Bila diingat-ingat lagi
Dimalam terakhir bertemu dengan Maulina
Semua menjadi berbeda
Dengan kejujuranku
Dan ke’acuhanmu waktu itu
Cukup siap malam itu
Kupaksa Maulina untuk ikut denganku
Walau sebenarnya tugas kuliah Maulina cukup menganggu
Dengan paksaan semu
Tapi akhirnya Maulina mau dan ikut denganku
Aku datang dan menghampiri, dengan rata waktu beradu
Tebak siapa cepat, dan siapa yang gagap
Berapa lama aku menunggumu diluar
Dan berapa lama Maulina keluar untuk itu
Dengan mengeluh, jok sepedaku memangku
Dan pertanyaan paranoid, selalu memicu di perjalanan itu
Cukup dekat aku menuju tempat beradu
Hanya sekali lihat dan menyebrang sambil melihatmu
Setelah sampai disitu
“Pesan apa?”, kubilang padamu
Kau jawab, “terserah kamu”
Namun kau memilih susu
Dan aku cukup teh saja, dengan gaya kaku
Panik atau menggerutu
Kau berbicara padaku
Entah mau membahas hal itu atau tidak
Atau sekedar basa-basi, sambil menghabiskan waktu
Namun pembicaraan itu mulai terasa kaku
Dan akhirnya semua menjadi satu, dengan tema “dulu”
Maulina sebut dan Maulina ceritakan tentang orang-orang itu
Sambil mimik muka menahan air mata
Menahan tangis pula
Aku bilang, “jangan ditahan”
Maulina bilang, “malu aku”
“Namun akankah seperti ini terus”, kataku
“Lantas maulina harus bagaimana?”, katamu
Dan aku tak menjawab hal itu
Tapi Maulina makin sedih
Setelah mendengar cerita sahabatmu
“Shela itu sayang kamu”, kataku
Menagis tapi malu, tanggapmu
Kapan kau jujur dan tak menuntutku
Kau jawab, “potong dulu rambutmu”
Aku diam lagi dengan gaya dengki
Tapi kau selalu siap dengan segala maki
Aku jujur kalau ini adalah rasa sukaku
Namun kejujuran itu
Hanya terjawab “iya aku tau”, katamu
“Sudah aku pusing dan tak mau hal itu”, ujarmu
Namun kapan semua waktu bisa sabar, dengan rasa seperti batu
Dimana letak keadilan hatimu
Kalau kau mau, semau-maumu
Kau bilang, “lebih enak jadi pihak tersakiti”
Kau bilang, “aku sudah terbiasa begitu”
Dan kau selalu meng’amini hal itu
Sakit dengan mantanmu yang sudah punya pacar baru
Atau kau masih cinta dan tak mau mengaku
Tapi maulina ternyata mengaku
“Tetapi bukan berarti aku mau balikan seperti dulu”, katamu
“sudah-sudah”, kataku
Lupakan dan seriuslah dengan realita
Jangan cuma menuntut dan menyakiti diri dengan luka
Maulina kadang ada untuk semua
Kadang ada untuk semua agar merasa
Dimana letak batu yang lancip
Disitu ujung akan tumpul
Kalau pada akhirnya hati cuma bisa membenci
Setelah malam itu
Aku tak menghubungi maulina lagi
Tapi komputer temanmu
Membuat hal itu berbeda
Aku berusaha dengan semua
Namun katamu aku tak cukup usaha
Sabar dan tunggu waktunya
Tapi waktu tak menjawab itu
Lebih baik cari yang maulina inginkan
Atau tetap teguh dengan sendiri dulu
Namun Maulina tak betah hal itu
Sehingga Maulina hanya jadi batu
Aku berusaha untuk menjadi yang terbaik
Namun terbaik saja tak cukup bagiku
Bila fajar tiba
Maka bentuk hati akan berubah
Sekarang menunggu
Besok berharap
Nanti menyesal
Dan esoknya pasti mencari tahu kenapa itu
Semoga abdi pangeran selalu abadi bagi permaisuri itu
Tapi apakah raja akan memutuskan hal lain
Baik itu merugikan
Baik itu menguntungkan
Seandainya baris sajak akan lebih bebas berbicara
Mungkin Maulina tahu
Tapi jangan memaksakan diri untuk berdiam dan menghabiskan waktu
Taukah semua akan menemukan akhirnya
Dan sadarkah bahwa yang baik akan menjadi dewa
Tapi yang tulus akan lebih bisa berbeda
Berbeda dengan yang cuma sementara
Ini akan menjadi sebuah sajak yang menjadi bentuk hati. Bila ucapan tetap tak membuat cerita beruba menjadi fakta. Mungkin Maulina Dwi Swastika sadar akan kelemahan kalau seandainya bisa diterima. Bangga jangan di perparah dengan munafik kata. Tentukan kadar angin sebelum menaikan layang-layang. Apapun itu!. sebuah ucapan akan tetap hilang jika tak disimpan tampa akhir yang adil dan suka dengan hal-hal yang tak kasat mata.
Nofianto puji imawan
Surabaya, 23-03-2014.
