Apapun yang diinginkan setiap orangtua sekarang ini, adalah bagaimana anaknya dapat lebih baik dalam hal apapun dibanding orangtuanya. Pendidikan contohnya, pendidikan tinggi apalagi. Bagaimana pertarungan antara gengsi dan realita, yang sulit dilogikakan oleh orang waras. Perguruan tinggi adalah tempat dimana sekarang ini disepakati oleh seluruh sistem tata kehidupan modern sebagai jenjang pendidikan tinggi yang dipercaya sebagai lembaga pendidikan paling diharapkan sumbangsihnya dalam menajemen sampai regenerasi negara, bangsa, dan segala element berkehidupan.
Sehingga aku masuk didalam sebuah lingkaran kesepakatan itu, lingkaran kesepakatan bahwa pendidikan tinggi adalah keselanjutan atas pendidikan-pendidikan sebelumnya. Namun alangkah kagetnya saat aku kuliah ditempat yang benar-benar tak kutau asal-usulnya, tak kutau bagaimana keadaanya, tak kutau bagaimana orang-orangnya, tak kutau bagaimana lingkungannya, tak kutau entah apa yang terjadi disana, tak kutau cara mendidiknya, tak kutau siapa yang mendidik aku disana, tak kutau bagaimana sejarah perkembangannya, tak kutau bagaimana keadaan saat ini, tak kutau akan seperti apa selanjutnya disana, dan akan jadi apa aku saat menempuh pendidikan disana. Disana, di tapal kuda Madura. Untuk menjalankan kewajiban atas perintah yang diprakarsai allah, disampaikan pada qodho & qodhar, dititipkan disaku orang tuaku, dan sampailah di tindak-tandukku hingga kusebut sebagai dinamika keseharusan yang harusku plesetkan sebagai jalan yang sudah ditunjukan.
Bagaimana disini, seharusnya aku menempuh pencarian yang tak boleh sia-sia, pencarian yang berbuah kebaikan ataupun keburukan, pencarian akan bagaimana aku, siapa aku, dimana aku, untuk apa aku, mengapa aku, dan sampai kapan aku. Itulah pertanyaan yang harus kujawab, kulaksanakan, kuamalkan, dan kuevaluasi. Layaknya penyerahan diri yang harus menjadi orang yang bukan diri sendiri, demi mencari diri sendiri, lalu mengenai hal yang selain diriku sendiri. Untuk tetap hidup dalam diri sendiri dan dalam hal yang selain diri sendiri.
Sebentar rasanya. Adalah selama-lamanya berada disini, untuk menjalankan buah kesepakatan atau pemenuhan atas kontribusiku kepada allah. Dimana aku harus menjalankan yang tak kusepakati. Karena dulu aku tak ikut menyepakati bahwa belajar itu harus sekolah di perguruan tinggi, belajar itu harus menempuh jenjang pendidikan yang seperti saat ini, pendidikan itu harus ujian, pendidikan itu harus, memakai baju atau seragam rapi, pendidikan itu masuk jam tujuh pulang jam satu, pendidikan itu harus mempelajari ilmu-ilmu yang membuatku menyepelekan ilmu-ilmu lainya, yang seharusnya aku pelajari juga, pendidikan itu harus menghormati, pendidikan itu harus mengerjakan tugas, pendidikan itu harus mencontek waktu ujian, pendidikan itu harus, melewati semester demi semester, pendidikan itu tidak boleh bolos, pendidikan itu harus aktif tidak pasif, pendidikan itu harus membayar, pendidikan itu harus fokus, pendidikan itu harus ini-itu. tapi aku dulu itu tak pernah menyepakati hal itu. Apa karena aku lahir belakangan sehingga tak bisa ikut menyepakati pendidikan yang seperti ini. atau itu murni salahku, mana hakku untuk bisa saling menyepakati sebuah konsepsi yang menentukan nasib generasi selanjutnya. Generasi yang lahir belakangan, generasi pengekor, generasi yang hak-haknya tak dihargai dan selalu disepelekan dan dibicarakan bahwa generasi selanjutnya adalah generasi yang bodoh dan semakin bodoh mengenai dirinya sendiri. Bahwa banyak generasi sekarang ini tak sadar kalau hak-haknya dihabisi, hak-haknya direbut paksa secara 50:50. Membodoh saja yang bisa dilakukan dan akhirnya menjadi benar-benar menjadi bodoh-sebodoh-bodohnya. Tak kenal siapa dirinya dan yang seharusnya ia kenali.
