Sehari menjadi kiai, adalah pengalaman tak terduka. Ditengah banyak bisikan untuk jadi raja. Malah yang nyabet raga adalah setan kiai yang nampak kurus dan berjenggot putih. Rambutnya yang lebat terkepang kebelakang, memesankan kopi dan menyuguhkan rokok sambil menumpakan tetesan es milo yang habis dan tinggal sisa. Di gang itu semua melebur menjadi satu. Tapi bukan dua menjadi satu. Namun satu-satu yang menjadi satu kenyamanan pemesona. Terlena, terasa, terlupa, tertindih, terlindas dan ter,,,puter otaknya. Darimulai pagi bicara diri dan problema sulit yang menerpa, siang yang tetap kekeh menunjukan kepribadian dengan rancu, sore yang habis karena malas dan bicara mimpi, dan malam yang melebur sampai perut buncit dan tertidur-tidur saat menemui kejanggalan hati, kedengkian iri, kebolehan tak berarti, kepintaran yang menasehati, ucapan hati beda dengan laku diri, hingga peran sakti antara hati dan nurani. Siapa yang benar sendiri?. Dan siapa yang akan mati nanti?.
Sudah tau kalau malam akan meninggalkan semua yang mengharapkannya. Subuh akan menang dan menindas siapa saja yang melawan. Jika waktunya tiba, maka yang tak menyerah akan kalah juga. Namun sebelum subuh melindas mereka yang tak menyerah, ada pihak yang terlupa. Yaitu si pemberang, tukang paling di benci diwaktu malam. Tak pernah mengerti kalau malam tak selalu bisa melawan subuh. Sedangkan si pemberang akan tetap memerlukan moment-moment seperempat malam, untuk menemukan siapa sebenarnya dirinya. Si pemberang selalu marah saat seperempat malamnya direbut subuh yang egois menyabet jatah pencarianya. Sempat ada maklumat si pemberang yang gagah menghujat subuh.
“siapa kau ini, wahai subuh. Tak bermurah hatikah engkau memberi sedikit ruang yang cukup untuk menyelsaikan pencarianku ini. Aku ini sudah hampir gila, tapi masih saja kau ini takmau tau kapan harusnya kompromi-kompromi itu dilaksanakan.”
Sembah batu, sembah ragu. Yang dilakukan si pemberang selalu tak jauh berbeda dengan kekecewaan atas waktu yang terbuang dan ketidak berdayaanya untuk memanfaatkan seperempat malam sebelum disahut oleh subuh. Kuharap malam bisa lebih berani dari kedikdayaan subuh saat menampakkannya. Apalagi subuh itu sudah tak tau batas kekuasaan dan keberanian. Mencari-cari yang tak harusnya dicari. Sehingga yang lainya takbisa mencari yang seharusnya mereka cari. Beranikan diri untuk mencari, bukan beranikan diri untuk menutup diri demi mendekatnya permasalahan-permasalahan yang menyita ruang pikir. Sehingga si pemberang dimalam itu di tampaki oleh om kiai dan pakdhe bahula. Namun alangkah beruntungnya si pemberang saat duduk dan merenungkan masalahnya. Tiba-tiba om kiai dan pakdhe bahula mampir duduk bersamanya.
Sebelum itu, om kiai dan pakdhe bahula sempat berkunjung di pesta perkawinan tumenggung bondocongor dengan endar swastika. Meriahnya pesta perkawinan yang diadakan oleh tumenggung bondocongor dan endar swastika di hotel prasongko desa tunggaljiwo sungguh meriah. Pesta begitu meriah, sehingga om kiai dan pakdhe bahula lupa, malam ini telah menghabiskan whisky dan jack daniels berbotol-botol. Sambil di temani dayang-dayang striptis yang telah disuguhkan khusus dari tumenggung bondocongor untuk menyambut kedatangan sahabat karibnya. Sahabat karib yang bertemu dan sedikit bernostalgia mengingat-ingat masa-masa mereka saat melakukan demo bersama di depan gedung dan pendopo pemerintahan desa tunggaljiwo saat diperintah raja kondorekso. Dimana semua amatlah diatur, sampai kencing, berak, bersiul, tidur, makan, minum, pacaran, bercinta, bicara, bertingkah, dan bersembahyang. Namun itu dulu, tapi ya tidak dulu-dulu amat.
