–Mao Tse Tung–
Begitulah mungkin yang diinginkan Mao, sembari duduk di kursi kepemimpinan Partai Komunis Cina (PKC). Beda dengan diktator Soviet, Stalin yang ikut langsung dalam perjuangannya, atau kata ibuku, “ikutan repot saja”. Pengaruh Mao yang luar biasa besar pada massa awal karier kepemimpinannya, karena pada saat wafatnya tahun 1976 praktis Mao sudah merombak total seluruh sistem di dataran Cina. Tentu saja, Mao tidak seorang diri menentukan garis politik pemerintah di bawah PKC. Mao tidak pernah memegang peranan seorang diri seperti halnya dilakukan oleh Stalin di Uni Soviet. Tetapi, memang benar Mao merupakan tokoh, yang jauh lebih penting dari siapa pun dalam pemerintahan di Cina hingga akhir hayatnya tahun 1976 sampai-sampai melakukan yang disebut “lompatan jauh kedepan”.
Mao tergolong sebagai orang yang mempunyai pengaruh di berbagai negara komunis
Asia-Tenggara, seperti; Malaysia, Indonesia, Burma, Filipina, Vietnam, Kamboja dan lain-lain. Negara-negara tersebut adalah Maois. Sedangkan, Pasukan Gerilya di sebagian Negara Amerika Latin dan Nepal, juga kebanyakan Maois. Mao dilahirkan tahun 1893 di desa Shao-shan di provinsi Hunan, Cina. Ayahnya petani “agak berada”. Di tahun 1911 tatkala ia masih mahasiswa dalam usia sembilan belas tahun, revolusi pecah memporak-porandakan Dinasti Ch'ing yang memang sudah melapuk. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja pemerintahan kaisar sudah terhalau dan terjungkir, lalu Cina diproklamirkan sebagai sebuah Republik. Malangnya, pimpinan-pimpinan revolusi tidak mampu mendirikan suatu pemerintahan yang kompak dan stabil. Revolusi ditandai dengan keresahan-keresahan yang mengguncang masyarakat Cina, hingga perang saudara tak dapat dihindarkan dalam jangka waktu lama– berlangsung dari 1945 hingga tahun 1949.
Ketika remaja, pandangan politiknya sudah dapat terlihat secara pasti bahwa ia seorang kiri. Acuannya tidak lain adalah Marx. Pada tahun 1920 ia betul-betul sudah jadi Marxis. Sementara itu, dalam usahanya memegang kekuasaan absolut PKC, jalannya merangkak. Berliku-liku dan terguncang-guncang. PKC menderita banyak kemunduran di tahun 1927 dan tahun 1934. Meski demikian, Mao mampu bertahan dan hidup terus. Baru di tahun 1935, di bawah kepemimpinannya, kekuatan partai secara mantap meningkat dan berkembang terus. Di tahun 1947 misalnya, PKC sudah siap tempur menumbangkan pemerintahan Partai Nasionalis Cina (PNC) yang di pimpin Chiang Kai-shek. Di tahun 1949, pasukannya merebut kemenangan dan Partai Komunis menguasai seluruh daratan Cina, secara mutlak. Tapi, entah kenapa Mao merasa belum menguasai seluruh domain Marxisme. Padahal, banyak yang menyebut bahwa ia sejak muda sudah menganut faham kiri, se kiri-kirinya. Entah apa yang terjadi dengan “sang peranakan” hingga berucap seperti itu dimasa-masa akhir hidupnya.
Nasionalisme juga merupakan salah satu karakteristik diri Mao. Jika Leninisme menganggap “negara hanya sebagai alat untuk menuju revolusi dunia bagi terciptanya masyarakat komunisme”, maka Mao melihat negara tidak hanya sekedar alat tetapi –khusus bagi pengalaman Asia– negara juga merupakan sebuah nilai tersendiri, karena itu Nasionalisme juga penting untuk ditumbuhkan disamping kesadaran tentang komunisme. Namun, nasionalisme yang dimaksud Mao bukanlah Nasionalisme konservatif Cina yang bersifat konservatif-Konfusian atau nasionalis gaya barat, tetapi nasionalisme revolusioner, yang tidak perlu melewati tahapan Westernisasi. Dalam pandangan Mao, ajaran Marx dan Engels hanya memiliki sedikit relevansi dengan keadaan di Cina, karena mereka hanya menjadikan manusia sebagai objek pasif dari kekuatan sejarah.
