Dari warung itu. Aku langsung menaiki sepedaku tampa berfikir panjang. Menuju kos-kosannya. Tampa pertimbangan bahwa akan menjadi masalah jika aku menemuinya, aku ajak dia keluar tampa alasan yang jelas. Hingga kami pergi bersama-sama dan tak mengingat-ingat masalah yang telah kami lakukan sebelumnya. Semuapun senang dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Bersama angin malam di bekas pelabuhan itu, aku mencoba mencumbu matanya yang indah yang membentuk bulan sabit. Sampai pada kenikmatan kami untuk saling berbicara lepas. Tapi sejak itu, aku tak pernah melepaskan matanya dariku, begitupun dia melakukan itu padaku.
Indah jika ada banyak bintang dan paparan sinar lampu di bekas pelabuhan ini. lepas diantara lautan dan sungguh romantis jika kita berpegangan tangan sambil mengucap kasih tampa henti, semalaman ini. biarkan suntuk dan jenuh, pelan-pelan pergi hingga tak kembali. Hiraukan semuanya. Kita lepaskan disini, disini dengan aku dan kau, tampa memikirkan hal lainya. Tiada indahnya jika semua hanya percuma tampa arah. Kau sedang rindu akan kasih lama itu, kataku. Namun dirimu jarang bahkan malu mengakui hal itu. biarkan kasih yang kutawarkan ini lebih membantumu. Memberikan hasrat abadi layaknya kobaran api di depan ini. jangan lagi membunuh rasa dengan amarah lagi. Kau cukup tersiksa dengan ini sayangku.
“lancang” katamu.
Namun kelancanganku hanya penyampai luapan romansa perih dalam sukma. Dimana jarang aku melihat gerhana semanis dirimu. Tegarlah, kataku. Saat banyak material bangunan menimpamu. Atau beribu-ribu gundukan batu jatuh diatas kepalamu. Maka yang menolongmu hanya aku saat itu. gunakan rasamu. Jangan gunakan egomu sayangku.
“aku tak begitu” katamu.
Sudahlah. Peringatan hati memang sulit ditelan mentah-mentah. Apalagi kata-kata yang selalu tinggi bagimu. Seromantis batu atau sepuitis betis. Tak berartilah untukmu. Jika sekali lagi aku tak mencium dan memeluk dirimu. Kugunakan telinga ini untuk lebih bisa mengerti kebutuhanmu sampai jauh. Bagimu, indah itu realistis. Namun bagiku kau itu tidaklah utopis. Dimana keinginan-keinginan selalu menjadi praktis jika ada usaha sampai menguatkan otot-otot tubuh sampai atletis. Dimana selalu kau ubah kasihku sampai menjadi apimu. Tak lagi diminta jika semakin banyak kau lupa. Ingat pada matahari dan lupa pada serat-serat dewi ruci. Atau wejangan-wejangan pujangga legenda.
“aku tak mengerti apa yang kau maksud, dasar lelaki” katamu.
Tak perlu kau mengerti. Rasakan saja dengan hatimu yang sudah kaku. Laki-laki takselalu menjadi serambi bagi umat-umat tak perduli. Tapi baiknya adalah hati yang bersih dan laku yang bisa dimengerti demi adanya kebaikan yang sejati dari dalam hati, tampa terkecuali. Sukanya tak pernah mati. rasanya selalu hidup kembali. Ludahnya sulit kering, rahmatnya tak henti-henti, suaranya adalah birahi kehidupan yang hakiki, kuasanya menylimuti kesadaran-kesadaran abadi, dimana lagi kau temukan hal-hal seperti ini sayangku.
“hentikan kau, kau hanya genagan air tak berarti” katamu.
Kecil namun bahaya. Begitulah hati yang tak pernah salah. Otak bukan segalanya. Semua adalah regulasi tubuh manusia. Baikan adalah tempat nyaman ketidak baikan, sama hanyanya kasih ini. tak pernah berarti jika tak kau masukan dalam hati. Ingat, semua mimpi akan tetap serasi jika api dan genangan tadi saling disisipkan dengan hati-hati. Dan sampai tak mengotori hati yang suci sambil menempa diri sendiri dihadapan kaki-kaki para ibu sendiri.
