Rabu, 26 Maret 2014

Rapi-rapi banci “Yogi, Pacarnya dan Pak Rozi”

“Katanya, cewek itu suka dengan cowok rapi, tapi setelah aku potong rambut dan berpenampilan rapi. Malah aku diputusin cewekku.”

Itulah perkataan Yogi temanku yang penampilan awalnya menyerupai, bahkan lebih “Korak” dari pada preman bypass krian. Sambil mengelus-ngelus rambut dan gaya mengeluhnya yang membuatnya kelihatan seperti orang homo itu. Ia mengatakan hal itu berulang-ulang padaku. Namun hal itu bukan tampa awal. Bagaimana Yogi ini bisa berkata demikian. Dan apa yang melatarbelakangi, sampai dia potong rambut dan berpenampilan rapi. Tidak lain karena tuntutan dosen di salah satu perkuliahan di kampusku. “Yang mengharuskan mahasiswa rapi dan memakai dasi, serta menjadikan ruang kelas layaknya perkantoran.” cukup banyak yang senang dengan hal itu. Namun cukup banyak yang tidak setuju dengan hal itu. Dimana matakuliah yang ada hubungan dengan segi penampilan, maka diputuskanlah bahwa mahasiswa dituntut untuk memakai dasi dan berpenampilan rapi seperti di perkantoran-perkantoran. Cukup bervariatif tanggapan-tanggapan mahasiswa-mahasiswa lainya. Ada yang kekeh tak ingin menuruti kemauan dosen tersebut, ada yang mau bahkan senang, ada yang tidak mau tapi akhirnya menuruti juga. Hingga ada yang membenci dan melawan dosen tersebut.

“Rapi dan keluh kesah terpaksa.”

Kenapa harus memakai dasi, padahal dalam perkuliahan, rapi saja itu cukup. Rapi dalam artian luas. Bukan sekedar memakai baju berkrah, memakai sepatu. Namun dalam bersikap, dan berperilaku. Karena tujuan utama dalam perkuliahan adalah menuntut ilmu. Tetapi hal itu dibantah, dengan alasan. Dalam matakuliah ini, kebijakan memakai dasi sangat perlu demi mempraktekan apa yang dipelajari dalam perkuliahan tersebut. Dan tak melulu teori tampa pelaksanaan realisasi contoh, agar mendukung terciptanya output yang sesuai dengan mata kuliah tersebut.

Tujuanya menuntut ilmu, bukan menjadi “sales rokok.”

Kita ini mau didik seperti apa?. apakah dengan memakai dasi, kita semua menjadi pribadi yang baik, menjadi apa yang kita inginkan dalam menjalankan pendidikan tinggi ini. Bagaimana dengan tujuan utama pendidikan?. apakah dengan memakai dasi semua keluhuran pendidikan yang kita jalani ini akan lebih baik, dan unsur-unsur dalam pendidikan tinggi ini akan menjadi lebih baik dengan kita memakai dasi.

“Apa hubungannya dasi dengan naiknya status sosial”.

Jika dikaji dengan sejarah dasi. Maka, aku kira dasi adalah “pencekik leher”. Dimana akhirnya diamini sebagai asesoris untuk lebih rapi dan dipandang lebih tinggi status sosialnya. Namun betapa kerdilnya kita jika menganggap dasi bisa menaikan status sosial kita. Banyak pembunuh berdasi, banyak koruptor berdasi, banyak penipu berdasi, banyak pencopet berdasi. Apakah baik jika kenyataan mengenai pemakaian dasi selalu dikonotasikan rapi dan baik?. Apakah dengan memakai dasi dan tidak, itu berbeda. Dimana letak perbedaanya?. Apakah dalam ilmu-ilmu duniawi, agama bumi, agama wahyu, dan keterbatasan manusia dalam memahami yang nampak dengan yang nyata, dasi menjadi penting jika diri sendiri belum bisa menemukan siapa dirinya sendiri?. Kebaikan-kebaikan yang ditutupi dengan kedengkian lahiriah akankah terhapus dengan dasi?. Kesombongan, kepicikan, kebodohan, kemunafikan, dosa, kesalahan, akan berubah dan hilang saat kita memakai dasi. Lantas dalam pendidikan perkuliahan apakah kita bakalan menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan memakai dasi. Walaupun memakai dasi dalam kasus ini adalah sebuah kesepakatan dalam kontrak kuliah.

“Apa hubunganya dasi dengan perkuliahan?”.

Perkuliahan adalah konsep pendidikan barat yang diadopsi. Bukan asli produk pribumi, atau halnya dengan perintah dari tuhan untuk memerintahkan kita memakai dasi. Hubunganya apa dengan mencari ilmu?. Coba logikakan secara historis, sosial, budaya dan agama. Mana bukti bahwa dasi adalah hal penting yang berpengaruh dalam kehidupan yang sebenar-benarnya kehidupan. Dimana tidak ada lagi ketulusan yang nyata. Kebaikan hanya jadi alasan untuk mencapai apa yang diinginkan. Jarang sekali ketulusan yang setulus-tulusnya dalam pendidikan. Entah apa yang aku katakan, yang penting ini adalah pelampiasan berdasarkan emosi, bukan yang sebenar-benarnya kemarahan. Karena emosi tak selalu dalam bentuk kemarahan. Marah hanyalah subtansi emosi diri.

Saya ingin membuat kelas ini menjadi seperti kantor. “apakah tidak sekalian menjadikanya industri dengan modal multinasional.”

