Menertawakan diri sendiri. Disaat keadaan yang terjadi (realita), seharusnya tak pantas untuk di tertawakan. Membuat banyak lembaga survei atau peneliti yang melakukan analisis sosial, mengenai sebuah kejadian di masyarakat.
Menjadi terperangah dan tak mengira-ngira, bakalan seperti ini !. Bahwa akhir dan cara untuk menghadapi sebuah masalah, bakalan seperti ini (dengan menertawakan diri sendiri). Terlepas dari betapa kompleksnya sebuah permasalahan, betapa banyaknya sebuah bencana, ujian hidup dan apapunlah, pokoknya yang merugikan dirinya (masyarakat) sendiri. Tapi semua hal itu, menjadi mudah untuk di hadapi, gampang untuk diatasi. Sampai lupa dan melupakan, hingga segaja dilupakan. Agar mereka dapat tenang, dan berfikir jernih dalam menjalani hidupnya ini.
Namun bukan hal (menertawakan diri sendiri) itu, yang bakalan saya bicarakan. Tetapi, bagaimana kita telah, menjadi manusia yang “ lalai ”. Maksudnya, adalah. Cobalah kita bisa lebih memahami dan mengerti, mengenai kejadian-kejadian, cara-cara, atau isyarat-isyarat alamiah yang sering terjadi di lingkungan terdekat kita. Bahwa sikap dan cara yang berlandaskan, kemanusian, sikap-sikap alam, kodrat illahi’ah. Telah kita lakukan semenjak di dalam lingkungan terdekat kita, atau kalau saya menyebutanya “keluarga”.
Di keluarga lah. Semua berawal. Setelah allah meniupkan ruh, dan memberi kesempatan kita, untuk menari-nari di depan panggung semestanya. Layaknya keluarga pada umumnya (maaf, karena sudut padang keluarga ini. saya ambil dari pengalaman saya pribadi. Jadi kalau ada yang tidak setuju dengan contoh keluarga dalam pandangan saya pribadi, maka itu sangat saya maklumi.), jadi seperti ini. bagaimana sebuah keluarga dan semua hal yang terjadi, dialami, dirasakan, atau kejadian di dalam struktur keluarga. Itu adalah miniatur semesta. Maksudnya adalah, hanya di dalam keluarga saja. Kita sudah seperti berada dibelahan dunia manapun. Lantas bagaimana maksudnya?.
Keluargan selalu menyuguhkan sebuah hal yang sederhana namun syarat makna moral atau yang lainya. Adapun memunculkan sebuah masalah. Namun tentunya semua kejadian yang dialami di keluarga. Hal itu pasti ada sebuah hikmah. Namun di sebuah hikmah. Kita mungkin dapat secuil pesan-pesan manusiawiah. Beda lagi jika kita, lebih peka dan teliti dalam menyikapi sebuah kejadian dikeluarga, baik masalah ataupun tidak, apapun itu.
Saya pernah, semasa SD. Disuruh iboek (panggilan kepada ibu saya), untuk langsung pulang, setelah sekolah saya ber’akhir. Walaupun saya sebenarnya lebih suka langsung bermain di sawah, bersama teman saya. Tampa pulang dulu, waktu itu.
Iboek berpesan, “agar kalau selesai sekolah, harus langsung pulang, nak ?”.
Dari pesan itu ada banyak hal yang bisa menjadi sebuah wacana atau pelajaran yang jarang dipakai oleh
para sarjana barat (fisof, peneliti, pemikir, dan yang lainya). Karena maksud dari pesan itu adalah. Bagaiama sebaiknya jadi manusia yang sadar akan, betapa berharganya waktu untuk sekarang ini. bagaimana banyak orang yang serba “perhitungan”, tuntutan pekerjaan, tuntutan kewajiban yang bahkan membuat manusia semakin sedikit mempunyai waktu senggang. Dipacu untuk bergerak secara aktif dan berkesinambungan, layaknya mesin mobil. Contohnya saja, banyak orang yang sekarang memakai jam tangan. Dan banyak orang yang rela mengorbankan kebersamaan dalam berkumpul dengan keluarga, untuk melakukan hal selayaknya manusia beragama lainya. Dengan bekerja dan mencari materi duniawi secara perkasa, dari larut hingga pagi, atau sebaliknya.