“Sampai dimana ini” katamu terheran.
“kini ikut saja denganku” jawabku.
“tak mau, aku takut kau apa-apakan” sahutnya.
“tidak, kau tahu aku takberani melakukan itu”, belaku.
“sudahlah ayo”, tambahku.
“iya deh” katamu, dengan masih ragu namun tetap kubawa sampai pagi membunuh.
Indah jika ada banyak bintang dan paparan sinar lampu di bekas pelabuhan ini. lepas diantara lautan dan sungguh romantis jika kita berpegangan tangan sambil mengucap kasih tampa henti, semalaman ini. biarkan suntuk dan jenuh, pelan-pelan pergi hingga tak kembali. Hiraukan semuanya. Kita lepaskan disini, disini dengan aku dan kau, tampa memikirkan hal lainya. Tiada indahnya jika semua hanya percuma tampa arah. Kau sedang rindu akan kasih lama itu, kataku. Namun dirimu jarang bahkan malu mengakui hal itu. biarkan kasih yang kutawarkan ini lebih membantumu. Memberikan hasrat abadi layaknya kobaran api di depan ini. jangan lagi membunuh rasa dengan amarah lagi. Kau cukup tersiksa dengan ini sayangku.
“lancang” katamu.
Namun kelancanganku hanya penyampai luapan romansa perih dalam sukma. Dimana jarang aku melihat gerhana semanis dirimu. Tegarlah, kataku. Saat banyak material bangunan menimpamu. Atau beribu-ribu gundukan batu jatuh diatas kepalamu. Maka yang menolongmu hanya aku saat itu. gunakan rasamu. Jangan gunakan egomu sayangku.
“aku tak begitu” katamu.
Sudahlah. Peringatan hati memang sulit ditelan mentah-mentah. Apalagi kata-kata yang selalu tinggi bagimu. Seromantis batu atau sepuitis betis. Tak berartilah untukmu. Jika sekali lagi aku tak mencium dan memeluk dirimu. Kugunakan telinga ini untuk lebih bisa mengerti kebutuhanmu sampai jauh. Bagimu, indah itu realistis. Namun bagiku kau itu tidaklah utopis. Dimana keinginan-keinginan selalu menjadi praktis jika ada usaha sampai menguatkan otot-otot tubuh sampai atletis. Dimana selalu kau ubah kasihku sampai menjadi apimu. Tak lagi diminta jika semakin banyak kau lupa. Ingat pada matahari dan lupa pada serat-serat dewi ruci. Atau wejangan-wejangan pujangga legenda.
“aku tak mengerti apa yang kau maksud, dasar lelaki” katamu.
Tak perlu kau mengerti. Rasakan saja dengan hatimu yang sudah kaku. Laki-laki takselalu menjadi serambi bagi umat-umat tak perduli. Tapi baiknya adalah hati yang bersih dan laku yang bisa dimengerti demi adanya kebaikan yang sejati dari dalam hati, tampa terkecuali. Sukanya tak pernah mati. rasanya selalu hidup kembali. Ludahnya sulit kering, rahmatnya tak henti-henti, suaranya adalah birahi kehidupan yang hakiki, kuasanya menylimuti kesadaran-kesadaran abadi, dimana lagi kau temukan hal-hal seperti ini sayangku.
“hentikan kau, kau hanya genagan air tak berarti” katamu.
Kecil namun bahaya. Begitulah hati yang tak pernah salah. Otak bukan segalanya. Semua adalah regulasi tubuh manusia. Baikan adalah tempat nyaman ketidak baikan, sama hanyanya kasih ini. tak pernah berarti jika tak kau masukan dalam hati. Ingat, semua mimpi akan tetap serasi jika api dan genangan tadi saling disisipkan dengan hati-hati. Dan sampai tak mengotori hati yang suci sambil menempa diri sendiri dihadapan kaki-kaki para ibu sendiri.
“Sampai dimana ini” katamu terheran.
“kini ikut saja denganku” jawabku.
“tak mau, aku takut kau apa-apakan” sahutnya.
“tidak, kau tahu aku takberani melakukan itu”, belaku.
“sudahlah ayo”, tambahku.
“iya deh” katamu, dengan masih ragu namun tetap kubawa sampai pagi membunuh.