Pernyataan yang cukup tidak aku setujui. Bagaimana ini?. apakah ini sudah mencapai keputusasaan manusia dalam mendidik generasi selanjutnya. Apakah memang sudah terlampau kreatif ini dosen. Ingin menjadikan kelas menjadi seperti kantor. Lantas akan seperti apa proses pembelajaran yang akan terjadi di kelas. Apakah jika ada mahasiswa yang tidak masuk, bakalan dipecat?. Akankah jika ada yang tidak mengerjakan tugas mahasiswa tersebut akan dipotong gajinya?. Mungkinkah jika belajarnya bagus, mahasiswa dikelas akan dipromosikan naik jabatan dikelas?. Atau kalau pacar/istrinya melahirkan, mahasiswa akan diperbolehkan cuti?. Aneh sekali bukan. Lantas kalau akan dikonsep seperti kantor. Bukankah mahasiswa dibentuk menjadi buruh-buruh siap kerja, atau TKI-TKI yang siap dikirim sebagi stok pembantu diseluruh dunia. Ingat mahasiswa bukan dicetak untuk menjadi buruh atau karyawan. Walaupun kenyataanya lebih buruk dari itu.

“Dituntut rapi memakai dasi dan membuat kelas seperti kantor. Lantas apakah bisa menjamin proses belajar mengajar menjadi lebih baik dan menghasilkan mahasiswa atau generasi muda yang sesuai harapan”.

Kalau mencetak mahasiswa untuk siap terjun dilapangan kerja. Sekolah menengah kejuruan juga bisa, lembaga pengembangan kemampuan kerja juga bisa. Atau yang lainya. Namun bagaimana belajar mengajarnya. Apakah bisa menjamin untuk lebih baik. Lawong pendidikan setiap tahunya makin menurun kualitasnya. Dimana-mana, pendidikan dari yang paling rendah sampai yang selalu didewakan yaitu perguruan tinggi. Atau institusi pencetak pengangguran dan pembodohan terstruktural ini, singkatnya perkuliahan ini. Bisa menjamin hal-hal baik yang diinginkan semua pihak. Apakah dosen ini tuhan yang bisa menjamin segala hal. Berani-beraninya main jamin-menjamin. Lawong kamu saja belum bisa menjamin dirimu sendiri. Apalagi menjamin orang lain yang begitu banyaknya.

“Kalau tetap dipaksakan memakai dasi. Saya kira banyak yang tidak suka, bahkan tidak ihklas dalam mengikuti perkuliahan dan belajar mengajar”.

Dosa besar jika membiarkan hal itu terjadi. Membuat banyak orang tidak ihklas, dosa besar pula kalau dosen mengajar sampai-sampai banyak mahasiswa yang diajar tidak mendapat ilmu yang bermanfaat. Karena yang mendidik yang bertanggung jawab dan menentukan akan jadi apa mahasiswa tersebut nantinya. Atau kalau kata teman saya “aku ini akan dididik seperti apa?. kok harus pakai dasi segala. Apakah kita akan dijadikan pencopet. Kan banyak pencopet yang berdasi.

Namun itu tak sepenuhnya. Ada banyak alasan yang bakalan membuat memakai dasi dalam perkuliahan itu membodohkan dan tak beribas pada apapun.

Beberapa pertanyaan :

Apakah memakai dasi itu membuat kita semakin baik ?

Apakah memakai dasi akan menjadikan kita bisa lancar beribadah ?

Apakah dengan dasi kita masuk surga ?

Apakah dengan dasi kita menjadi mahasiswa yang berguna ?

Apakah dengan dasi tuhan akan suka dengan kita ?

Apakah memakai dasi akan membuat kita belajar lebih giat ?

Apakah dengan memakai dasi semua permasalahan bisa selesai ?

Apakah dengan memakai dasi aku bisa membantu temanku yang kesusahan ?

Apakah memakai dasi bisa menaikan derajatku didepan allah ?

Apakah dengan dasi perkuliahan bisa lebih baik, bisakah anda menjamin itu ?

Apakah memakai dasi orang-orang bakal senang dengan saya ?

Apakah memakai dasi saya bisa menjadi manusia selalu “eling lan rumongso” ?

Apakah dengan dasi ibadah saya makin khusuk ?

Apakah dengan dasi masalah didunia pendidikan akan berkurang ?

Akankah dengan memakai dasi keburukan akan kalah dengan kebaikan ?

Mengapa harus memakai dasi, kalau tidak kenapa ?

Bagaimana dasi bisa membantu manusia dalam kesusahan ?

Siapa dasi itu, kok berani-beraninya dengan kita ?

Tinggi mana derajatnya dasi dengan manusia ?

Kapan dasi menjadi begitu penting dan kapan dasi tak menjadi penting ?

Siapa sih dasi itu, kok selalu dihungung-hubungkan dengan kerapian ?

Kalau tidak rapi kenapa ?

Kalau rapi ya trus kenapa ?

Apakah dengan rapi atau tidak kita tidak bisa berbuat baik kepada semuan orang ?

Belum lelahkah anda memaksakan hal yang tidak dikehendaki ?

Kalau dasi itu penting, pentingnya dimana ?

Cukupkah dasi untuk menutupi dosa-dosa kita ?

Dimana lagi letak kebaikan jika semua diukur dari penampilan ?

Rapi itu apa ?, tidak rapi itu juga apa ?

Kenapa kalau tidak rapi ?

Memaksakan kehendak akan membuat rugi diri sendiri !.