Pesan selanjutnya adalah. “sini nak, bantu iboek menyiapkan makanan untuk nanti malam ?”.
Dalam pesan ini, secara singkat saja bisa diartikan sederhana. Makanan adalah sebuah bahan bakar manusia. Kalau tidak makan, terus bagaimana?. Karena aktivitas manusia yang paling purba, adalah makan. Lebih purba daripada “seks” atau “perkelaminan”. Hal ini tentu saja sangat berat maknanya. Bagaiaman kita disuruh membantu untuk menyiapkan bahan bakar yang kita perlukan. Menyiapkan hal yang membuat kita hidup, menyiapkan hal yang mendasari semua aktivitas kita, menyiapkan hal yang membuat kita bisa beribadah (artinya secara luas). Membuat sebuah landasan atau pedoman untuk ditopang'i sebuah tiang-tiang kehidupan dalam kodrat manusia.
Yang ketiga. “nak, kalau disuruh itu, jangan pernah bilang “engkok’sek (nanti’dulu)”.
Hal ini malah begitu, lebih nyata, bagaimana iboek, menanamkan sebuah kedisiplinan dan pengertian bahwa, perintah itu harus cepat di laksanakan, lalu diselsaikan. Seperti contohnya, seorang pendidik yang menjalankan tugasnya mengajarkan kebaikan kepada anak didiknya, seperti tentara yang diperintahkan untuk membela negaranya, seperti pejabat negara yang dianjurkan untuk memberi contoh yang baik terhadap rakyat yang diwakilinya (bukan malah korupsi. Bukan malah main perempuan, buka malah tidur-tiduran, seperti anggota DPR kekinian). Bagaimana keta'atan yang dijalankan dari mulai nabi dan rasul, bagaimana keta'atan yang dilaksanakan prajurit majapahit dan kepatuhan gajah mada yang membela habis-habisan nuswantara. Entah apa yang paling baik, antara meyakini bahwa keta'atan akan membawa kebaikan atau kebaikan yang menegaskan keta'atan dan kepatuahan didalam subtansinya.
Saat saya ingin pergi bermain, dulu. Iboek selalu bilang “kalau sudah mahgrib, pulang saja”.
Begitu pekahnya, akan pergantian waktu yang berpengaruh. Kalau didalam perhitungan jawa. Lewat mahgrib itu jelas sudah masuk hari besoknya. Mahgrib pula adalah waktunya melakukan sholat yang raka’atnya ada 3 (tiga). Bagaimana tiga ini adalah angka yang menonjolkan sebuah tingkatan akan perjalanan hidup.
Ketika matahari meninggalkan kita dan terang berganti dengan gelap, pikiran dan badan kita terasa semakin berat dan lelah setelah seharian bergelut dengan atmosfer keduniaan yang bertautan di antara debu-debu hawa nafsu dan jejaring syahwat yang menganga menunggu mangsa. Ada satu harapan yang terbersit dalam benak anak manusia saat itu, yaitu keinginan merehatkan diri dan berjumpa dengan sanak keluarga atau handai taulan yang seharian ditinggalkan untuk sekadar mengais rezeki demi sebuah kebahagiaan yang dirajut untuk menyelimuti dan menutupi diri dari dahsyatnya terpa'an angin dunia.Itulah salah satu babak dalam episode perjalanan kehidupan yang hampir setiap hari dijalani saat menjelang terbenamnya matahari tiba.
