Kamis, 24 April 2014

Mahabakso “Temungkak” & Cemburu “Buto”

Masih melotot, sambil berbicara tetapi salah ucap semua. Namun tetap nyolot. 
Ini pemuda masih binggung, untuk menunjukan jalan yang benar terhadap darahnya sendiri. Ia membimbing darahnya naik kemata sampai matanya melotot saat penasaran dan tak diperdulikan. Otot-otot leher yang tarik-menarik karena tak sanggup menahan beban darah yang dibimbing dan memenuhi bagian atas kepala, sehingga kepalanya menjadi berat dan otot-otot leher harus tarik menarik untuk menyokong beban kepalanya yang berat karena semua darah mengalir kepadanya. kram rasanya. Melihatnya saja jadi ingin tertawa. Uwong kantepen sira. Baru bisa ngomong sedikit saja, sudah suka ngomong. Lihat, malah membuat ludah dan liurnya tidak betah berada terus-terusan di dalam mulut goanya. Sehingga kalau ada kesempatan mulutnya terbuka, maka secepat kilat ludah bercampur liur melesat jauh menuju apapun yang ada didekatnya.

Diwaktu lenggang, tempat santai selalu disibukkan dengan pelampiasan-pelampiasan beberapa pelajar yang tersesat. Tersesat disebuah penjara pikir, penjara ruh, penjara nurani, dan penjara expresi. Iya benar sekali, perkuliahan atau pendidikan tinggi yang benar-benar tinggi. Sampai-sampai tak sembarang orang bisa memanjat dan sampai di lantai paling atas. Namun kasih yang memaksa untuk masuk di pendidikan tinggi ini, memohon-mohon dan tak sadar diri kalau sesungguhnya meminta itu, menjadi haram jikalau kita masih mampu. Namun calon pelajar selalu mengerjar, menghajar, menikam, meminta, memelas, menerkam, dan menjerumuskan agar para orang tua mau untuk memanggul, membopong, mengendong, menyokong agar anaknya bisa naik dan mendapatkan keinginannya. Namun masih saja tak menghargai. Tetap meminta dikalah akil-baligh sudah cukup bisa beradaptasi dengan seluruh nilai dalam diri. Pengertian itu ya mbok harus dikembangkan. Jangan cuma ingin pengertian yang ingin balasan, pamrih atau biar sama-sama impas hutangnya gitu.

Sama halnya dengan seorang pesolek, pemuna-fik, penjilat, yang sudah memenuhi tempat ini. dimana makanan, minuman, rokok, dan bau kertas bersama tinta print yang semerbak menghiasi lalu lalang kesibukan bangku pendidikan tinggi di dataran pesisir ini. Dengan panas yang dibuat khusus untuk mencairkan hati para masyarakatnya, hujan yang disetting lebih besar untuk mendinginkan pikiran-pikiran yang mudah panas, sampai petir yang disiapkan khusus untuk memperingatkan para masyarakatnya agar tetap patuh pada budaya dan adat istiadatnya. Madura, pulau penyuplai manusia terbesar di indonesia setelah jawa. Masyarakatnya dikirim keberbagai belahan tanah nusantara yang unik-unik. Sehingga tak heran jika dimana-mana banyak Madura. Entah ituh preman, korak, germo, tukang parkir, penjual sate, penjual bebek, produsen batik, pencuri, pengusaha besi tua, pencopet, penjagal, pemilik tanah, juraga sapi, bos mafia sabu-sabu, residivis, kordes, PSK, koruptor, atau pengusaha rosok’an. Begitu mengertinya kalau kita semua, kita semua manusia indonesia sedang ingin dan membutuhkan tenaga, cara dan apapun didalam diri seorang Madura. Dimana ngeyel, mengeluh, kerjakerasnya, persaudaraanya, fanatismenya, kepercayaanya, kekuatanya, sikap pantang malunya, keunikan cara komunikasinya, keahlian mengakali apapun kehendak tuhan, suka menggoda tuhan, suka pura-pura nolak rezeki supaya dibilang baik dan supaya siapa tau rezekinya akan ditambah lagi sama tuhan. Namun begitulah jika Madura merupakan masyarakat yang paling sadar akan desentralisasi atau pemerataan manusia-manusia yang benar-benar dibutuhkan dimana saja. Namun akibat menyebarnya dan disebarnya masyarakat Madura maka semua yang kacau makin kacau, tapi kadang jadi aman, kadang juga jadi amin. Suara perang atau pertempuran bahkan menyerupai suara peluru dan teriakan-teriakan prajurit perang yang selalu disia-siakan.

