Sedari dulu senyum itu sungguh topeng yang paling menipu. Tapi sekarang banyak orang mudah tau, mana yang palsu, mana yang menipu. Sehingga orang senyum sekarang sangat langkah. Efeknya, banyak yang muda makin tua, yang tua kelihatan sepuh, yang sepuh tambah cemberut. Ini bukan hipotesis tampa dasar, atau tebakan-perkiraan asal. Namun ini sungguhan. Sungguh-sungguh menyayangkan jika senyum hanya ditujukan untuk yang pantas disenyumi. Seperti keadaan, orang, lingkungan, dan hal-hal yang pantas untuk kita senyumi. Bagaimana kalau kita belajar tersenyum pada sesuatu yang seharusnya tak boleh kita senyumi, atau mensenyumi sesuatu yang sebenarnya sulit untuk kita tersenyum?.
Seperti kebanyakan persepsi mengenai banyaknya persoalan yang makin tak mutu untuk ditelanjangi. Segala manusianya lebih murung dari pada pembohongannya lewat senyuman dan tertawaan pelipurlara. Semuanya menipu. Jika melihat banyak senyuman, sesungguhnya melihat banyak kebohongan. Pengakalan diri yang semakin dimodifikasi untuk menipu manusia lainnya. Adalah cara bagaimana manusia kita menghadapi persoalan yang sungguh-sungguh semakin menggerogoti nurani mereka. Tubuh meraka terlatih untuk menunjukan bahasa tubuh yang membuat orang mudah menagis jika melihatnya. Bagaimana semuanya ada hubungannya dengan cara hidup untuk hidup. Tertawa, senyum, sumringah, cekikik’an. Adalah bagiaan dari bertahan hidup manusia-manusia kita. Dari yang jahanam, sampai khalifah yang mengharapkan surga. Sehingga membuat yang nyata dengan yang sungguh-sungguh realita. Semakin samar akan kerinduan kita atas ketidak mampuan dan ketidakberdayaan manusia-manusia lainya dalam hidup di era mbujuklanngapusi.
Seandainya tiada lagi manusia yang senyum terhadap diri-kita. Maka bagaimana kita akan awet muda. Begitupula bagaimana kalau kita tak pernah bersenyum terhadap siapa saja manusia yang ada disekeliling kita, maka kita ini buta. Apakah senyum yang diberikan gratis dari-Nya itu kita pelihara dengan kikirnya. Apakah kita ini pastas menimbang-nimbang apapun pemberian-Nya. Yang sesungguhnya adalah gratis. Padahal senyum adalah ibadah yang sungguh-sungguh baik. Senyum dihadapan siapa saja, tapi asal tau konteksnya. Bagaimana jika ada saudara kita meninggal dunia, kecelakaan, kena musibah, bencana, dan beberapa permasalahan yang sungguh berat. Lantas kita datang dengan senyam-senyum. Bukan begitu yang saya maksud. Namun bagaimana kita bisa menghadapi apapun, masalah, rejeki, musibah, bencana, azab, dan segala macam godaan manusia dengan senyuman.
Tersenyum itu bukan selalu dalam kias makna wajah dan raut. Namun dalam hati juga bisa senyum. Dan itu adalah lapang dada, legowo, sabar, atau dalam istilah agama adalah istiqomah. Bagaimana kita menenangkan, melapangkan, menerima apapun yang sudah kita usahakan dengan melakukan banyak hal tersebut. Maka kita lebih bisa belajar akan sebuah pendewasaan yang menua. Tapi juga mengerti dan memaklumi. Bagaimana kiasan bisa jadi serius, kalau dalam kenyataan adalah pembohongan yang melebur. Sehingga siapapun yang mencoba mengerti kita, maka sebenarnya mereka sedang kita tipu dan mereka meng’amini tipuan kita.
Tuhan pun tersenyum, kenapa kita untuk tersenyum saja masih itung-ini, itung-itu. Padahal senyum kita belum tentu sungguh-sungguh senyum. Semua senyum kita pamrih. Tak ada yang tulus. Senyum karena senang, senyum karena luka, senyum karena ingin dicinta, senyum karena iba, senyum karena ingin senyum, senyum karena diperhatikan, senyum karena lucu, senyum karena kaget, senyum karena ikutan senyum, senyum karena ketidak tahuan. Semua selalu ada karena. Apapun ada karenanya kenapa kalau tidak karena karena?. Kenapa?,,,kenapa?... karena itu selalu ada. Padahal itu pamrih. Sedangkan pamrih itu buruk bagi diri sendiri. Jalan paling cepat menuju oportunisasi.