Pemikiran Mao tetap tidak terlepas dari kritik, banyak yang menganggap tidak ada yang original dari teori-teori Mao. Ia kebanyakan hanya mengulang apa yang telah dikemukakan Lenin, seperti tentang kesadaran kelas, teori imperialisme, dan ide tentang aliansi politik antara proletar dengan kelas lain. Mao tidak pernah menciptakan sendiri teori yang memang berasal dari hasil pemikirannya dalam sintesa lengkap. Ia hanya mempersonifikasikan sebuah sintesa antara Marxisme-Leninisme dan Cina tradisional. Ia sama sekali tidak menciptakan sebuah sintesa intelektual, yang terjadi sebenarnya hanyalah sebatas campuran dari keduanya. Kondisi yang demikian bisa jadi disebabkan karena Mao memang tidak sepenuhnya menguasai Marxisme-Leninisme itu sendiri, karena ia juga pernah berujar belum menguasai seluruh domain Marxisme. Mao pada dasarnya memang bukan pemikir Marxis yang original di Cina. Ia banyak dipengaruhi oleh Li Dazhao, bapak Marxisme Cina. Mao mengagumi konsep-konsep Li yang tidak hanya mengharuskan kaum intelektual bergabung dengan massa, melainkan juga harus memperdalam nasionalismenya.
Tapi sampai setelah Reformasi 1978, Mao dengan Maoisme tidak lagi berjaya seperti ketika Mao masih hidup. Masyrakat Cina dapat menerima pemikirannya bukan karena ia memang memiliki nilai yang layak atau sesuai, tetapi lebih karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Pembangunan model Soviet diganti dengan sosialisme model Cina. Kegagalan Cina di segala bidang kehidupan selama dipimpin Mao-lah yang menyebabkan akhirnya Maoisme juga harus tersingkir oleh gelombang reformasi. Kegagalan Maoisme setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketika Mao memutuskan untuk menghalangi motif pasar dan menekan alokasi pasar, yang terjadi adalah motif administratif dan alokasi birokrasi. Keadaan yang demikian tidak dapat dipungkiri, telah menguntungkan segelintir birokrat dan elit partai, yang sebenarnya membentuk kelas kapitalis baru dengan jubah komunisme. Kedua, penguatan ideologi dan kediktatoran proletariat telah menyebabkan terjadinya kediktatoran birokrat. Hal-hal semacam ini pada akhirnya semakin menjerumuskan China. Untuk mengatasi kegagalan Maoisme, maka Deng Xiaoping memberikan dukungannya kepada Hu Yaobang, sekretaris jenderal partai, untuk melakukan reorientasi ideologi, untuk mendukung reformasi. Reorientasi ideologi kemudian membuka peluang masuknya ide-ide barat dan nilai tradisonal Cina secara selektif. Pemimpin Cina pasca-Mao memang ingin memperbaiki Maoisme tanpa perlu menyalahkan Mao atas kegagalan Maoisme. Reorientasi tersebut dilandaskan pada prinsip “mencari kebenaran dari fakta” menggantikan “kebenaran dari pimpinan”. Maka dimulailah diskusi dan perdebatan mengenai nasib ideologi tersebut.
Reorientasi ideologi pertama kali menyentuh identifikasi nasionalisme dan sosialisme, untuk melengkapi pemikiran Mao sebelumnya. Kemudian, untuk mendukung arah ekonomi baru Cina, yang menerapkan sistem “pasar-sosialis”, bentuk-bentuk kepemilikan individu mulai diperkenalkan. Kapitalisme juga mengalami perbaikan makna, setidaknya faktor kapitalis tidak akan berbahaya apabila negara menerapkan kediktatoran proletar, karena itu kemudian muncul kelas-kelas kapitalis baru yang bekerja sama dengan negara dalam bidang ekonomi. Pergerakan reformasi dan reorientasi ideologi sebisa mungkin tidak sampai menggangu tatanan sosial yang sudah ada di Cina. Sehingga, Cina kemudian tidak terlalu khawatir tentang menguatnya demokratisasi yang nantinya akan semakin mengikis pondasi ideologi komunisme.
Bukan perkara mudah mengkaji ideologi, atau bahkan merevisi. Tapi pilihan terbaik adalah tak memilih, jika Mao menjadi penggagas gebrakan “lompatan jauh kedepan”, maka ia sudah membuat “spektrum ambisi” yang meninggalkan banyak hal, lepas dari hal baik atau hal buruk di masa selanjutnya. Kukira, masuk dalam “100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” yang disusun oleh Michael H. Hart sudah membuat Mao senang dalam kehidupan barunya.