Terlenalah, om kiai dan pakdhe bahula. Sampai-sampai mereka pulang dengan sempoyongan sambil menyanyikan lagu-lagu iwan fals edisi jadul. Bukan karena mereka menggaguminya tapi karena mereka tak sengaja memutar playlist lagu di smartphone mereka sambil mendengarkan lewat headset, yang ternyata itu lagunya iwan fals. Berjalan dan bernyanyi, hingga sampailah pada gang yang disebelah kanan dekat gapuranya ada sebuah warung sepi. Warung yang disitu ada seorang yang terkenal bernama si pemberang atau biasanya dipanggil tumenggung bondocongor dengan sebutan kemendel atau orang yang sok berani, padahal tidak berani-berani amat. Karena melihatnya seperti pertapa kesepian yang merana memikirkan sesuatu, maka mampirlah om kiai dan pakdhe bahula untuk sekedar menghabiskan malam. Dan sungguh tak taunya mereka bahwa si pemberang sedang sumpek memikirkan pencarianya dan kemarahanya atas kefeodalan subuh.
Setelah meletakan badan dan menempelkan pantat mereka berdua om kiai dan pakdhe bahula langsung menatap si pemberang dengan kebinggungan dan sedikit tertawa. Entah kenapa mereka berdua tertawa, apakah pengaruh minuman beralkohol yang tadi di minum, atau karena melihat orang yang biasanya nampak jagoan dan perkasa di desa tunggaljiwo ini kelihatan binggung dan bimbang.
“sungguh beda, wes sudah jangan murung begitutoh rang,,,”
“astajim, siapa anda-anda ini, beraninya mengkagetkan dan mengganggu renungan saya”
Pakdhe bahulapun menyahut dan disusul oleh om kiai yang sudah ngiler dan sempoyongan duduknya.
“renungan-renungan gundulmu, lawong kamu loh mainan BBM gitu. Iya, dasar temungkak kamu itu rang-rang”
Tertawa sambil memukul pundak om kiai, begitu pakdhe bahula yang mukanya sudah sedikit tak tertata ini menjadi cemberut. Padahal tadi diakan tertawa sinis. Malah yang tertawa lebar adalah si pemberang. Om kiai yang tiba-tiba sadar setelah di dipukul pundaknya oleh si pemberang, malah om kiai sekarang geblak dan tertidur pulas secara mendadak. Semua terkaget dan kebingunggan. Logika apa ini, realita model apa. habis ketawa, dipukul kok langsung tidur.
Si pemberang pun kaget, “loh pakdhe, ini kenapa?”
Pakdhe bahula menyahut sambil memegang kepala om kiai, “ndak papa, ndak panas kok. Malah yang panas ini tanganku,,,hahahhahahhahhah”
“padhe ini lak bercanda terus, sudahlah. Tadi tertawa tiba-tiba cemberut, sekarang malah tertawa, bercada pula.”
“sudah lah biarkan om kiai ini tidur, dia tadi lelah. Gara-gara salah pilih obat kuat waktu mendatangi pesta perkawinan tumenggung bondocongor, pak lekmu itu”
Dibiarkanya om kiai tertidur, dan tinggal pakdhe bahula dan si pemberang. Kini mereka menjadi serius merasakan malam, ditengah ketenangan itu, sipemberang mengawali pembicaraan. Ia menanyakan sebuah pergulatan batinnya dan rasa ketidakterimaanya kepada subuh yang mentang-mentang atas kekuasaanya. Sehingga merebut waktu seperempat malamnya si pemberang untuk melakukan sebuah pencarian. Si pemberang stress dan curhat kepada pakdhe bahula.
“pakdhe, saya harus bagaimana. Ini sudah mentok pikiran saya mengenai subuh dan mokongnya.saya cuma mau mencari siapa sebenarnya diri saya. Tapi gara-gara subuh. Seperempat malam menjadi hilang dan sulit kutemui”
“kenapa rang, kenapa mau mencari siapa sebenarnya dirimu itu?”
“untuk melengkapi ajirogo-sukmoingsun. Dan untuk meleburkan diri”
“terus setelah kamu mendapatkan hal itu, kamu akan apakan?”
