Senin, 23 Desember 2013

Kenali Kemaluanmu Dulu

http://i375.photobucket.com/albums/oo192/wahyukokkang/konsultasi/kutu-1.jpg
Seiring aku sering di tinggal temanku sendiri untuk ikut pelatihan, seminar diklat dan lain-lain yang ada di kampus universitas trunojoyo pinggiran ini. Menjadikan ku semakin merana karena aku jadi jalan kaki ke warung dan tak ada yang mengantarkan aku. Sungguh perbuatan yang menyengsarakanku.


Kerugian kecil dalam diriku adalah kerugian yang tanggung-tanggung dan itu malah semakin merugikanku. Kenapa harus begitu kok tidak harus yang langsung saja.

Tapi itu bukanlah yang harus aku gerutukan.karena sebaik-baiknya aku menuliskan kejadian ini tetap saja aku seorang pengerutu yang mengerutukan kejadian yang kualami. Ya ini gara-gara kena istilah bahwa sepandai-pandainya penulis adalah peng’gerutu. Dan saya ingin menggerutu mengenai ke’krisisan sekarang ini.

Dengan kata lain Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis total. Bahkan mungkin itu tidak cukup menjelaskan, kecuali ada kata yang bisa menyampaikan hal lebih ujung selain “total”
yang bisa ditemukan untuk mendeskripsikan kadar krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia.
Anda tinggal menyebut kata apa saja secara bebas untuk menunjuk sisi, titik, sudut atau bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Ambil saja sekenanya: perekonomian, politik, hukum, kebudayaan, pendidikan, keamanan nasional, karakter, iman, moral, mentalitas, apapun – orang paling bodoh di antara bangsa Indonesia bisa dengan sangat mudah menjelaskan krisis apa dan bagaimana yang mereka alami di wilayah konteks yang Anda sebut.

Krisis itu sedemikian nyata dan totalnya sehingga melahirkan suatu jenis krisis baru yang ajaib: kalau Anda berada di antara bangsa Indonesia, bergaul dan bercengkerama dengan mereka, sesudah beberapa waktu Anda akan menemukan pertanyaan di dalam diri Anda: Yang mana krisisnya? Orang Indonesia selalu hangat, tertawa-tawa, tekanan-tekanan yang terkadang muncul pada ekspressi psikologis mereka tak pernah sampai pada kadar yang serius yang memungkinkan munculnya tingkat yang memadai untuk melawan keadaan, memberontak, atau apapun.

Dahsyatnya krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia tidak berbanding lurus dengan tingkat munculnya kritisisme, progresivisme – tidak juga melahirkan rasa krisis atau »sense of crisis« yang sepadan dengan penderitaan obyektif yang sebenarnya mereka alami secara total dan mendalam. Rendahnya rasa krisis diindikasikan tidak hanya oleh karakter kepemimpinan yang culas namun lemah namun tak tahu malu, oleh praktek kepengurusan negara yang sangat tidak memfokuskan diri pada keharusan melindungi kesejahteraan rakyat, serta oleh beribu-ribu kejadian yang mencerminkan subyektivisme dan egosentrisme kelompok-kelompok yang berkuasa. Rendahnya »sense of crisis« itu juga tampak pada puluhan bahkan ratusan juta orang yang menderita pada kehidupan bangsa Indonesia. Tidak ada ketersambungan rasa derita satu sama lain, sehingga sesungguhnya yang berlangsung bukanlah penderitaan sosial, melainkan penderitaan individu-individu atau keluarga dan kelompok. Tidak terdapat gejala di mana keprihatinan diperkaitkan antara satu dengan lain orang, antara satu segmen masyarakat dengan segmen lain. Tidak ada organisasi orang-orang menderita.

Tidak ada kesedihan dan kebingungan kolektif, yang ada adalah setiap orang memendam
dan memelihara kesedihan masing-masing. Pada sebagian tidak kecil bahkan krisis total nasional tidak membuat mereka menurunkan kadar budaya konsumerisme, hedonisme dan pesta-pesta kegembiraan – dengan berbagai formula yang berbeda sesuai dengan strata yang juga berbeda. Mall-mall dan plaza tempat jualan mitologi, mimpi dan khayalah tidak sedikitpun menurun jumlah pengunjungnya. Tayangan televisi Indonesia tetap penuh joget riang gembira dan terus menerus tak perduli siang atau malam, tetap penuh intensitas putaran modal dengan siaran-siaran hedonisme budaya dan olahraga. Industri televisi bahkan merekrut Agama, Tuhan, Nabi, Malaikat dan hantu menjadi bagian primer dari komoditas mereka. Tidak ada bangsa di dunia yang tertawa lebih banyak melebihi frekwensi tertawanya orang Indonesia. Tidak ada masyarakat di muka bumi yang kehangatan dan kegembiraan hidupnya, bahkan tingkat keberaniannya membeli ini itu, melebihi bangsa Indonesia. Bagi tradisi akal sehat konvensional: ini adalah suatu jenis krisis.Mungkin bangsa Indonesia adalah bangsa yang sedemikian bodohnya sehingga tidak memiliki kemampuan identifikasi dan deskripsi atas keadaannya sendiri, termasuk atas krisis yang dialaminya sendiri, sehingga justru karena itu mereka tidak mengalami betapa dalam dan kompleksnya krisis itu. Seperti orang yang tidak paham hantu dengan konstelasinya: ia tenang-tenang saja lewat atau singgah di kuburan.

Atau seperti orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit, sehingga tidak berprihatin sedikitpun ketika di dalam badannya terdapat komplikasi penyakit yang pada suatu pagi akan membuatnya mendadak tak berdaya dan mati. Kalau orang itu mengerti hantu, maka ia akan ketakutan dan lari tunggang langgang menjauhi kuburan. Kalau orang itu memahami penyakit, maka ia akan melakukan perlawanan, pemerontakan, pengobatan dan segala daya untuk memisahkan penyakit-penyakit itu dari dirinya. Tetapi salah satu krisis bangsa Indonesia adalah bahwa mereka punya tradisi bersikap acuh tak acuh terhadap hantu dan penyakit-penyakit.

Kemungkinan lain adalah bangsa Indonesia memiliki daya tahan dan kekuatan yang tak tertandingi dan tak terpahamkan oleh bangsa dan manusia manapun yang lain di permukaan bumi. Sedemikian kuat dan kebalnya sehingga mereka tidak mengaduh ketika dipukul, karena pukulan itu tidak cukup menyakitkannya. Mereka tidak meronta-ronta ketika dijerat dan dipenjarakan, karena mereka tetap mampu membangun kemerdekaan subyektif psikologisnya di dalam penjara. Mereka tidak melawan ketika dianiaya, ditindas, disiksa, dicurangi, dibohongi – karena tingkat penganiayaan yang mereka alami belum sepadan dengan daya tahan yang mereka miliki.

Sekorup apapun pemerintahnya, tak membuat bangsa Indonesia memberontak sampai kadar yang signifikan. Sekurang ajar apapun pemimpin mereka, tak membikin mereka melakukan perlawanan. Semenderita apapun kehidupan yang menimpa mereka, tak pernah cukup mendorong mereka untuk berdiri agak sedikit tegak dan melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dan primer.