Minggu, 01 Juni 2014

Adilisme

Siapa yang benci dengan keadilan. Jika keserakahan, perampasan hak, pembunuhan karakter belum bisa dikalahkan oleh diri sendiri. Menuntut keadilan, sama halnya dengan menunjukan ketidakberdayaannya terhadap realita yang memang tidak bisa adil padanya. Semua akan menuju oportunisasi. Pemenuhan diri sendiri. Yang tak akan selesai sebagai pelengkap ketidakadilan yang membuat ketidak berdayaan dalam benak masing-masing manusia.

Ketakutan bahwa keadilan tak akan tiba. Adalah kenyataan. Tapi yang lebih nyata adalah bahwa keadilan memang tak akan tiba untuk sekarang ini, apalagi nanti. Lawong dari dulu intelektual, buruh, mahasiswa, masyarakat, militer, pemerintah saja masih merumuskan lalu melaksanakan, mufakatisasi bentuk keadilan yang butuh penyesuaian menurut diri sendiri saja belum bisa. Sehingga realisasinya mendapat kontroversi menggurita. Keadilan memang bukan membutuhkan ruang atau waktu (kapan). Namun kita yang membutuhkan keadilan itu. Sehingga penyesuaian perlu. Disini begini, disana begitu. Mana bisa menyatukan bentuk realisasi keadilan yang hakiki, nyaman, sesuai, cukup, pas, enak, dan diapresiasi. Jika masing-masing kepala mempersepsi bahwa keadilan memiliki masing-masing representasi. Persepsi menurut orang beda mengenai keadilan. Sehingga tak ada yang bisa menciptakan keadilan yang dapat dinikmati semua orang.

Jika mengacu kepada bernegara, berbangsa, atau berkehidupan. Keadilan hanya di gambarkan dalam bidang duniawi. Bisa pangan lancar, sandang cukup, rohaniah memuaskan, dan jasmani menyehatkan. Lantas itulah ukuran keadilan sekarang ini. bukanya keadilan itu segala bentuk yang “adi” unggul, besar, luhur, tulus, dan besar.  Namun keadilan semakin dikerdilkan dengan makna “keadilan itu sama rata, tak merugikan” dan ditambahi oleh banyak warga dengan “tapi ya,,,harus menguntungkanlah, jangan rugi-rugi banget”.

Bagaimana bisa menentukan ukuran keadilan jika banyak kepala ingin tak dirugikan. Dengan kata lain ingin untungnya sendiri-sendiri. Sehingga tak digubris itu “sama rata”. Yang seharusnya dimaknakan secara luas. Dan menjadikan hal yang tidak ada hubungannya menjadi ada hubungannya, menjadikan hal yang berhubungan menjadi lebih dekat hubungannya. Menjadikan yang utuh menjadi batu, mengumpulkan butiran menjadi padat. Namun yang ada sekarang adalah membuat yang cair menjadi menguap. Yang artinya, ini semua sudah terlalu tak berhubungan. Banyak orang yang jauh dari kepercayaan dan meng’amini sebuah hubungan dapat membentuk perkembangan. Entah baik-buruk, itu nanti. Yang penting mari kita buat sebuah ikatan dengan dasar kepercayaan yang adil dengan maknawiah keadilan lalu menjunjung tinggi yang sudah tinggi.