Dimalam terakhir bertemu dengan Maulina
Semua menjadi berbeda
Dengan kejujuranku
Dan ke’acuhanmu waktu itu
Cukup siap malam itu
Kupaksa Maulina untuk ikut denganku
Walau sebenarnya tugas kuliah Maulina cukup menganggu
Dengan paksaan semu
Tapi akhirnya Maulina mau dan ikut denganku
Aku datang dan menghampiri, dengan rata waktu beradu
Tebak siapa cepat, dan siapa yang gagap
Berapa lama aku menunggumu diluar
Dan berapa lama Maulina keluar untuk itu
Dengan mengeluh, jok sepedaku memangku
Dan pertanyaan paranoid, selalu memicu di perjalanan itu
Cukup dekat aku menuju tempat beradu
Hanya sekali lihat dan menyebrang sambil melihatmu
Setelah sampai disitu
“Pesan apa?”, kubilang padamu
Kau jawab, “terserah kamu”
Namun kau memilih susu
Dan aku cukup teh saja, dengan gaya kaku
Panik atau menggerutu
Kau berbicara padaku
Entah mau membahas hal itu atau tidak
Atau sekedar basa-basi, sambil menghabiskan waktu
Namun pembicaraan itu mulai terasa kaku
Dan akhirnya semua menjadi satu, dengan tema “dulu”
Maulina sebut dan Maulina ceritakan tentang orang-orang itu
Sambil mimik muka menahan air mata
Menahan tangis pula
Aku bilang, “jangan ditahan”
Maulina bilang, “malu aku”
“Namun akankah seperti ini terus”, kataku
“Lantas maulina harus bagaimana?”, katamu
Dan aku tak menjawab hal itu
Tapi Maulina makin sedih
Setelah mendengar cerita sahabatmu
“Shela itu sayang kamu”, kataku
Menagis tapi malu, tanggapmu
Kapan kau jujur dan tak menuntutku
Kau jawab, “potong dulu rambutmu”
Aku diam lagi dengan gaya dengki
Tapi kau selalu siap dengan segala maki
Aku jujur kalau ini adalah rasa sukaku
Namun kejujuran itu
Hanya terjawab “iya aku tau”, katamu
“Sudah aku pusing dan tak mau hal itu”, ujarmu
Namun kapan semua waktu bisa sabar, dengan rasa seperti batu
Dimana letak keadilan hatimu
Kalau kau mau, semau-maumu
Kau bilang, “lebih enak jadi pihak tersakiti”
Kau bilang, “aku sudah terbiasa begitu”
Dan kau selalu meng’amini hal itu
Sakit dengan mantanmu yang sudah punya pacar baru
Atau kau masih cinta dan tak mau mengaku
Tapi maulina ternyata mengaku
“Tetapi bukan berarti aku mau balikan seperti dulu”, katamu
“sudah-sudah”, kataku
Lupakan dan seriuslah dengan realita
Jangan cuma menuntut dan menyakiti diri dengan luka
Maulina kadang ada untuk semua
Kadang ada untuk semua agar merasa
Dimana letak batu yang lancip
Disitu ujung akan tumpul
Kalau pada akhirnya hati cuma bisa membenci
Setelah malam itu
Aku tak menghubungi maulina lagi
Tapi komputer temanmu
Membuat hal itu berbeda
Aku berusaha dengan semua
Namun katamu aku tak cukup usaha
Sabar dan tunggu waktunya
Tapi waktu tak menjawab itu
Lebih baik cari yang maulina inginkan
Atau tetap teguh dengan sendiri dulu
Namun Maulina tak betah hal itu
Sehingga Maulina hanya jadi batu
Aku berusaha untuk menjadi yang terbaik
Namun terbaik saja tak cukup bagiku
Bila fajar tiba
Maka bentuk hati akan berubah
Sekarang menunggu
Besok berharap
Nanti menyesal
Dan esoknya pasti mencari tahu kenapa itu
Semoga abdi pangeran selalu abadi bagi permaisuri itu
Tapi apakah raja akan memutuskan hal lain
Baik itu merugikan
Baik itu menguntungkan
Seandainya baris sajak akan lebih bebas berbicara
Mungkin Maulina tahu
Tapi jangan memaksakan diri untuk berdiam dan menghabiskan waktu
Taukah semua akan menemukan akhirnya
Dan sadarkah bahwa yang baik akan menjadi dewa
Tapi yang tulus akan lebih bisa berbeda
Berbeda dengan yang cuma sementara
Ini akan menjadi sebuah sajak yang menjadi bentuk hati. Bila ucapan tetap tak membuat cerita beruba menjadi fakta. Mungkin Maulina Dwi Swastika sadar akan kelemahan kalau seandainya bisa diterima. Bangga jangan di perparah dengan munafik kata. Tentukan kadar angin sebelum menaikan layang-layang. Apapun itu!. sebuah ucapan akan tetap hilang jika tak disimpan tampa akhir yang adil dan suka dengan hal-hal yang tak kasat mata.
Nofianto puji imawan
Surabaya, 23-03-2014.