebut komunikasi antar dua orang atau lebih disepakati dengan sebutan pertukaran segala macam unsur diri. Sedangkan apapun yang ada dibanyak kenyataan yang sulit diterima adalah salah sangka. Selama jarum masih berputar dan banyak masalah yang diperanakan oleh waktu. Maka karso akan tetap kecewa dan semakin gila. Semenjak konsultasinya dengan seseorang itu, segala kekecewaan yang selalu diucapkan dan dilafalkan akan semakin mempengaruhi banyak orang-orang yang berada didekatnya. Sehingga aku memutuskan untuk mengusir karso dari pikiranku dan karsopun lenyap. Karena karso adalah sudut pandang pesimistik yang diciptakan untuk menilai dan mempertimbangkan kenyataan hidup saat menerima banyak hal yang tak sesuai dengan keseharusan pikiran.