Sabtu, 22 Februari 2014

Lalu Apa

Kalau sudah “ngerti”, terus mau apalagi ?

Bisa belajar dengan baik, mempunyai keinginan besar untuk merubah diri lebih baik, merasa tenang karena semuanya telah berkecukupan, atau masih kebinggungan dengan situasi yang mapan (bisa makan, bisa jalan, bisa cari pasangan. Kurang lebih itu). Dapat merasakan pendidikan sampai perguruan tinggi, apakah itu belum bisa memecahkan pikiran yang kaku dan membuka hati yang beku. Disini kita belajar untuk mengerti, mengerti bagaimana “ngerti” itu sendiri. Umpama kalau sudah merasakan bagaimana asam-garam menempuh pendidikan dan berada dalam lingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Lalu apa yang akan kelak kita bagi. Atau yang bakalan kita pesankan terhadap adik-adik kita (generasi penerus) nanti. Apakah pengalamanmu mengenai penyesalan-penyesalan yang terjadi, karena nilaimu tak sesuai. Ataukah, bagaimana keaktifanmu dalam organisasi yang membuatmu disebut aktifis-sejati. Mungkin juga kisah asmaramu yang sampai membuat hamil pacar, atau temanmu sendiri.

Sadar 

Lupa, menjadi sebuah alasan untuk manusia yang menduakan rasa syukur dengan meninggikan kemampuan diri. Berkedok menghargai diri sendiri. Demi lebih bisa mengenal diri sendiri. Tak boleh merendahkan diri sendiri. Mungkin sekarang ini menjadi kata andalan motivator-pengekor. Dimana meyakinkan sesama dalam hidup. Akan lebih percaya diri dan menolak asalmuasal dengan omongan-omongan pembankar hati. Namun bukan itu yang saya maksudkan. Mengerti untuk tetap sadar, dimana itu adalah sebuah bentuk awal agar dapat memahami langkah setelah kita mengerti akan “ngerti” itu sendiri. Dimana sadar adalah adalah sikap yang mungkin bisa dibilang, songgo (penyangga). Dimana penyangga yang kokoh. Ditobang ingat dan selalu tau diri (iling lan rumongso).

Mengenai apa, mengenai diri sendiri tentunya. Lantas untuk apa. Untuk bagaimana melanjutkan hidup yang lebih “sampurna”. Bukan hanya bertapa. Tapi berlaku sebaik-baiknya adalah bentuk menuju hidup yang lebih “sampurna”. Tapi entahlah, hal itu tak pernah tergambar baik dan mungkin bisa dibilang tak saya temukan di kehidupan perguruan tinggi sampai saat ini. karena masih banyak yang lebih sadar akan dirinya sendiri, bukanya untuk lebih sadar terhadap apa yang ada diluar dirinya.

Lingkungan dan keseharusan

Maksudnya adalah dimana memosisikan diri dihadapan, “diri-diri lainya” dalam menjalankan sebuah kodrat yang lebih beruntuk sebagai manusia yang lebih diberi kesempatan yang orang lain kadang tak diberi kesempatan seperti ini (maksudnya adalah menjalani pendidikan diperguruan tinggi). Dimana perguruan tinggi menjadi sebuah jenjang pendidikan yang justru lebih nyata dalam sumbangsihnya. Sumbangsih atau sebuah hal yang masih belum benar agar menjadi bisa lebih benar. Dan itu adalah kewajiban bagi yang menjalankan pendidikan ini. Adalah bagaimana kita lebih sadar dan menjadi tambah sabar dalam membantu, memunculkan ide-ide baru dalam menyatakan sumbangsih nyata dalam bentuk apapun, melalu keberuntugan yang sudah di tentukan dalam mengenyam pendidikan tinggi ini.
Pembentukan visi dan misi adalah utama, lain itu, tidak.

Lebih-lebihlah dalam menjalankan pendidikan warisan kolonial ini. karena banyak hal yang dikorbankan dalam lika-liku pendidikan tinggi ini. atau bisa menjadi pemalas, yang malas kalau tak melakukan apa saja.

“benar-benar tutur yang tak nyambung. Ini bisa disebut (ngawur). Jadi tulisan ini tak berarah sama sekali. Saya mohon cukup jangan dibaca. Karena sesungguhnya bukan anda yang semakin binggung dengan tulisan ini. tapi tulisan ini benar-benar membinggungkan”.