Rabu, 05 Februari 2014

Kerumitan Kesabaran

“Sabar”, kata yang lumayan bijak bukan. Penuh esensi yang halus. Mengandung empati. Hampir semua orang pernah mengatakan kata “sabar” ini, baik untuk orang lain maupun untuk diri sendiri. Dalam kamus besar bahasa indonesia (kbbi) versi 1.5. “sabar” adalah tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati). Tak cukup hanya itu. sabar adalah semua aspek kehidupan. 

Karena kemajuan zaman makna “sabar” semakin menyempit. Mengkerdilkan esensi dibalik 1 kata 5 huruf ini. dengan kepekaan akan kesinambungan hidup. “sabar” memang menuntut kita, bukan lagi kita di tuntut “sabar”. Maksudnya adalah kita sebagai masyrakat di tuntut untuk selalu memaklumi dan “sabar” dalam tuntutan hidup yang kian lama kian memberatkan, baik secara langsung maupun tidak. Dimana banyak keuntungan-keuntungan yang malah di dapat oleh pihak yang seharusnya sudah tak pantas di beri sebuah keuntungan bahkan kemudahan-kemudahan dalam hidup. Ketidakadilan sudah terlalu memenuhi segala aspek, apalagi banyak sifat dan sikap berunjung pada keinginan tampa di tambahi usaha adalah “diam”. Kediaman-kediaman yang semakin mendiam malah memadati sisi kosong kehidupan yang memang di siapkan untuk keadaan terpepet dewasa ini.

Maksudnya disini adalah sebuah kondisi yang sudah digariskan tapi bukan takdir. Keadaan dimana banyak permasalahan, banyak kemelut, banyak permusuhan, banyak peringatan bahkan banyak ketidakpastian. Pergolakan akan manipulasi sejarah sudah terang-terangan kali ini. rasa percaya yang semakin menurun. Pembohongan demi pembohongan seringkali berkerumun dan bercumu dengan generasi penerus. Pemikiran sudah semakin tidak relefan. Bukti-bukti sudah dihilangkan. Penerus atau pemuda semakin diombang-ambingkan oleh pembentukan watak yang tidak benar. Ribuan sumber-sumber pembuktian tak terjamah dan akhirnya hilang. Manalagi yangharus dirujuk dalam pembuatan alur perjuangan. Dimana kita berada, bukan lagi menjadi rumah yang baik. Tetangga-tetangga sudah tak berani membuka rumah. Asing rasanya jika banyak berkumpul malam-malam untuk membicarakan hal pribadi. Lingkungan sudah menjadi kaku. Tak banyak komunikasi antar manusia jika sekarang makin banyak orang yang tak gampang percaya.

Banyak yang bilang “jangan gampang percaya dengan orang tak dikenal” tapi ada yang bilang “tak kenal maka tak sayang” ada juga yang bilang “jangan bicara apapun dengan orang yang tak kau kenal” namun jangan bilang “berbuat baiklah dengan siapapun walau kau tak mengenalnya”. Bagaimana rasanya jika banyak pergulatan mengenai sebuah laku kita untuk sebuah kebaikan bersama. Jika sebuah acuan kita atau kepercayaan kita sudah tak murni. Maksdunya begini bagaiama kita dapat memperlajari sebuah kebaikan kalau apa yang diajarkan kepada kita oleh pendahulu, itu bukanlah sebuah kebaikan yang murni. Namun malah kebaikan yang tercipta karena sebuah kejenuhan atau banyaknya ketidak baikan yang telah tercipta karena dorongan keserakahan.

Sudah jangan memikirkan yang besar-besar. Pikirkanlah yang kecil-kecil lalu kau akan semakin kerdil. Jangan lag menggunakan sebuah kiasan jika menggunakan kesederhanaan kata saja belum mampu memaknainya. Jika banyak perbudakan yang kau sendiri tak sadar itu terjadi padamu. Maka sebuah keabaikan dan perubahan diri masih jauh dan masih sulit untuk belaku. Banyak peran yang memegang sebuah amanah besar namun tak banyak yang menjalankan peranya dengan baik. Kebaikan seharusnya diperankan dengan orang yang memang pantas tapi sekarang malah bukan itu yang terjadi. Peran demi peran mengisi tampa telat. Namun kebaikan malah semakin merosot tajam. Indah sudah tak nampak malah kekecewaan semakin di ekspos. Gensi sudah menjadi jalan yang membuadaya. Budaya semakin dipandang sisnis. Rebutan keserakahan bukan sekedar trend. Namun mudah untuk disandiwarakan. Berpura-pura adalah kemunafikan percabang. Bisa untuk memperbaiki citra diri, bisajuga untuk menipu banyak orang.

Kerumitan lebih dibenci daripada kemunafikan. Kebaikan dibilang munafik, kejahatan dikata lumrah. Entah apa yang dirasa. Seperti kebinggunganku sekarang ini. menulis tampa arah. Asal ketik dan memuaskan pikrian yang kacau. Berikut bumbu kegelisahan yang tak berarah.