Merindukan
media propublik. Dimana, selalu memberikan ruang lebih pada publik
untuk menyatakan pendapat. Demi terciptanya iklim media yang lebih baik
dan meminimalisir media dari kepentingan-kepentingan yang tidak pro pada
publik. Untuk mengembalikan esensi atau filosofi dasar dari fungsi
media publik. Adalah langkah-langkah penyadaran, bahwa media massa
adalah ruang publik yang harus di peruntukan kepada publik. Bukan untuk
mencari keuntungan, media pencitraan, atau senjata untuk saling
menjatuhkan lawan.
Banyak
sekali publik yang dikecewakan dengan tingkah laku media massa saat
ini. namun banyak pula publik yang tak sadar, kalau sedang dikecewakan.
Seharusnya media massa lebih bisa mengetahui, apa yang sebenarnya
dibutuhkan oleh publik?, apa yang seharusnya penting untuk publik?, dan
media massa harus lebih sadar kalau tujuan utamanya adalah untuk
kebaikan bersama. Bukan malah berlomba-lomba mencari rating atau
mendapatkan iklan sebanyak mungkin. Sehingga media massa saat ini lebih
berorientasi pada tuntutan pasar dan bisnis. Lantas dimanakah ruang
publiknya?. Bukanya media massa itu memakai frekuensi milik publik.
Bukankah sebuah kewajiban jika seharusnya media massa mengedepankan atau
mendahulukan kepentingan publik. Bukan malah beramai-ramai memberitakan
hal-hal yang tidak penting atau tidak ada hubunganya dengan publik,
malah mendahulukan kepentingan pemiliknya dan media itu sendiri.
Kombinasi gerakan struktural dan kultural.
Adalah
sebuah cara yang penting untuk menciptakan media propublik yang
diinginkan. Ditengah banyaknya korporasi media, hingga terwujudnya
“Uni-Media”. Sampai liberalisasi dan kapitalisasi media yang membuat
publik menjadi binggung. Media-media yang harusnya ada dipihak dan
melayani mereka, malah kenyataanya lebih banyak mendahulukan kepentingan
pemiliknya dan medianya sendiri. Maka dari itu, masyarakat sebagai
konsumen dan seluruh elemen temasuk media itu sendiri seharusnya saling
berkesinambungan dalam melakukan perbaikan. Maksudnya adalah, jika ingin
terciptanya media propublik maka harus ada tindakan dan usaha untuk
melakukan itu. Dengan kontrol dari masyarakat sebagai konsumen tentang
bagaimana lebih cerdas dalam mengkonsumsi media dan berperan aktif,
untuk lebih peduli dengan regulasi permediaan. Serta sering manyampaikan
kritik beserta memberikan laporan-laporan mengenai dugaan-dugaan
pelanggaran yang terjadi kepada pihak yang berwenang mengenai
permediaan. Dengan harapan agar permediaan menjadi lebih baik dan lebih
pro kepada publik.
Sama
halnya dengan pemerintahan dan media itu sendiri. Peraturan dan
pegawasan beserta sanksi yang harus lebih diperketat. Demi meminimalisir
hal-hal yang tidak diinginkan. Saling mengawasi, baik pihak pemerintah
atau yang berwenang dan media tersebut. Bagaimana peraturan permediaan
tetap dijalankan dengan adil. Walaupun banyak media yang sudah pintar
mengakali peraturan-peraturan permediaan dan tetap bisa melakukan
pelanggaran-pelanggaran. Dengan dalih persaingan antar media yang sangat
ketat. Bukan berarti semakin bebasnya media melakukan kreasi dan
pengembangan yang merugikan atau melanggar bahkan melewati batas-batas
peraturan penyiaran. Dampaknya adalah dirugikanya publik dengan semakin
banyaknya permasalahan yang terjadi. Walaupun banyak publik yang tak
menyadari kalau media massa sering melakukan pelanggaran dan sering
merugikan mereka. Tampa ada kesadaran bersama mengenai hal itu.
Pelaksanaan
mewujudkan media propublik haruslah bersih dan tetap objektif, walau
sesungguhnya objektif itu tidak ada. Begitupula media itu sendiri.
Terutama harus independent. Walaupun media tersebut swasta. Benar memang
jika pemilik media tersebut dan investor media tersebut punya peran
penting untuk media tersebut. Tetapi bukan berarti media tersebut harus
mengesampikan peranya sebagai media publik dan mendahulukan kepentingan
pemiliknya. Frekuensi itu terbatas. Jika jalur frekuensi publik hanya
untuk menampilkan hal-hal yang benar-benar tidak penting bagi publik,
tidak mendidik. Namun cuma menghibur saja. Sirkus dan badut pun bisa
menghibur.
Tingginya
konsumsi media penyiaran atau televisi dibandingkan media online,
cetak, radio. Membuat dominasi media penyiaran lebih besar. Maka semakin
besar pula pengaruhnya terhadap publik. Pengaruh besarnya bisa positif,
negatif, kontruktif atau bahkan dekstruktif. Namun kebanyakan
pengaruhnya adalah negatif. Negatif yang bagaimana?. Kurang banyak apa,
publik disuguhi dengan siaran-siaran yang tidak mendidik dan tidak
penting. Kekerasan diumbar tampa sensor, baik verbal maupun non verbal.
Unsur-unsur pornografi semakin sulit dikontrol, hal-hal yang tidak
penting untuk publik, malah ditanyangkan, khususnya media penyiaran.
Publik dipaksa memikirkan apa yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan.
Apakah penting jika orang papua melihat kemacetan di Jakarta?, sedangkan
daerahnya sendiri mengalami masalah eksploitasi sumber daya alam yang
tak terkontrol. Apakah penting orang Maluku melihat blusukanya jokowi?,
sedangkan pembagunan dimaluku belum maksimal. Haruskah orang Ende
melihat banjir jakarta?, sedangkan daerahnya sendiri mengalami
kekurangan air dan kekeringan. Belum lagi acara-acara gosip mengenai
artis-artis ibukota yang makin lama memenuhi media-media penyiaran
publik. dan berbagai fakta lainya bahwa media massa kita telah
terkontaminasi oleh tuntutan pasar, kepentingan-kepentingan individu,
dan lebih berorientasi pada bisnis, rating, keuntungan dan bersifat
oportunis. Tampa menyadari filosofi dasar media massa dan benar-benar
serius memperhatikan publik yang sekarang dianggap seperti boneka dan
tak memikirkan “akan dijadikan seperti apa publik kita ini?.”