Semakin jauh, semakin lama, semakin tak kunjung selesai ini hal-hal diluar pengetahuan yang secuil ini. “siapa yang mengaku dekat dengan-Nya, ia akan mendapat cobaan lebih dari yang lainnya.” Benarkah begitu. Aku mengaku dekat, tapi tak pernah betah dengan ujian-ujian welas asihnya. Bagaimana lagi bersembunyi jika pendidikan yang kutempuh ini, menuntutku untuk tampil penuh ekspresi dan eksis tampa henti. Bagaimana bisa pendidikan tinggi membentuk watak tak tau diri yang berapi-api. Entah siapa, siapa. Berani menancapkan kedalam lorong-lorong gua bawah tanah relung jiwa manusia-manusia lugu, lucu, kemplu, dan rada dungu. Untuk menentukan nasib bangsa yang sedikit miring seperti menara pisa, sedikit hancur seperti dogma-dogma penentu kuasa, sedikit rabun karena matanya jarang digunakan melihat kuasa-Nya.
Serasa meminum ramuan paling ampuh. Semenjak menjalani pendidikan yang begitu ketat hingga kadang tali BH-nya mbeltat, kelasnya banyak yang di kososngkan karena mahasiswanya terlalu pintar untuk diajari teori-teori dasar. Hatinya terlalu dangkal karena banyak staff pengajar, dan petinggi kampusnya adalah preman pasar diseberang jalan. Organisasinya semakin tak nampak sombong, karena semua organisasinya hanya merongrong minta dana yang agar segala yang tak diperlukan bisa dimakan hingga kenyang.
Awalnya yang ingin nyaman dengan kampus ini atau menuntut pendidikan tinggi disini. Harus berjiwa bajingan, ber’otak residivis, bermuka dewi shinta, dan bersikap layaknya presiden obama. Bagaimana lingkungan yang cukup sulit untuk bertahan hidup. Warung-warungnya sangat disiplin, jalananya begitu mandiri sehingga tak membutuhkan cahaya penerangan untuk malam dan subuhnya, pengamanannya cukup baik karena selalu ada preman yang siap membersikan jalanan dari pengendara motor yang lalu-lalang, kontraannya dan kos-kosannya sering menyumbangkan hartanya kepada mbah-mbah warung pertigaan yang siaga kalau keadaan mulai tak aman, setiap hari untuk keamanan mahasiswanya yang tinggal didalamnya. Polisinya selalu duduk kerjanya, karena keadaan lingkungan yang tak memerlukan keamanan atau pengendalian dan pengawasan dari petugas yang berwenang, karena keadaan lingkungan kampus tapal kuda Madura sungguh-sungguh sangat aman dan safety. Lingkungan yang paling cocok untuk belajar hidup sabar dan mendidik keberanian yang hakiki. Dimana semua aman, terkendali, tak pernah ada masalah berarti. Karena jika ada yang membuat masalah, petinggi kampus ini akan memerintahkan bawahanya yang terdiri dari kiai, ulama, preman, blater, klebun, penganggur-penggangur, tukang becak, pemilik warung, tokoh masyarakat untuk segera membereskan, menyingkirkan siapa saja, apa saja, kapan saja, dimana saja, bagaimana saja, untuk mengatasi sebuah permasalahan dengan penyelsaian seselsai-selsainya. Alias pembersian seperti jaman orba soeharto dulu. Berani bertingkah, habisi saja. Itulah memo pejabat kampus ini, itulah mantra sihir yang membuat kampus tapal kuda Madura ini begitu lestari. Dan semakin tahun semakin mendapatkan banyak peminat yang tinggi, yang siap dijadikan budak abadi.
