Memasang wajah murung. Aku datang dengan tangan sebelah kiri mengenggam kertas berisikan tugas, dan tangan kanan yang menggaruk-ngaruk rambut. Memakai baju kusut yang sudah kupakai dua hari. Sembari menuju warung yang cukup banyak dikenal itu. “Warung Pak-tua” sebut saja begitu. Karena banyak yang menyebutnya begitu, semenjak aku datang dan kuliah disini. Sebelum duduk, segeralah kupesan teh dan mengambil rokok eceran diatas kulkas warung tersebut. Duduklah aku. Menoleh ke kanan, banyak orang yang serius, entah apa yang dibicarakan. Sedangkan menoleh kekiri, malah ada sekumpulan pemuda yang teriak-teriak membicarakan mengenai mahasiswa dan lingkungan sosial politik. Tetaplah aku menoleh kekiri, sambil menguping. “Apasih yang sebenarnya dibicarakan?.” Ternyata itu pemuda-pemuda yang ikut sebuah organisasi mahasiswa, entah apa itu.
Sambil menunggu teh pesananku dan membaca buku yang cukup membuatku naik darah. Karena kisah dalam buku ini sungguh menyentuh. Buku Marxim Gorki, berjudul Mother. Bagaimana bisa seperti ini!. ceritanya sungguh beginikah!, ucapku. Maaf aku belum bisa menjabarkan cerita buku tersebut. Dikarenakan aku ingin memahaminya lebih dalam lagi.
Namun sebenarnya bukan buku, atau warung yang menjadi objek utama dalam tulisan ini. aku yang kesal dengan pembicaraan-pembicaraan mahasiswa mengenai hal apapun yang kompleks dalam berbagai aspek. Membuat kemungkinan-kemungkinan yang tak mungkin. Serta menanggapi sebuah permasalahan yang cukup pelik, hanya dengan berfikir, diskusi, bicara, atau menunjukan eksistensi dan bersifat oportunis munafik. Mengumbar intelektualitas demi mendapatkan simpatik. Bersifat bijaksana untuk dianggap sebagai orang baik. Berusaha berkorban dengan mengharapkan pengakuan. Menjadi pencetus ide, sebagai cara untuk dipercaya dan mencari keuntungan demi meminimalisir kerugian diri sendiri.
Sampai dimakah ketulusan mahasiswa untuk berbuat demi kebaikan-kebaikan bersama. Entah sampai mana kebaikan dalam lingkungan akademik akan bertahan. Kecuali ada keajaiban. Masih banyak oportunis munafik yang tak terlihat. Kedok-kedok kebaikan adalah dogma-dogma pencitraan diri yang ditelan mentah-mentah. Kegiatan yang hanya berguna bagi kelompoknya sendiri dan dirinya sendiri tentunya. Hanya bermanfaat sebagai formalitas tampa totalitas.
Sebagian intelektualitas hanya menjadi penyakit yang enggan berbagi. Dimana yang pintar makin pintar. Sedangkan yang bodoh makin bodoh. Beda dengan yang ketulusan yang sulit ditemukan diranah pendidikan tinggi ini. dimana pamrih menjadi hal yang dilakukan tampa sadar diri dan perasaan memahami. Semua dipukul rata. Bagaimana dan apapun halnya agar dapat menguntungkan bagi diri sendiri. Semua yang tak menguntungkan dan tak bermanfaat bagi diri sendiri, maka hal itu akan diacuhkan.