Tetap tak bisa menjadi seperti biasa waktu dulu. Itulah gambaran saat ini, sampai aku tak mengistirahatkan pikiran yang pada tiap esok atau pun sore aku mengalami klimaks otak kanan yang akut. Pusing dan bakal sampai aku merasa skeptis pada semuanya padahal tak ada apa-apa yang harus difikirkan di hari ini. Hingga dari pelataran kampus pun datanglah “Toyib” pemuda yang selalu menjadi lucu saat serius dan aneh waktu lucu. Dia mengajak aku ikut dalam acara pelatihan di sebuah fakultas di kampus “pinggiran” tempat dimana semua ternina-bobokan oleh hawa disini, sampai pulas tak tau apa-apa mengenai dirinya dan yang bersangkutan dengannya, begitupun yang terjadi kepada. Risih dengan banyak orang-orang yang sulit untuk berfikir dengan ‘sama’, tak mungkin lah apa yang saya pikirkan dapat kau mengerti, ucap maskur dalam hati, pria bebal dengan wajah tua dan pemikiran rasukan dan apa yang disampaikan orang tua yang memberi materi dalam acara pelatiha itu. Ia berkata ada ”sisipan” dalam media baik jawapos maupun koran kekirian (memo, surya, post, metropolis), itulah yang sama aku nalarkan kepada maskur, yang notabenya anak Madura yang kental kemaduraanya hingga salah (kaprah).
Aku sempat ikut dengan emosi ini, yang mengejak aku berkeliling di pikiran otak kiri. Maskur yang penuh dengan busuk daun dan polos tak tau itu, menjadikan sebuah gambaran penuh setan dan niat sombongisme ku yang aku tahan menjadi sedikit lebur saat Toto yang membawa camera memfotoku hingga ku tertegun malu dan diam. Aku banyak sekali bertanya dan merasa nyaman dengan pemateri yang aku anggap bisa menempatkan diri dan tau diri ini. Ia menjadi sebuah pembagi pengalaman yang “tau” dan membuat sebuah materi itu penuh keluwesan tinggi tampa perlu memancing emosi aku dan yang lainya, selain itu suasana yang rendah dan orang-orang yang gak ngurus, kata orang jawa. Menjadikan aku semakin ingin mencari apa dan mengapa lalu bagaimana lantas mengapa dan kapan,. Konsep jurnalis bawang bombai atau bumbu resmi jurnalis yang kadang membuatku lupa bahwa kesedapan berita terpangku dengan hal itu.
Rezim pers mahasiswa atau pun per umum yang menjadi rujukan atas sebuah keterkaitan yang selalu saja oleh pelaku-pelaku (orang yang pernah menjadi pers mahasiswa lalu menjadi pers umum) selalu menjadi hakim dan tuhan saat mengisikan materi tentang ke pers mahasiswaan yang dikatakan sama, dan tampa cela. Padahalkan tak sama dan berbeda dengan pendirian (ideologi) masing-masing, walaupun akupun tak memungkiri faktor-faktor yang hampir sama dengan hal itu. Tapi apakah keseringan yang mempertanyakan kemampuan orang dan membandingkan dengan kita menjadikan apa yang seharusnya kita lakukan menjadi sedikit terhambat, karena kita sibuk memikirkan apa yang akan orang lain lakukan dengan itu kita adalah pembual sok benar yang selalu ingin menjadi yang terbaik, barang kali sampai nanti habis waktu kita melakukan hal basi yang kita sebut dengan berjuang dimana kita kan menumpukan usaha kita,. Dan itu berujung baik ataupun buruk maka apalah kata nanti.