Setelah merasakan aura ketenangan dan keamanan VIP dari lingkungan kampus ini. aku mulai mencari tau bagaimana mahasiswa-mahasiswinya yang ada dalam pusaran arum jeram jarang kepang ini. Mereka adalah laki-laki titisan brahmana dan perempuan sudra yang membrahmanakan dirinya sendiri. Mahasiswanya begitu bertumpah ruah, mereka semua siap perang. Ada yang membawa parang, golok, pisau, ketapel, busur, elpiji, sapu, gitar, drem, tali, komputer, tasbih, dan ada yang tangan kosong. Siap menyerang apa saja yang tak sepaham dengan mereka, watak mereka sangat keras mengkristal, kebaikan mereka adalah keburukan bagi kita, pemaklumannya sangat menyakiti hati tampa kita sadari, ideologi mereka sama halnya dengan kambing yang dikebiri, kebaikan mereka seperti kisah tujuh kurcaci, ketulusan mereka sangat-sangat sulit dimengerti, cara mereka adalah bunuh diri, dan mereka tak pernah menyadari, tak sanggup mengerti, tak bisa memahami, bahwa mereka sesungguhnya hanya berdiam diri mengikuti apa yang dikehendaki petinggi kampus ini. Bukan berarti harus seenaknya sendiri. Namun ya seharusnya tau diri, dari pada mempermasalahkan masalah yang jelas-jelas sulit untuk tidak bertambah menjadi masalah yang lebih bermasalah. Makin dan makin, semakin untuk tidak menyadari yang makin menumpuki jaringan pola komunikasi mahasiswa baik rohaniah dan jasmani.
Saat sudah banyak yang menyukai kegemberiaan yang samar-samar dan dibuat khusus untuk tempat ini. semalaman yang cukup diimbang-imbangi dengan enaknya suasanya ngopi, ngobrol, dan pengeluaran unek-unek yang ada dalam cantolan masing-masing hati, dimana ada yang harus di keluarkan disini, semua harus lega, sekarang ini, namun bukanya lega karena gelisah-resah telah keluar dari diri. Tapi malah karena banyak hal-hal yang seharusnya tidak mungkin menjadi mungkin dan yang mungkin menjadi tidak mungkin disini. Maka sebaiknya menyingkir agar tak jatuh dari tempat jatuh sekarang ini.
Ingin merasakan belantara liar yang disuguhkan didalam film-film penghalallan pembunuhan. Atau ingin melihat dengan mata telanjang perkelahian ideologi, perang batin, sakit sejarah, nepotisme sama rata, atau hukum rimba dan sistem kerajaan zaman kuno disini. Belanda selalu mewariskan, kita memang diwarisi. Lantas bukan berarti kita bisa memilih, karena kita disini khususnya. Adalah generasi pewaris, generasi dihendaki, gerenasi kurcaci, generasi emansipasi, generasi tukang pukul besi, generasi sublimasi, generasi puting basi, generasi kacang kemiri, generasi penuh gengsi, generasi reduksi ekologi, namun yang paling tepat adalah generasi pencari yang tak kunjung menemui apa yang dicari. Sehingga mencari hal lain yang bukan haknya. Sehingga banyak sekali perseteruan yang terjadi dalam mata pusaran eksotika kusam lingkungan luar kampus tapal kuda Madura. Memang dalam sebuah kampus apalagi kampus ini. ada banyak kutu yang melakukan simbiosis mutualisme. Namanya selalu disebut dengan organisasi kusam luar kampus yang padat berisi. Sehingga semakin mewarnai dinamika tapal kuda Madura. Mereka kebinggungan untuk mencari lahan garapan. Sehingga selalu ada dalam lahan garapan tetangganya. Merana atau gembira. Seandainya organisasiya hanya onani sambil berkata “ayo lagi.... 3x”. Bagaimana bisa mempercayai sekumpulan orang yang mereka sendiri ingin dipercaya. Entah oleh siapa dan oleh apa.
Jika diluar kampus seperti hutan, maka didalamnya adalah rawa-rawa yang selalu menipu. Tak ada yang tau bahwa itu adalah rawa dan yang diluarnya adalah belantara. Dan siapa saja yang masuk tak akan keluar dengan rasa senang.
“Sudahlah”, kataku. Ini adalah bentuk lain dari ujian-Nya. Modifikasi penderitaan yang dihaluskan. Bagaimana membunuh dengan cara yang nampak tak seperti ingin membunuh. Kesanya adalah baik. Artinya adalah mati. Namun selama itu terjadi, alangkah pamrihnya jika dihadapkan dengan banyak ketidakterimaan. Gunakan segala yang bisa digunakan dan yang tidak bisa digunakan, sebagai representasi ketulusan atas keadaan yang mensarkasmekan diri sendiri.
Siapakan diri, basulah kaki, ucap basmallah, dan akhiri dengan alhamdulillah. Sehingga terucap hamdallah 3x. Apapun adalah realita. Jangan memaksa untuk memakai realita kita. Tapi coba menerima realita sebagai diri kita. Sehingga kepasrahan tak sekedar ketidak berdayaan yang diagung-agungkan.