Kamis, 16 Januari 2014

Mengaji & Diam

Bagaimana awalnya membedakan senja dengan sore, jika sama-sama indah kalau di pandang dan dirasa. Keluar sebentar untuk melihat keadaan di luar halaman rumahku. Karena terlalu banyak di dalam rumah hingga banyak pula menghabiskan lintingan rokok di kamar belakang. 

Keluarlah aku, tapi sebelum aku melewati pintu rumah ini. Disisi kiri suara yang bisa menenangkan hati dan seisi rumah menjadi adem bak pakai AC. 

Iya benar, ibuku sedang belajar mengaji. Sudah beberapa bulan dan rutin sekali. Bahkan aku saja kalah rutin kalau urusan mengaji. Dengan di dampingi seorang gadis muda yang senantiasa bersabar mengajari ibuku, adiku, untuk bisa mengaji secara rutin dirumahku.

Suasana subuh, siang, malam dan larut adalah yang paling digemari ibuku untuk mengaji, tapi tentu saja yang paling baik adalah disaat semuanya ikut mengaji dan lupa akan jemuran yang terkena hujan waktu itu.
Menurut ibuku. Mengaji adalah bagaimana meng’agungkan tuhan yang maha esa yang memang sudah agung. Bahkan mengaji lebih bisa menenangkan batin kita walaupun mengalami keadaan yang sulit, ujar ibu. Dengan 3 hal kelebihan yang pernah dirasakan ibuku saat ia melakukan kegiatan mengaji secara rutin adalah, ia lebih bisa tenang, jarang stress, menguatkan mental, dan mengurangi pikun alias gampang lupa. Tapi setiap orang berbeda-beda efeknya. Namanya juga tergantung dengan ihklas hatinya dalam mengaji bukan karena apa-apa. 
Ukuran ihklas memang tak sebarangan orang mengerti. Namun sebuah keihklasan memang sulit dicari. Ibu selalu menambahkan. Jangan minta bantuan pada siapapun kalau kau masih bisa melakukanya sendiri, kau ini laki-laki, begitu katanya. Tapi aku sekarang ini kebinggungan dengan gaya didik orang tuaku padaku. Penasaran apa yang ingin mereka pesankan dengan diam seperti ini. Iya memang sudah beberapa hari tak banyak percakapan yang kami lakukan, beberapa hari ini.