“Nepotisme itu terkadang tidak masalah, karena didalam sebuah organisasi, hal ini lumrah.”
Lho......bapak ini benar-benar tulus dalam mengajar kami!. Orang mana bapak ini?. siapakah gerangan guru bapak yang telah mengajari bapak?. Apakah bapak ini memang orang baik yang dipilih tuhan untuk mengajari kami?. Atau sudah terlalu cerdas dan cermatkah bapak ini?. “Ucapan bukti kelemahan diri” pun di gaungkan. Dimana bapak belajar hal itu?. kenapa saya diajarkan nepotisme imitasi seperti ini?. Terlalu bodohkah kami ini pak?. Sampai-sampai tak ada yang menyangkal bapak bicara bahwa nepotisme itu boleh/dibolehkan?. Walaupun dalam versi bapak, dengan bermacam-macam kopromi dan keilmiahan sudut pandang saat menyikapi nepotisme imitasi ini.
Bukanya perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat atau saudaranya sendiri demi membantu agar mendapatkan hal yang diinginkan atau kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dl jabatan/pangkat di lingkungan pemerintah, namun bisa juga sebagai tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Kurang lebih nepotisme memiliki pengertian seperti itu tadi. Namun benarkah bapak,,, nepotisme imitasi ini sudah terlalu lumrah dan biasa, menjadi belum afdol jika hal yang lumrah dan biasa dianggap baik.
Kalau hal itu baik. Kenapa masih banyak pembunuh yang masuk penjara?. Bukanya pembunuhan itu sudah biasa dan lumrah sejak zaman dulu sampai sekarang ini. apalagi kok masih boleh penjara-penjara menerima pelaku-pelaku korupsi. Bukanya korupsi itu sudah mencakup 3 hal; mengakar, membudaya, melekat, bahkan mengkristal?. Tapi kok masih dilarang itu yang namanya korupsi dan pembunuhan ini. kan seharusnya hal yang biasa dan lumrah bahkan membudaya harusnya diperbolehkan karena sudah mencakup tiga hal tadi.
Kembali ke kuliah
Lagi-lagi diruang kuliah dengan mahasiswa yang tak pernah tau, akan dididik seperti apakah mereka ini?. Dan akan diajari apa saja?. Hingga akan dijadikan apa mereka ini?. tentulah di barisan paling belakang bangku itu. selalu aku yang nampak ditatap tajam. Dengan muka menahan beribu-ribu sanggahan atau pertanyaan-pertanyaan pembunuh. Bagaimana kesalahan sampai pembohongan tetap dilanjutkan dikelas ini?. tak pernah salah dan dianggap benar adalah bahan pengawet yang sangat sempurna. Kokoh dengan pikiran-pikiran yang salah. Percaya diri dengan apa yang diucapkan, karena terpengaruh oleh latar belakangnya sebagai pendidik yang sudah diakui oleh lembaga. Bergelar, berdasi dan penuh wibawa ditambah dengan gaya berbicara lantang sambil menatap tajam. Adalah sebuah modal. Namun memiliki keterbatasan pemahaman layaknya manusia-manusia lainya.
Bedanya adalah pendidik yang kali ini aku hadapi adalah pendidik yang membatasi dirinya dengan ilmunya, pendidik yang tidak bisa menerima logika lain selain logika yang menurut dia benar. Lingkunganya telah membentuk kekokohan pikir beserta laku jasmani menjadi mesin yang haus bahan bakar. Namun selalu menginginkan bahan bakar yang mahal dan berkualitas tinggi tampa mau mencoba bahan bakar eceran yang dijual karena keterbatasan-keterbatasan diri dalam menjalani tuntutan zaman.
Nepotisme imitasi ini adalah bukti bahwa mental-mental penjilat semakin mengembang. Dengan bahan bakar karbit. Balon-balon udara berisikan mental penjilat dan berlapiskan ketakutan-ketakutan hidup. Dilepas terbang dan mengombang-ambing dilautan. Sampai pada akhirnya badai membawanya ke tepat bernama ketulusan. Tempat yang tak ada kepalsuan dan tampa kompromi-kompromi perasaan dalam diri manusia. Jika generasi menjadi menurun seperti ini. maka tuntutan zaman adalah pembunuhan. Logikanya adalah “ada yang dilahirkan maka harus ada yang dijadikan tumbal”.
Siapakah tumbal itu ?.....kitakah, atau siapa ?