Sabtu, 21 Juni 2014

Antara

Bagaimana jadinya, bila terlalu lama menunda sebuah kewajiban yang berujung semakin tak terjadwal dengan baiknya sebuah aktivitas sehari-hari. Sehingga mempengaruhi berbagai aspek dalam diri, baik jasmani atau rohani. Merasakan sebuah ketidak harmonisan antara hati dan pikiran yang menimbulkan pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku yang semakin tak seimbang. Sama halnya kewajiban yang tak dilakukan, tetapi hak selalu didahulukan. Apalagi tuntutan yang semakin diminta, tetapi tugas malah ditunda-tunda. 

Seharusnya padi bisa tumbuh dan dipanen dengan baik. Jika petani dan musim bersahabat. Namun petani tak cukup bila cuman bersahabat dengan padi. Kalau bisa petani harus menjadikan padi seperti anaknya sendiri. Yang dirawat sepenuh jiwa, dicukupi kebutuhannya, baru dipanen nantinya. Namun sekarang tidak begitu. Padi tak dirawat jika tanah tak menjanjikan kesuburan, musim tak menunjukan persahabatan. Malah diberi pupuk agar cepat menghasilkan padi yang unggul dan cepat panennya, namun nantinya akan beracun dan mengurangi protein dan vitamin dalam padi yang akan menjadi beras nantinya. Sehingga kalau dikonsumsi akan tak maksimal hasilnya. Serba pragmatis atau tuntutan zaman yang elitis. Sehingga bukan proses yang diutamakan atau menjadi sorotan utama dalam menghasilkan hasil yang sesuai keinginannya. Namun malah hasil yang baik dan tak mau tau proses dalam mewujudkannya.

Ingin semuanya menjadi baik dan semuanya cepat memenuhi kebutuhannya. Tapi tetap dengan invensitas waktu yang singkat. Karena kebanyakan manusia sekarang telah mewujudkan waktu seperti benda penting yang hanya dimaknai secara kerdil. Bukan sebuah satu-kesatuan yang kosmos mengenai kesinambungan kehidupan dalam menjalani pemenuhan atau kewajiban dan hak yang salah satunya harus didahulukan, dan dipilih siapa yang utama tapi tetap kewajiban harus didahulukan. Namun keduanya tetap dilakukan.

Seperti bagaimana manusia menyebut mana yang lebih penting. Jika ukurannya atau volume pembahasannya hingga pembatasan ruang lingkupnya hanya terletak antara penting dan tidak penting. Apalagi jika dilihat dari baik dan buruknya. Karena jika dinilai antara baik dan buruk, berarti yang buruk akan dinomor duakan. Karena baik itu selalu indentik dengan keuntungan. Sama halnya jika dihadapkan dengan sebuah pilihan yang mengenai sebuah penentuan keselanjutan. Jika diingatkan oleh beberapa kejadian yang pernah terjadi sebelumnya, pasti kita akan berfikiran bahwa hal yang akan datang itu akan sama saat seusainya seperti dulu. Namun alangkah kagetnya ternyata apa yang kita perkirakan tak selalu benar, dan pastinya selalu memberikan sebuah kejutan yang tak pernah kita kira-kira adanya, hadirnya, bentuknya, dan lain-lain sehubungan dengan kekecewaan kita akan tebakan yang salah.

Sudahlah, itu taknyata adanya. Semuanya abstrak dan cuma neologisme semata. Yang nyata adalah saat-saat diacam oleh pemilik warung kalau besok tidak usah makan disini, kalau masih tetap nekat. Bakalan tak dilayani jika beli diwarung. Mau beli makanan saja diancam tidak boleh, padalah kitakan beli bukan mencuri. Namun setelah aku cari tau kenapa aku bisa dilarang membeli makanan diwarung. Saat kucari tau selama dua kali duapuluh empat jam. Ternyata kesalahan memang tak menunjukan batang hidungnya. Pemilik warung tak suka dengan kegemaranku menfoto mereka. Walaupun sesungguhnya aku cukup suka dengan fotografi.