Keunikan akan diutamakan jika keunikan yang sebelumnya sudah dianggap biasa. Gelas dahulu cuma begitu saja sudah bagus dan unik. Soalnya gelas tidak diproduksi masal, gelas cuma begini saja bentuknya, dan gelas selalu ada ruang kosongnya. Tetapi sekarang gelas yang seperti itu, sederhana, polosan, simple dan mudah dan tidak membuat orang bertanya atau kebinggungan “apa itu gelas?”. Gelas. Dimana gelas adalah wadah air, air adalah minuman manusia, dan air adalah element penting dalam sebuah kehidupan. Dan hal itu membuat sebuah silogisme bahwa gelas itu penting bagi kehidupan. Berdebat dengan cara yang tidak menarik, berada ditempat yang tak strategis. Ingin selalu diperhatikan orang dan belajar menjadi pribadi yang mengispirasi sampai-sampai selalu diperhatikan hingga diperhitungkan eksistensimu.

Ini kenapa, semua yang ada disekeliling bangku makan di tempat santai pendidikan tinggi pesisir ini, semua pada ingin pancing-pancingan mengenai kemampuan bercakap-cakap, ingin menunjukan kalau, ini loh punyaku lebih baik, ini aku lebih bisa, ini aku sudah mengetahuan dan mengeuasai hal ini. bagaimana menaruh sebuah kepercayaan agar apa yang sebenarnya kita maksudkan tidak diselewengkan dengan rapi dan harus diawali dengan bissmilah atau semacam doa apapun untuk mengingat-ingat bagaimana kita dilahirkan dan bagaimana bersyukur setelah itu. jangan menunggu apapun untuk melakukan apapun jika hendak menjadikan apa yang kamu miliki menjadi manfaat dan barokah. Tetapi kesungguhan dan keinginpameran atau cara untuk mendapatkan keuntungan informasi dengan menelaah dan memancing agar apapun bisa keluar dan dijadikan sebuah preferensi untuk melebihi lawan-lawanya.

Duduk dengan gaya seorang diplomatis berkain putih dan memakai sepatu aladin. Semua itu berawal ketika sepi dan kutinggal konsentrasi kepada kertas ajaib yang bisa membuatku berimajinasi dan melihat dunia, hanya dengan memandangnya berlembar-lembar sampai-sampai celetukan yang begitu mencari perhatian mengesalkanku. Membanggakan dirinya secara tidak langsung dengan arah senada amarah dan melakukanya dengan sebuah perantara supaya tak terlalu kentara, kalau sedang membanggakan dirinya sendiri. Seperti teguran atau penegasan bahwa hanya dia, hanya dia, hanya dia dan dia saja yang telah melakukan sebuah hal yang seharusnya dilakukan dilingkungan pendidikan tinggi yang kisah nya seperti kacang polong ajaib penghubung antara kerajaan langit dan bumi.

Kalau dari luar dan sedang mengeluh sambil menghibur diri. Terlihat sekumpulan manusia yang mempercayakan diri kepada pendidikan tinggi tetapi manusia ini berasal dari jauh, barat sana. Mereka kadang suka galau dan tak menentu perasaanya. Seperti setiap hari harus menghibur diri tampa menyibukan diri dan berusahan untuk menilai, mengunjing, mencemooh, mengkritisi, membujuk, menipu diri, mencari seribu penegasan, menata keuntungan pribadi, melangkahkan sekurelitas pikiran dan hati, menjelma diri lain, mencari eksistensi yang mati, mengumbar telaah pribadi, memastikan semua hal-hal yang tidak pasti akan, dimana, dan seperti apa jadinya. Semua sibuk dengan menghibur diri. Jauh dari tempat asal membuat mereka seperti mahluk selain mahluk yang tak percaya bahwa mereka disini dan akan bernasib seperti yang sudah dan akan selalu seperti ini. pikiranya jauh dari keseriusan yang absah, dimana semua adalah relatif bahkan ilmu pasti tak pernah dipakai oleh mereka demi membuat sebuah cara, agar bagaimana mengakali diri mereka untuk nyaman disebuah keadaan yang sesungguhnya tidak membuat mereka nyaman dan tak barang tentu sebuah gagasan untuk menemukan cara agar bisa mengakali diri, menipu hati, merubah kaidah kaidah pasti bahwa sesungguhnya mereka begitu rindu tanah asli mereka, pasif dan akan menunggu sampai kapanpun. Enta akan berakhir atau akan berbeda seperti keseharusan putaran zaman. Jika semua paham mengenai cara untuk lebih nyaman adalah meninggalkan kenyamanan dan membungkam penyia-nyia’an. Karena hal itu akan membuat terlena dan lekas punah. Punah seluruhnya, tiada yang tersisa, hingga seakan ada kesadaran-kesadaran bahwa akan terjadi perubahan.

