Sabtu, 03 Mei 2014

Kopi Instan

Tau rumahnya, bisa menyimpulkan apa isinya, paham bagaimana orang-orangnya, mengerti kebiasaanya, tau seluk-beluk dan kegunaan setiap barang-barang dirumahnya, mengerti kebiasaan orang-orangnya dalam melakukan aktivitas diluar rumah. Tapi tak mengerti dimana dapurnya, tak pernah merasakan bagaimana kora-kora (cuci piring), tak paham sistem dan peraturan dalam mengolah masakan saat didapur, dan tak tau apa yang dimasak didapurnya. Sehingga tak pernah mengetahui berasal dari apa, bagaimana mengolahnya, sehingga bisa terbentuk sebuah makanan-makanan yang dapat menghidupkan seluruh isi rumah dan penghuninya. Semua selalu bersumber dari dapur, dapur tempat memasak. Makanan yang selalu disediakan untuk pemenuhan hidup. Dan itu semuanya dihasilkan dari tempat yang bernama dapur, atau pawon.

Begitu kok berani-beraninya menabuh genderang dengan berang. Menantang kebebalan dengan keuletan, menasehati ketidakadilan dengan prasangka kebaikan atau khusnuhdzon, meniduri keselarasan dengan padu ucap dan laku diri. Sedangkan pabrik penentunya tak pernah tau, tak pernah merasakan bekerja dipabrik tersebut, acuh terhadap sumber daya isi yang sesungguhnya menentukan segala dan apapun dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang sulit diwakili hanya dengan sebutan “dinamika kehidupan”. Semuanya akan seolah tidak afdhol.

Bagaimana mungkin bisa menilai bahwa bekerja sebagai penjaga warung kopi itu gampang. Cobak nyemplung’o dewe(coba rasakan sendiri) siapa bilang gampang dan mudah. Sekelas pejaga warung kopi itu harus bisa memahami paling sedikit itu 5 ilmu; ilmu pahamroso(paham rasa), sabar lan nrimo(sabar dan nerima), nglebur karo jiwo(melebur dengan jiwa), ngudek jenang(mengaduk jenang), & sungkan nglangkah(tidak enak melangkah). Dan itu biasanya disebut oleh beberapa penjaga warung kopi baik senior, amatir, atau harian “Ponjogo”, yang terdiri dari “po” atau panca yang artinya angka lima, sedangkan “njogo” atau menjaga yang artinya melindungi segala yang ada. Berarti lima ilmu yang dipergunakan untuk menjaga segala yang ada demi terkonsistennya keadaan dimana semuanya punya tempat dan waktunya masing-masing sehingga nampak keselarasan.

Rasakan dulu bagaimana pedihnya butiran kerikil dan endapan debu berterbangan hingga menemukan matamu sebagai tempat tujuan. Atau rasanya melihat orang tak makan karena terlalu banyak uangnya dan binggung membelanjakannya. Bagaimana dengan tuntutan demi tuntutan yang kita hajarkan kepada orang tua. Pengelompokan pemuda yang ingin melanjutkan belajar ke perguruan tinggi yang mengamini banyak dogma dan ribuan mahdzab yang klise. Seandainya pengasuh pondok pesantren adalah bigbos majalah playboy, apakah anda yakin bahwa sebenarnya bigbos majalah playboy tersebut akan menjadikan santri-santri yang salah satunya, anak anda menjadi lulusan yang bejat. Tampa sebelumnya anda kenal bagaimana sejarahnya, pengalamannya, lingkungannya, ibu-bapaknya, kakek-neneknya, pekerjaannya, jenjang pendidikannya, agamanya, dan orang mana itu bigbos majalah playboy itu. Baru anda boleh meramalkan, memastikan, menuduh-nuduh, mengira-ngira, kalau nanti bigbos majalah playboy tersebut adalah pengasuh dipesantren yang dihuni oleh anak anda, akan membuat anak anda setelah lulus dari pesantren itu akan bejat, blunat, rusak, ajor, atau bahkan anak anda bisa jadi model cover majalah playboy edisi pesantren.

Jika sumbar ditegagkan, getun-getuno......apapun yang didapat sebelum melewati legitimasi dan kedaulatan luar-dalam saat proses yang harusnya dilewati secara sadar dan tidak. Maka seharusnya kita tak sah untuk mengakui atau menghakimi yang seharusnya belum pantas kita akui apalagi kita hakimi. Pantas saja sebuah kebiadapan peradapan selalu berlangsung secara turun-temurun. Dari berbagai versi dan bentukpun, selalu mengadaptasikan lingkungan, generasi, dan moment kekinian. Seandainya sikap tau diri dan kerendahan nurani bukan saja kerendahan hati. Maka kesatuan dalam sebuah harapan atas kemungkaran, plesetan atas ketidak nyamanan berkehidupan, pemenuhan kehidupan yang syarat akan sikut-sikutan. Entah bagaimana bentuknya kesebaikan yang harus diciptakan. Bagaimana harusnya dan apa yang bisa diperbuat saat semuanya hanya ingin hasil tampa berharap proses bisa mengantarkannya pada sebuah harapan kepuasan yang semua dan tak pasti. Sudahkah memantapkan diri untuk serius berproses tampa pragmatis-egalistis.