Sabtu, 21 Juni 2014

Iklim Lupa Diri

Niat setulus apapun, kepedulian sebesar apapun, dan harapan sebaik apapun. Selalu dianggap sebaliknya di era kekinian. Bagaimana demokrasi punya andil besar. Kebebasan bersuara yang semakin taktau arah, kemungkinan-kemungkinan sukar diprediksi, kenyataan-kenyataan penuh kontradiksi, dan sistem modernisasi menimbulkan ketakutan-ketakutan pada manusianya. Karena sudah lelah menderita dan dibohongi oleh janji-janji ataupun timpang-tindih masalah. Walaupun masih banyak yang kuat dan tabah dalam menyesuaikan diri di iklim penuh tipudaya. Sehingga penyepelehan demi penyepelehan selalu menylimuti manusia-manusianya. Jika ada beberapa orang punya keinginan & niatan tulus, ingin menjadi pemimpin. Maka demokrasi ini, bukan iklim yang cocok. Untuk bersikap jujur, tulus, dan baik.

Apalagi akan diadakan pilpres 2014. Peralihan kepemimpinan yang diharapkan akan membuat Indonesia menjadi lebih baik. Tapi harapan lebih baik untuk Indonesia selalu tak mendapat restu dari yang Maha-kuasa. Malah permasalahan demi permasalahan semakin di hujan deraskan, bahkan dikembangbiakkan. Apa mungkin terlalu polos harapan manusia Indonesia dalam menyambut pemimpin barupada 2014 ini. tak seperti kampanye masing-masing calon pemimpin Indonesia yang cukup totalitas dan penuh strategi. Agar bisa mengambil banyak hati manusia Indonesia untuk memilihnya. Walaupun semua manusia Indonesia memilih salahsatu calon pemimpinnya. Lalu mengantarkannya untuk menuju kursi kepemimpinannya. Maka itu sesungguhnya hanya cara manusia Indonesia dalam menuruti permintaan manusia Indonesia lainya, yang merasamampu dan ingin memimpin sesama manusia Indonesia. Jika meminta agar dipilih untuk menjadi pemimpin Indonesia, maka hal itu akan dituruti oleh manusia Indonesia. Namun untuk direstui atau tidak, oleh manusia indonesia. Itu akan menjadi persoalannya. Restu manusia Indonesia cukup sulit diminta. Jika tidak benar-benar mengenal, mengetahui, mengerti, memahami, merasakan, mendegarkan, berkorban, dan berdoa. Mengenai manusianya dan Indonesia. Dalam kehidupan. Maka kepemimpinan menjadi senjata makan tuan. Bukan malah menyejahtrahkan. Malah dihujat habis-habisan, melalui kebebasan bersuara yang siap mengiris-iris telingga pemimpinnya. Karena sekarang ini banyak pemimpin yang taktahan kritik, apalagi menjunjung tinggi nilai-nilai demokratik. Sedangkan pajak terus dibayar, malah korupsi makin menggila. Sama halnya dengan proses penegakan keadilan. Moral rakyat dituntut untuk selalu taat dalam menjalankan peraturan, sedangkan moral pemerintahnya masih sering tersandung skandal dan kasus yang merugikan banyak hal. Seperti skandal bang century, skandal korupsi daging sapi, skandal korupsi dirjen pajak, skandal hambalang, dan kasus kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) yang jika dilihat sekilas di seluruh media cetak saja, belum lagi media penyiaran. Pasti setiap hari tak susah untuk mencari kasus atau skandal mengenai hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, dan pendidikan. inikah yang dimaksudkan dengan “manusia tak lepas dari masalah”. Atau kesadaran mengenai berkehidupan yang baik telah dikerdilkan. Apa setiap orang, entah pemerintah dan rakyat telah mengambil sikap oportunis. Karena telah merasakan ketidakcukupan duniawi yang semakin meminta lebih. Sehingga lupa bahwa semuanya akan dipertanggungjawabkan nantinya.

Namun alangkah anehnya, jika masih banyak ketidaksadaran semakin digembalakan oleh manusia. Khususnya yang ada didalam pemerintahan. Pemilu 2014 seperti ladang basah. Sehingga semua kuasa seakan menjadi serakah. Tak perlu ditunjukan beberapa contoh saja. Masyarakat bakalan bisa menyimpulkan bahwa kenyataannya, pemerintahan seperti tak berguna. Karena mencari nafkah masih susah, penjual daging makin kasihan, melihat konsumennya kaget. Mendengar harga daging yang tak bersahabat. Tiba-tiba saja mencuat kasus korupsi daging sapi oleh pejabat pemerintah. Sehingga semakin berbusa mulut rakyatnya saat melogikakan kenaikan harga daging. Tetapi malah kasus korupsi yang di blow-up media massa.