Perbuahan juga akan terjawab jika teman berubah menjadi tak saling menegur, menyapa, melihat, tertarik, dan curhat sampai mengeluarkan sebuah kegelisahan yang akan dibalas oleh solusi-solusi aktif dan konstruktif. Namun bak sebuah dongeng. Si jahat akan dijauhi dan tak diperdulikan sedangkan si baik akan disayang dan tak dihiraukan. Kejahatan apa yang tak terungkap untuk mendapatkan sebuah kemenangan. Jika wanita hanya untuk memuaskan birahi, maka itu sungguh jujur adanya. Namun harganya tak semurah eceran surya yang semakin naik, krenik-krenik. Ayolah buat sebuah cara yang baik, jika kekalahan harusnya tak menjauhkan atau menghindar, apalagi persaingan. Tak musti harus menjadi musuh. Namun kenyataanya memang begitu. Keras dan tak mungkin diterima akal waras.

Keegoisan, pamrih, eksistensi berlebih, dan butuh pujian. Adalah pelengkap dari ketinggian pendidikan tinggi yang telah melebamkan pungguh orang tua yang tak tau apa-apa. semakin dijual tak terkontrol ini pendidikan. sudah habis, sisa-sisanya dijual pula. Bagiaman ini bisa terjadi dan siapa yang mengamini supaya ini akan selalu terjadi dengan berbagai pembelaan, penegasan, penyakinan, penisbihan, kekompakan, kesolidtan, bebarengan untuk melakukan yang mungkin bisa untuk seharusnya tidak dilakukan. Walaupun akan merugi dan selesai. Bukanya malah enak “sekali berarti, setelah itu baru mati”. Charil anwar saja masih memperbolehkan siapa saja memakai karyanya. Semua pengarang buku masih cuek dan ada yang pasrah oleh tingkah laku dan maraknya pembajakan. Kiai-kiai saja sudah njelimet ngurusi pendidikan santri-santrinya dan akhirnya ingin mauk dalam percaturan pol’itik atau goyang itik yang selalu bergeser karena terkena goyangan dan cukup ada dua, yaitu baik dan tidak. Pilihan yang menguntungkan jika pintar memilih tidak. Namun kebodohan yang saklek jika mengiyakan yang tidak.

Tapi cobalah melirik penjual bakso yang setiap sore masuk kawasan pendidikan tinggi yang seperti dongeng ini. orangnya baik jika dengan pelanggan, suka senyum, tak suka mengeluh. Tapi kepalanya sering ngelu sendiri. Ingat ini masih kawasan tapal kuda, preman tentu jadi rujukan. Tadah sini tadah sana itu seperti sudah biasa. Namun ini bukan biasa jika dikaitkan dengan lingkungan yang ada. Semua harus kenal tempat dan konteks. Bagaimana dan kenapa. Kata sebuah tesis. Namun asalkan semua tau porsinya, maka tak akan terjadi hal-hal yang terlalu didramatisir dan menakuti sampai jadi batu dinurani. Cak man namanya, panggillanya bakso. Cak man penjual bakso dan selalu dipanggil bakso, bukan cak man. Seharunya kita layak dipanggil bakso bukan yang lain. Seperti begini. Pelajar harusnya mau dipanggil bakso karena sesungguhnya pelajar hanya sebuah hakikat yang takterikat. Bakso memiliki sebuah penyatuan yang lebih mengikat. Seperti ia terbuat dari daging yang digiling dan setelah itu dicetak dan dimasukan air panas sampai matang. Lalu disajikan dan dijual oleh cak man. Tetapi walaupun yang menjual adalah cak man. Lantas para pembelinya pasti lebih mengenal baksonya bukan cak man nya. Maka yang dipanggil selalu bakso bukan cak man atau pelajar. Sehingga bukan siapa yang menjual tapi apa yang dijual. So...bakso !!!.