(#Dusun_Gerbong. poster 1)
Bersebelahan dengan rumah sejarah. Rumah penuh cerita, cerita dari keluarga bapak. Rumah yang berumur, umurnya mungkin lebih tua dari pohon didepan, tepatnya. Dihalaman depan yang tinggal satu, kokoh tak berbuah. Bersamaan dengan banyak pohon, akar, tumbuhan liar di kebun belakang. Berhiaskan pembatas-pembatas tanah buatan tetangga. Tetangga yang selalu meributkan masalah “pertanahan”. Berebut titipan duniawi yang rasional bila difikirkan. Tak pernah sejalan dengan logika Kebun liar tak terawat itu. Rimba, guyup, asri, lestari, alami, apalagi yang akan kusebutkan jika tak ada kata yang berani dan mampu melebihi realitas sekumpulan tumbuh-tumbuhan lebat dan masih bisa rukun ditengah persaingan mereka mencari alasan untuk tumbuh.
Sebagai anak dusun dengan lingkugan yang dekat dan bersahabat dan dusun ini adalah rumah ku, tempat awal aku dilahirkan, tempat aku diberi kesempatan hidup, dan tempatku menuntaskan tugasku sebagai manusia. Inilah dusun, “Dusun Gerbong” namanya. Gerbong yang berarti bagian dari "kereta". Yang berisikan banyak manusia. Dimana gerbong beserta keretanya bakalan mengantarkan manusia-manusia itu menuju tujuannya. Beralaskan rel besi yang kokoh dengan disangga bantalan-bantalan beton yang padat. Perlintasan yang selalu dijaga setiap waktu. Adalah sebuah makna kecil akan susunan huruf; G-E-R-B-O-N-G, dengan jargon “Bong, Leng, Yu (Pagere Kobong, Celenge Mlayu)” artinya adalah, “pagarnya kebakaran, anak babinya lari”.
Sebelum perkembangan industrialisasi di jalan raya antar provinsi ini. Dusun yang gapuranya menyerupai atap bagunan minang/padang ini. Adalah dusun idaman. Dimana disamping gapura dusun adalah lapangan bola asri dan tempat bermain bola, yang dulunya ada Persatuan Sepak Bola Gerbong (PERSEGER). Sering latihan dan bermain di lapangan tersebut. Selain itu warga baik dewasa, anak-anak, dan pemuda dusun adalah pemakai yang produktif dalam memanfaatkan tanah lapang samping jalan raya tersebut. Namun entah mulai kapan, sebuah rencana pembangunan gudang yang bukan cuma rencana namun realisasinya sudah membuat dusun ini kehilangan sebuah asetnya. Lapangan yang cukup tak rata tanahnya ini cukup memberi sebuah ruang dimana banyak manusia yang memanfaatnya, malah sekarang menjadi bangunan beton kokoh, gudang penuh pekerja yang mencari nafkah.
Sedikit bukti bahwa, ini masih layak disebut dusun (struktur dibawah desa). Dimana jalanan cuma satu, beraspal tak merata pula. Penuh lubang dan cacat. Tambalan-tambalan tanah dan pasir yang membuat kurang serasi jika bersanding dengan warna aspal, apalagi saat hujan tiba. Bau tanah bercampur bau aspal, begitu tak harmonis. Namun kerapian selalu terlihat dengan letak jalan yang terdiri 4 (empat) gang pada dusun ini, dengan latar belakang pemandangan sawah milik warga nan luas, gunung wonosalam nan lestari bahkan kuburan (pemakaman) dusun ditengah pemandangan tersebut, “kalau dilihat dari kiri jalan, gapura dusun pinggir Jalan Raya Surabaya-Jombang ini.
Melengkapi lukisan tampa bingkai, namun begitu selaras. Mempunyai tiga surau (musholla), dan satu masjid. Menjadi sebuah pusat muslim yang menjadi mayoritas dusun ini. Dengan warganya, pejabat dusunya, dan semua elemen penting penopang kehidupan dusun. Menjadi satu-kesatuan yang mengantarkanku pada kekaguman yang tampa sadar aku lewati selama 20 (duapuluh) tahun dari mulai lahirku, sampai sekarang.
Tak banyak yang mengetahui sejarah awal dusun ini, dusun ini juga tak terlalu padat akan warganya, dusun ini tak pernah mengalami banyak perubahan, kondisi sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan geografi. Namun bukan berarti tak ada perubahan yang positif. Perkembangan zaman selalu menuntut sebuah peningkatan konsumsi (konsumtif), begitu juga perubahan dan regenerasi manusianya. Setiap warga di dusun ini pun mengalami regenerasi yang berimbas pada aspek-aspek kehidupan hingga secara tidak langsung, menuntut adanya perubahan, baik positif atau negatif, dan meningkat atau menurun.
Para orang tua, dewasa, pemuda-pemudi, anak-anak. Adalah aspek penting. Pusatnya adalah manusianya, kalau didusun ini adalah warganya. Warga yang berperan aktif dalam rantai kehidupan dusun. Pemegang kekuasaan, kalau di dusun ini bukan pejabat dusun atau pejabat desa dan struktur atasnya. Namun masih bisa dibilang demokrasi sesungguhnya lebih bisa kurasakan benar-benar terjadi secara transparan ya, yang terjadi di dusun ini. Dusun gerbong. Dimana masih banyak anak-anak yang bermain hujan-hujanan, disorenya, penuh dengan sorak-sorai pemuda-pemudi yang menyaksikan bola volly di selatan dusun, tepatnya gang 3 (tiga) dari 4 (empat) gang di dusun ini, malamnya pun sungai dekat gapura dusun yang dikelilinggi warga yang memancing, kumpulan pemuda yang bersendau gurai sampai larut, selalu menghiasi dusun penuh kiasan ini.
Itulah dusunku, dusun yang membesarkanku, dimana tak akan sempat mengeluh jika sedang berada di rumah. pikiran bukan hanya diselimuti kejenuhan dan kebosanan, apalagi sampai sesat pikir. Karena suguhan ilahiah bakalan menyambut dan bertebaran bersama embun dan hawa di dusun gerbong, dusun tempat berkumpulnya kebaikan-kebaikan murni.
Mengenai #dusun
tulisan mengenai apa saja di dusunku, yang bakalan aku tulis dalam tempo 2 minggu sekali ini. Dan secara urut, baik kisah maupun ceritanya.