Senin, 05 Mei 2014

Karso Bukan Karl James

Ini malam menuju minggu,  apapun malamnya pasti akan menuju minggu. Namun apa bedanya malam dengan malam lainya dalam seminggu. Menurut banyak pujangga cinta di desa-desa atau dusun-dusun, yang dilabelli secara bodoh oleh beberapa mayoritas masyrakat, terutama pemuda sebagai pemuda desa, atau pemuda dusun yang gayanya norak, selera stylenya buruk/rendah, jarang sekolah, suka ngodai penjual kopi, gaya rambutnya alay, omongannya selalu rendahan, baunya tenggik, liurnya beracun, nafasnya bau, kencingnya sembarangan, selalu jual murah, tak tau etika, suka mabuk sambil ngomel, ucapanya tak teratur, pikirannya takpernah serius, pantatnya hitam, dan kerjanya serabutan. Padahal pemuda desa dan pemuda dusun itu syarat akan kepunjanggaan. Penuh kasih dan kisah cinta yang lebih jujur dan tulus dari pada seribu pemuda kota, yang modern dan selalu mengedepankan penyepelehan, pemborosan, pembunuhan diri, pelampiasan buta, kenakalan tak beretika, kurang sadar diri, tak ingat asal-usul, pembodohan struktural, hedonisme pikiran, sumbar jasmani dan rohani, sampai-sampai hobby antri untuk masuk neraka.
 
Setidaknya pemuda dusun atau desa adalah pujangga yang bisa jujur dengan keadaan, bisa jujur dengan segala-galanya yang seharusnya dijujuri dengan ucapan dan laku diri. Tetapi kemunafikan dan ketidakpuasan akan aktualisasi mengenai pemenuhan kehidupan. Akan semakin membuat ketidak seriusan dalam berkehidupan jujur dengan konsekuensinya. Menuntaskan perjalanan sertanya beradaptasi di era anti-nurani ini. haruslah jujur dan betah diludahi. Tetapi setan sudah menjelma gengsi, sehingga gengsi sulit sekali dihindari dan ditolak tawarannya untuk menanamkannya dari diri masing-masing pemuda-pemudi yang semakin menuntut kenyamanan tak tau diri. 

Sama halnya saat karso membahas mengenai sukarti dan kartini-kartininya dulu. Ia menjadi melankolia. Banyak yang semakin memasrakah jiwa, mengalihkan hatinya, mencari pelampiasan didiskotik-bar-atau dolly. Bagaimana dengan kepolosan dan kejujuran atas realita-rasa karso sebagai pemuda dusun. Pemuda dusun yang jujur akan ketidakmampuannya dalam menerjemahkan rasa, mengungkapkan gairah jiwa, menuliskan kiasan-kiasan rayuan, merealisasikan keluluhan hatinya dengan perlakuan nyata. Bagaimana jika karso diejek ndeso oleh teman-temanya yang sudah terkontaminasi bau kota dan hedonisme, apalagi yang murni generasi kapitalis yang trauma akan sikap jujur mengucap dan beretikad. Karso akan selalu menjadi pemuda dusun yang tak tanggung dalam bercinta dan berharap akan sebuah kisah rasa yang ideal. Bagaimana karso berharap terjadi sebuah keinginan yang memang dibuat untuk diinginkan, agar tercipta semua yang sesuai dengan keinginannya. Tetapi lain hal dengan kepantangan karso mengenai bagaimana ia seharusnya menyikapi sebuah rasa yang memang sulit untuk ditahan. Padahal tak lama berselang sukarti dan kartini-kartini karso adalah pembunuh kejujuran dan ketulusan seorang pemuda dusun yang sedikit kena akan banyaknya tuntutan konsumsi yang semakin diciptakan untuk membodohkan.

Jika karso adalah seorang anak yang dilahirkan jauh dari kebiasaan-kebiasaan akan kejujuran, rasa menghormati, kebijaksanaan, menghargai, kepolosan, keingintahuan lebih, rasa memiliki yang tak henti. Maka karso akan menjadi Karl James yang nampak dengan jas beserta dasi kupu-kupu dan selalu membebani wanita-wanita dengan banyak pikiran. Namun itu tak terjadi. Karena lagi-lagi dusun akan menumbuhkan sebuah hal yang sekarang dicari-cari, bagaimana enaknya menyikapi sebuah bentuk dan beberapa laku. Dimana akan semakin tumbuh subuh keangkuhan-keangkuhan yang dibentuk untuk menghancurkan asal-usul, dimana kemunafikan semakin meraja.

Sehingga teman dekat karso menemukan benang merahnya. Karso sebagaipemuda dusun yang suka sukarti beserta kartini-kartini dusun sejak lama, namun gagal tapi pernah berhasil dan ingin mencoba merebut hatinya kembali. Tapi karso sudah tak muda lagi, banyak hal yang terjadi didalam dirinya, dari mulai berpindah lingkungan beserta bertambahnya tanggung jawab hidup yang tak mudah dilewatinya apalagi untuk memenuhinya. Tetapi hidup didusun sangat syarat maknawiah sebuah ketulusan, kejujuran, kepolosan, dan banyak hal yang menjadikan karso sebagai pemuda terjujur dengan sikap dan lakunya yang jauh dari munafikisme.  Walau sedikit lebay, karso akan tetap berusaha melawan sukarti dan kartini-kartininya yang ia suka. Dengan kejujuran dalam menyepelekan dirinya sendiri dan menurunkan harga diri demi menuntaskan kehidupannya yang dilema akan perasaan suka bercampur nafsu dunia. 

Karso bukan aktifis kiri yang mentalnya kuat untuk seukuran pemberontak perasaannya sendiri. Namun ia sudah seperti  sufi rasa. Dimana akan dibenamkannya cinta antar sesama manusia untuk mengembalikan dirinya sebagai pemuda yang tak muda dalam menghadapi banyak perjalanan dan pergulatan demi pergulatan yang akan menentukan bagaimana nanti karso dalam menjalani perjalanan yang sampai sekarang ia belum tau akan kemana, bertemu siapa, dan bagaimana ia membawa bekal untuk perjalanan tersebut.

Karso akan menjadi karso yang sama dan akan lebih baik dalam menjalani apa yang seharusnya ia jalani. Apa yang nanti akan ia jalani, dan bagaimana ia akan belajar mengenai apapun yang sudah ia lewati sebagai pelajaran dan relevansi atas yang sudah ia lewati dan ia kira, sia-sia itu. Karso jangan lagi takut mengakui dirimu sebagai dirimu. Karena itu adalah paham paling dasar dalam belajar untuk tau diri.

Lagi-lagi pemuda dusun seperti karso akan lebih dihargai dibandingkan Karl James yang sudah mengenal banyak hal tetapi tak bisa mengamalkan apa yang ia punya untuk kebaikan bersama.