Merasa penting dan tidak penting. Sampai tak sadar kalau kambing tetap mengembik, burung tetapi bersiul, dan jalanan disurabaya semakin padat oleh ribuan buruh beserta atribut demontrasi yang menunjukan keperkasaan tampa taring dan kering. Berhamburan seluruh buruh dan semua itu bisa dilihat di semua layar televisi, sekarang ini atau bahkan gembar-gembornya sudah sejak subuh tadi. Ini bukan kegiatan yang membudaya dikala 01 Mei berlangsung. Semua mendung asap kendaraan dan penuh teriakan-teriakan menuntut kesejahtraan yang relatif dan bentuk penyesuaian mengenai kepuasan-kepuasan yang setiap hari mengalami aktualisasi.
Jika buruh memang sebuah sebutan yang dibentuk untuk memblow-up ketertindasan, keserakahan yang ditentang, keadilan yang dipincangkan, kemrosotan nilai moral yang semakin anjlok, sampai penghilangan-penghilangan martabat manusia-manusianya dalam sistem pemenuhan kehidupan yang sudah di mobilisasi dengan gaya kapitalisasi. Semua akan menjadi carut-marut tak terkontrol. Bagaimana kontradiktif yang ditampilkan dengan ekstra ruang spesial di hari buruh ini. Entah apa yang menjadi pikiran mereka yang berkumpul dengan banyak atribut dari mulai yang primer, sekunder, hingga tersier. Demo yang menuntut, aspirasi yang menghasut, bahasa tubuh yang menyampaikan pesan kelaparan, namun gaya berdemo yang hedonis serta sistem tahunan yang begitu estetis. Selalu menylimuti layar televisi dan perhatian tahunan atau keadilan yang dinilai tak aktual dan pintar menyesuaikan tuntutan-tuntutan yang selalu perbarui dan ditambahi demi pemenuhan hajat pribadi yang tak pernah selesai dan tetap ini.
Siapapun, dimanapun, kapanpun. Semua selalu sama. Sama-sama menunjukan keperkasaannya dalam berjuang dan mencapai apa yang diinginkan. Keinginan yang selalu tak pernah selesai, perjuangan yang dinilai hanya sia-sia walaupun tetap bergelora dalam menyampaiannya. Hati dan jiwa yang keras akan selalu menunjukan keberingasannya. Ketertautan persaudaraan menjadi pantas diibai dengan beberapa kompromi-kompromi perasaan sadar diri. Bagaimana sikap kemanusiaan yang diuji dalam menuntaskan banyaknya permasalahan buruh yang kadang masuk diakal dan syarat kasihan. Meraka kepanasan, kita keluar keringat dingin, mereka kebinggungan dengan ketidaktahuannya, kita nyaman karena banyaknya pengetahuan yang tak didakwahkan kepada yang lainya, mereka sukar untuk santai karena pekerjaan dan sistem yang selalu mencekik saat mereka ingin memuaskan keringnya tenggorokan mereka dengan air comberan atau ludah bekas jilatan kaum proletar lainya. Dirasakannya kelelahan namun tak dirasakannya hasil dari keringat sampingan yang dilakukanya setiap tahunnya.
Jika akan dibuat sebuah kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan untuk menyikapi, merealisasikan, atau lebih sederhanannya, manusia-manusia yang diberi label buruh ini supaya dapat mewujudkan keinginannya, mewujudkan keinginan kelompoknya, mewujudkan keinginan-keinginan yang dipoles seperti benar-benar keinginannya sendiri tapi sebenarnya keinginan titipan. Atau keinginan-keinginan bohongan yang ditanamkan di otak manusia lainya sehingga kesannya keinginan sendiri-sendiri yang berbeda-beda variannya itu menjadi sama. Sama dan mudah diarahkan kearah yang terserah kemana, oleh para penentu arah. Jika yang diketahui buruh hanya upah yang tak pernah cukup memenuhi kebutuhan hidup yang selalu mengalami perkembangan secara pesat, secara besar dibandingkan dengan usaha-usahanya dalam pemenuhan hidup, seperti yang sudah saya bilang tadi.
Apakah jika kemurniaan keinginan yang mewakili atau amanah yang diterima untuk menyampaikan sebuah ketidak puasan kepada pemerintah, hanya akan dibuat sebuah slilit yang semakin kecil semakin bisa memasuki labirin di sela-sela taman yang berhiaskan mahkota-mahkota yang pamer akan kekuasaan dan haus menguasai. Maka sebaik apapun seorang yang menembus labirin itu pasti akan tersesat. Labirin selalu menunggu apapun untuk disesatkan, baik buruh, pekerja, penindas, pemusnah, simiskin, sikaya, dan segala yang diamini dengan sebutan-sebutan kesepakatan tersebut.
Buruh selalu punya hari spesial untuk menunjukan keperkasaannya, kekuasaanya, soliditas atas saudaranya senasib, dan ketertindasan yang dimobilisasi. Untuk dijadikan kekuatan demi menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ketakutan mengenai pemanfaatan kekuatan besar yang identik dengan penderitaan, pemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketidakpuasan akan tunjangan-tunjangan hidup setiap tahunnya. Demi memuaskan keinginan para buruh yang tidak puas akan pemenuhan-pemenuhan keinginan dalam sebuah dinamika pemenuhan kebutuhan hidup. Maka budaya turun kejalan dan mengumpulkan semua yang dipandang senasib, akan selalu sulit menemukan sebuah jalan keluar demi terciptanya kepuasan dan kesejahtraan yang relatif. Karena setiap waktu semua keinginan dan tuntutan buruh atas ketidakpuasanya akan selalu menginginkan hal yang lebih dari yang sebelumnya. Ketidakinginan mengenai sebuah pengkerdilan dan penyebutan idiom “buruh” adalah sebuah penyepelean makna yang sungguh-sungguh besar. Bagaimana mungkin ketertindasan, ingin tercipta keadilan, harapan untuk sejahtera, cita ingin bahagia, berusaha untuk memenuhi hidup, peluh dan usaha penghabisan waktu, harapan untuk mendapat tunjangan dan bayaran lebih, manusia-manusia yang dibuat layaknya mesin yang habis buang dan ambil yang baru, hingga tangis, harapan bertumpuk, serta angan-angan mengenai keluarga beserta ingin hidup damai. Menjadikan ketidak pantasan mengenai penyingkatan dan pembutan idiom atau sebutan “buruh” sungguh takseimbang dengan apapun yang sebenarnya nyata dan dirasa.