Seiring
aku sering di tinggal temanku sendiri untuk ikut pelatihan, seminar
diklat dan lain-lain yang ada di kampus universitas trunojoyo pinggiran
ini. Menjadikan ku semakin merana karena aku jadi jalan kaki ke warung
dan tak ada yang mengantarkan aku. Sungguh perbuatan yang
menyengsarakanku.
Kerugian kecil dalam diriku adalah kerugian yang tanggung-tanggung
dan itu malah semakin merugikanku. Kenapa harus begitu kok tidak harus
yang langsung saja.
Tapi itu bukanlah yang harus aku gerutukan.karena sebaik-baiknya aku
menuliskan kejadian ini tetap saja aku seorang pengerutu yang
mengerutukan kejadian yang kualami. Ya ini gara-gara kena istilah bahwa
sepandai-pandainya penulis adalah peng’gerutu. Dan saya ingin menggerutu
mengenai ke’krisisan sekarang ini.
Dengan kata lain Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis total.
Bahkan mungkin itu tidak cukup menjelaskan, kecuali ada kata yang bisa
menyampaikan hal lebih ujung selain “total”
yang bisa ditemukan untuk mendeskripsikan kadar krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Anda tinggal menyebut kata apa saja secara bebas untuk menunjuk sisi,
titik, sudut atau bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Ambil saja
sekenanya: perekonomian, politik, hukum, kebudayaan, pendidikan,
keamanan nasional, karakter, iman, moral, mentalitas, apapun – orang
paling bodoh di antara bangsa Indonesia bisa dengan sangat mudah
menjelaskan krisis apa dan bagaimana yang mereka alami di wilayah
konteks yang Anda sebut.
Krisis itu sedemikian nyata dan totalnya sehingga melahirkan suatu
jenis krisis baru yang ajaib: kalau Anda berada di antara bangsa
Indonesia, bergaul dan bercengkerama dengan mereka, sesudah beberapa
waktu Anda akan menemukan pertanyaan di dalam diri Anda: Yang mana
krisisnya? Orang Indonesia selalu hangat, tertawa-tawa, tekanan-tekanan
yang terkadang muncul pada ekspressi psikologis mereka tak pernah sampai
pada kadar yang serius yang memungkinkan munculnya tingkat yang memadai
untuk melawan keadaan, memberontak, atau apapun.
Dahsyatnya krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia tidak berbanding
lurus dengan tingkat munculnya kritisisme, progresivisme – tidak juga
melahirkan rasa krisis atau »sense of crisis« yang sepadan dengan
penderitaan obyektif yang sebenarnya mereka alami secara total dan
mendalam. Rendahnya rasa krisis diindikasikan tidak hanya oleh karakter
kepemimpinan yang culas namun lemah namun tak tahu malu, oleh praktek
kepengurusan negara yang sangat tidak memfokuskan diri pada keharusan
melindungi kesejahteraan rakyat, serta oleh beribu-ribu kejadian yang
mencerminkan subyektivisme dan egosentrisme kelompok-kelompok yang
berkuasa. Rendahnya »sense of crisis« itu juga tampak pada
puluhan bahkan ratusan juta orang yang menderita pada kehidupan bangsa
Indonesia. Tidak ada ketersambungan rasa derita satu sama lain, sehingga
sesungguhnya yang berlangsung bukanlah penderitaan sosial, melainkan
penderitaan individu-individu atau keluarga dan kelompok. Tidak terdapat
gejala di mana keprihatinan diperkaitkan antara satu dengan lain orang,
antara satu segmen masyarakat dengan segmen lain. Tidak ada organisasi
orang-orang menderita.
Tidak ada kesedihan dan kebingungan kolektif, yang ada adalah setiap orang memendam
dan memelihara kesedihan masing-masing. Pada sebagian tidak kecil
bahkan krisis total nasional tidak membuat mereka menurunkan kadar
budaya konsumerisme, hedonisme dan pesta-pesta kegembiraan – dengan
berbagai formula yang berbeda sesuai dengan strata yang juga berbeda.
Mall-mall dan plaza tempat jualan mitologi, mimpi dan khayalah tidak
sedikitpun menurun jumlah pengunjungnya. Tayangan televisi Indonesia
tetap penuh joget riang gembira dan terus menerus tak perduli siang atau
malam, tetap penuh intensitas putaran modal dengan siaran-siaran
hedonisme budaya dan olahraga. Industri televisi bahkan merekrut Agama,
Tuhan, Nabi, Malaikat dan hantu menjadi bagian primer dari komoditas
mereka. Tidak ada bangsa di dunia yang tertawa lebih banyak melebihi
frekwensi tertawanya orang Indonesia. Tidak ada masyarakat di muka bumi
yang kehangatan dan kegembiraan hidupnya, bahkan tingkat keberaniannya
membeli ini itu, melebihi bangsa Indonesia. Bagi tradisi akal sehat
konvensional: ini adalah suatu jenis krisis.Mungkin bangsa Indonesia
adalah bangsa yang sedemikian bodohnya sehingga tidak memiliki kemampuan
identifikasi dan deskripsi atas keadaannya sendiri, termasuk atas
krisis yang dialaminya sendiri, sehingga justru karena itu mereka tidak
mengalami betapa dalam dan kompleksnya krisis itu. Seperti orang yang
tidak paham hantu dengan konstelasinya: ia tenang-tenang saja lewat atau
singgah di kuburan.
Atau seperti orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit,
sehingga tidak berprihatin sedikitpun ketika di dalam badannya terdapat
komplikasi penyakit yang pada suatu pagi akan membuatnya mendadak tak
berdaya dan mati. Kalau orang itu mengerti hantu, maka ia akan ketakutan
dan lari tunggang langgang menjauhi kuburan. Kalau orang itu memahami
penyakit, maka ia akan melakukan perlawanan, pemerontakan, pengobatan
dan segala daya untuk memisahkan penyakit-penyakit itu dari dirinya.
Tetapi salah satu krisis bangsa Indonesia adalah bahwa mereka punya
tradisi bersikap acuh tak acuh terhadap hantu dan penyakit-penyakit.
Kemungkinan lain adalah bangsa Indonesia memiliki daya tahan dan
kekuatan yang tak tertandingi dan tak terpahamkan oleh bangsa dan
manusia manapun yang lain di permukaan bumi. Sedemikian kuat dan
kebalnya sehingga mereka tidak mengaduh ketika dipukul, karena pukulan
itu tidak cukup menyakitkannya. Mereka tidak meronta-ronta ketika
dijerat dan dipenjarakan, karena mereka tetap mampu membangun
kemerdekaan subyektif psikologisnya di dalam penjara. Mereka tidak
melawan ketika dianiaya, ditindas, disiksa, dicurangi, dibohongi –
karena tingkat penganiayaan yang mereka alami belum sepadan dengan daya
tahan yang mereka miliki.
Sekorup apapun pemerintahnya, tak membuat bangsa Indonesia
memberontak sampai kadar yang signifikan. Sekurang ajar apapun pemimpin
mereka, tak membikin mereka melakukan perlawanan. Semenderita apapun
kehidupan yang menimpa mereka, tak pernah cukup mendorong mereka untuk
berdiri agak sedikit tegak dan melakukan perubahan-perubahan yang
mendasar dan primer.