“ya, rencananya akan saya akan mendirikan padepokan guna dedengkulan, yang mengumpulkan anak-anak desa tunggaljiwo untuk dilatih ilmu kanuragan dan ilmu kebatin yang diwajibkan sebagai bekal hidup lan lestari. Sebagaimana menjadi bermanfaat bagi yang lainya dan menjadi sebuah media baru dalam anugerah ning gusti. Pakdhe”
“kamu tau bahwa subuh sekarang sudah berkuasa penuh atas malam, tindasannya sudah sampai pada surup-surup, sehingga berani memakan seperempat malam yang kau cari sekarang”
“benarkah pakdhe, sebegitu kuasanya subuh hingga menindas surup-surup yang mahasilau itu”
“benar rang, apalagi malam yang masih butuh waktulama menuju pendewasaanya. Sehingga subuh malah gampang melindasnya”
“lantas apa yang bisa dilakukan, tentunya aku ingin niat baik ini secepatnya terlaksana pakdhe bahula. Ini menyangkut nasib anak-anak tunggaljiwo untuk lebih merasakan sebuah peradaban yang benar-benar peradaban, bukan peradapan plastik atau peradaban imitasi. Kepekaan akan kesenjangan dan ketertinggalan massal sungguh merisaukan saya pakdhe. Bagaimana melihat anak-anak semakin mendengki, mendendam, melongo, merongos, melarat pikir, meralat imajinasi, dipingit sambil telanjang, dipukul dengan rotan oleh bapak-ibuknya, ditipu mainan-mainan impor, dijejali gadjet-gadjet impor, dan disuguhi televisi yang semakin hari semakin tak tau diri”
“iya pakdhe mengerti rang, tapi jangan gegabah dong. Semua itu ada waktunya dan harus kuat sabarnya. Istiqomah adalah jalan, usaha adalah perang, entah apa yang harus kau lakukan untuk secepatnya melenyapkan subuh dan menemukan seperempat malammu itu, tapi ingatlah hakikatnya....”
“apa hakikatnya pakdhe?”
“hakikatnya adalah,,,dengar baik-baik rang. Pagi, malam, siang, sore, surup-surup, padang-padang, mentor-mentor, ataupun pagi ndak pagi, sore ndak sore, malam ndak malam dan subuh ndak subuh. Adalah sebuah keterikatan. Keterikatan atas sebuah regulasi, sirkulasi, pabrik jumbo, yang saling tindih-menindi, saling bunuh-membunuh, saling hidup menghidup, saling dendam mendendam, saling dengki, mendengki. Dimana akan menjadi sebuah dinamika sebuah tatanan alam yang memanusia. Sehingga menimbulkan sebuah ketergantungan bagi yang ada didekatnya, ketertantangan hasrat untuk merasakan hal yang sama, keselarasan yang padu dan jauh dari kemungkaran tak berbentuk.”
“Saya tidak begitu nyantol pakdhe bahula”
“memang sulit untuk memahami apapun yang sebenarnya tak kita hayati. Mendengarkan karena hal lain, bukan karena ingin mendengarkan, tetapi ingin, tau, ingin bisa, ingin cepat, ingin baik, ingin praktis, dan ingin-ingin yang membelakangi rasa ingin mendengar.”
“Malah njelimet sekali pakdhe, ada yang sedikit lebih enak atau yang paket simple gitu pakdhe. Supaya omongan-omongan pakdhe bisa tak makan tapi ndak nyangkut di tenggorokan.”
“pakdhe akan jelaskan lebih simplenya mengenai hakikat....”
“iya pakdhe,,,!!!”
“begini loh rang seharusnya itu. kalau kamu ingin jelas mengenai ilmu hakikat, kamu harus belajar dan bersabar dalam mengenal, menyayangi, berkorban, dan untuk menuju ilmu hakikat. Itu yang namanya hakikat. Yang akhirnya kamu akan mengerti ”
“ya mesti toh pakhe”
“bener toh begitu. Hahahahahaha”
Sambil tertawah mulutnya komat-kamet, pakdhe bahula segera memukul punggungnya om kiai dan si pemberang dengan tanganya, ia ketawa tak jelas, mengapa?, apanya yang lucu?. Padahal tadikan seriusnya tak karuan, bagaimana pakdhe bahula mencoba menerangkan mengenai hakikat kepada si pemberang yang sempak menyimaknya dengan harapan bahwa ia akan menemukan sebuah cara dalam mengatasi pencariannya yang terhalangi oleh subuh.
“kok ketawa toh pakdhe bahula ini ndak asik. Serius-serius malah tertawa.”
“badan pakdhe bahula yang nglempruk sempoyongan sambil duduk di depan si pemberang dan disamping om kiai. Langsung tergeletak sambil ketawa yang keras pelan-pelan semakin pelan tak terdengar, lalu tidurlah pakdhe bahula beserta om kiai yang sama-sama mabuk dan menuntas kan sebuah pengembaraanya menuju kesadarannya. Sedangkan si pemberang kebinggungan karena tak bisa menantang subuh dan mencapai tujuannya untuk menemukan seperempat malamnya. Sehingga semua menjadi aneh, tak selesai, berjalan terus menerus, tampa bentuk, tampa kantuk dan tetap tak selesai.
Bagaimana si pemberang yang tak padam amarahnya, tak padam penasarannya, tak padam merah matanya, tak padam keingin menangannya, tak padam apa-apa yang seharusnya bisa padam dengan sendirinya, bagaimana menumbuhkan sebuah kenyataan bahwa keseharusan memang sulit dan tak berpihak dengan diri walaupun mencari cara sampai tak puas hati.