Kembali lagi disuguhi perasaan lepas dan sumriangah. Dimana gelak tawa, asap rokok, suara gitar, bau keringat, lezatnya gorengan, dan bulan sabit yang menemani kami (pemuda dusun), seyogyanya telah senantiasa menjaga aset penting dusun kami. Iya, aset itu adalah jalinan persaudaraan para warga/masyarakat dusun disini. Demi terciptanya kesejahtraan yang asli. Bukan kesehjahtraan janji-janji, kesejahtraan yang terbuat dari plastik.
Kini masih dibawah ancaman letusan dan erupsi gunung kelud. Setiap malam, setiap kami bekumpul untuk menemani bulan yang kesepian. Gemuruh gunung kelud selalu menghiasi malam-malam kali ini. entah apakah ia, iri atau masih merasa sendiri. Di tengah banyak manusia yang lupa akan gunung dan semua isi yang masih asri dan tetap lestari itu. bermain kartu, bernyanyi-nyanyi, hingga tak terasa gorengan yang dibawakan teman tadi, tingga satu biji. Satu biji yang paling sulit dihabiskan.
Saling merasa sungkan dan tidak enak, karena takut dianggap rakus. Sungkan memang, kalau seperti itu. layaknya orang jawa lainya yang masih suka sungkan.
Kemanakah alunan musik kali ini, kemanakah akan bernyanyi, dan apalagi yang bakalan terjadi saat, semua sudah berlari kembali ke rumah sendiri-sendiri. Kembali menyesali apa yang dilakukan kemarin-kemarin, kembali menyimpan tenaga, untuk kembali kembali ke sawah. Itulah ebleh, pemuda yang menjadi tetangga depan rumahku sejak kecil dulu. Ia telah tumbuh layaknya lelaki penganggur lainya. Ia telah berupaya bekerja, walau sekarang masih bercumbu dengan sawah bapaknya. Kejadian tragis yang menimpanya adalah peringatan. Temanya mabuk hingga mati, singkat kata, ia sadar dan tak akan mengulangi hal itu. bagimana ia mabuk-mabukan. Lupa akan kewajibanya. Dilahirkan dikeluarga yang punya usaha perjudian, perjudian dalam berbagai jenis. Sampai sekarang masih awet dan menjadi aset keluarga. Dan kelak atau bahkan sekarang hal itu bakalan di teruskan ebleh.
Di malam ia selalu menjadi sahabat, di pagi, siang, dan sore, ia menjadi bapak. Karena baru saja ia mendapat istri dan memomong putra. Diraihnya masa depan tampa ada celah sinar matahari. Usaha-usahanya tak pernah mati. Tapi masih saja, belum ada yang memihak dirinya. Memihak untuk lebih baik dan memihak merasakan berlimpah materi duniawi. Tapi aku sendiri belum berani menceritakan kisah ebleh ini. karena aku merasa belum pantas menjabarkanya, karena akupun masih belum pernah merasakan sebuah kepahitan realita hidup.
Aku hanya mampu memandang dibalik kaca. Setelah aku balik dan memaksa untuk tidak membuat waktu dengan malas-malasan di depan rumah sambil berkumpul dengan pemuda dusun itu. Tapi kadang aku menjadi lebih dari sebuah kemalasan itu sendiri. Betapa ingin menjadi lebih baik, menjadi latar belakangku. Mengupayakan untuk bisa lebih berguna dalam menjalani sisa ini. Dengan kebiasaan yang manis dan tentu, upaya-upaya yang drastis. Aku menjadi pemuda dusun yang tak menghiraukan budaya lama. Menempuh jalan yang berbeda dalam menjalani kehidupan dusun. Bertumpuk-tumpuk keinginan menylimuti ambisi. Menapaki kisah di dusun yang penuh caci maki. Usahakan agar tetap bisa menjadi apa dan mengerti apa.