Shalat maghrib merupakan transisi, walaupun masih banyak orang yang tidak begitu peduli saat mereka di perjalanan atau sedang belanja di Mall atau Pusat Perbelanjaan. Bahkan tidak sedikit para karyawan yang hanya terdiam ketika masuk waktu shalat maghrib yang hanya mempunyai durasi waktu sebentar. Apalagi dalam shalat terdapat hikmah yang kadang kita tidak bisa mencernanya dengan hanya akal fikiran saja. Pantas saja Oliver Lodge pernah mengatakan… dan kalau shalat merupakan pendidikan kejiwaan, maka mengapa yang menentangnya menduga bahwa pendidikan tersebut tidak merupakan sebab untuk terjadinya kejadian-kejadian lain sebagai akibat setiap bentuk pendidikan. mungkin saya merasa, artian dan makna memang begitu luas sekali. Tapi oleh iboek, hanya di masukan dalam pesan yang hanya lima ucap, itu.
Lalu pesan ini. “kalau mau keluar rumah, nak. Jangan lupa kunci pintunya”.
Begitu sederhana, begitu lumrah dan biasa ditelinga kita saat masih kecil. Bagaimana layaknya seorang. Anak yang harus menutup pintu rumahnya saat ia, meninggalkan rumahnya untuk pergi bermain atau apapun. Disini begitu iboek berpesan untuk menutup, pintu, dan menguncinya. Kalau disuruh menutup belum tentu disuruh mengunci, tapi kalau disuruh mengunci pastilah disuruh menutup pula.
Dimana rumah adalah tempat tinggal, rumah adalah mesin kenangan paling produktif, rumah adalah, dimana kita berawal, rumah adalah unsur penting dalam perkembangan hidup kita, rumah adalah sebuah kehidupan yang sesungguhnya berawal dan berakhir. Namun rumah menjadi lebih penting arti dan maknanya ketika disitu ada yang namanya keluarga.
Mengunci berarti tidak bisa masuk dan melindungi isinya. Dalam rumah adalah emas, emas adalah barang berharga yang paling kuno, walaupun banyak barang berharga lainya. Namun emas selalu menjadi utama, karena sejak kerajaan majapahit atau dahulu banyak yang mengunakan emas sebagai mata uang dengan berbagai jenis dan versi. Kalau berharga haruslah dilindungi. Apalagi kalau itu isinya adalah keluarga, ada saudara, iboek dan bapak. Maka pantaslah sebagai anak kita haruslah melindungi dengan segenap nyawa.
Namun bukan itu saja. Mengunci pintu kalau keluar rumah. Berarti bertanggung jawab atas kepentingan yang subtansinya adalah hak manusiawi. Memilih menjalankan hak, haruslah menyisikan kewajiban yang harus lebih dulu dilakukan, lebih dulu dijalankan tampa sebuah beban ataupun sikap toleran terhadap kelalaian. Mengunci pintu juga bisa menyimbolkan sebuah kehati-hatian atau waspada pada hal yang harusnya kita jaga. Agar terhindar dari pencuri, maling, pengambil kekayaan, perampas hak, menyalahi kodrat tampa tanggung jawab.
Agar terciptanya kemaslahatan. Walaupun terancam atau tidak. Aman atau tidak aman. Tetaplah jika harus meninggalkan rumah haruslah mengunci pintu. Karena layaknya manusia lainya. Apapun yang terjadi kedepanya. Kita kadang tak pernah tau.
Sedikitnya ini memang bisa dibilang bisa berguna atau bisa menjadi telaa’ah. Tapi yang jelas. Sesederhana perintah orang tua. Tentulah mengandung banyak hal yang sebesar kasihnya selama ia ada. Namun lebih baiknya kita berlatih untuk lebih peka dan berusaha mengerti secara teliti. Setiap apa yang pernah dipesankan orang tua. Karena pesan orang tua adalah bentuk kasih sayang mereka. Walaupun hanyalah subtansi dari kodrat sebagai manusia.