“Sekumpulan orang yang menyatukan tujuan demi kebaikan bersama melalui media”
(nofianto p.i)
Sikap pers mahasiswa di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) kini gampang terlena. Disamping itu fungsi yang kutakutkan menjadi utopis telah terwujud sebagai “pengontrol kebijakan kampus”. Nyatalah utopis yang aku angankan mengenai pers mahasiswa yang gampang puas ini.
Kutelan lidah berpuluh kali saat aku melihat dan merasakan bahwa pers mahasiswa di UTM ini sudah tak mampu lagi megawal kebijakan kampus apalagi mengontrol kebijakan kampus “lawong” memberitakan hal-hal yang terjadi atau berlangsung di kampus saja tak banyak yang di publish, hal kecil saja sulit dijalankan bagaimana bisa engkau berani menggaungkan perubahan-perubahan yang besar “berang”. Kata Pram, sambil mengacungkan tongkat besinya. Fakta yang terjadi dalam akhir-akhir ini begitu berkabung, walau baru kemarin membuat sebuah acara yang bagus tetapi menyebabkan aku menuliskan hal ini.
La memang betul, setelah acara yang dilakukan oleh pers mahasiswa UTM, jeda 2 hari saja seluruh pers mahasiswa UTM bersolek dan puas atas kesuksesan acara. Sama seperti acara yang lainya. Perayaan demi perayaan dan pelarian juga telah membuat syaraf otak mereka mengecil sehingga lupa akan tugasnya sebagai pers mahasiswa. Menjalin hubungan memang baik, tapi bagaimana bisa menyeimbangkan antara tuntutan dengan konsisten dan hak pribadi demi kebersamaan. Kesulitan tapi jangan sampai terpuaskan jika tercapai akan keseimbangan tersebut.
Jika di jumlah ada 6 lembaga pers mahasiswa di UTM, dan agenda bahkan proker yang dibuat begitu banyak dan begitu bagus, sehingga telingaku sudah tak muat menampung dan tubuhku sudah tak bisa menahan ingin menjalankan. Tapi berbeda dengan sekumpulan pers mahasiswa UTM, diskusi dan berhimpun menciptakan proker dan rencana begitu bejubel, tapi hanya sebatas wacana bukan di wujudkan sebagai realita yang ter faktakan. Malas sebagai kedok klasik tapi sibuk adalah topeng baru yang banyak diminati oleh pers mahasiswa yang berjuang mengatasnamakan kebenaran.
Teringat akan teater jalanan yang aku lihat kemarin di jogja, bak gunjingan terhadap pemerintah yang menyakitkan, tapi di sini tiada hal yang lebih menykitkan dengan melihat sekumpulan pers mahasiswa hanya suka berkumpul dan pura-pura. Supir truk saja tak mau lampu-lampu dari truk nya mati satu karena bisa membahayakan dirinya sendiri dan membahayakan orang lain walaupun ia pun sebenarnya bukan orang baik, tapi bagiku pers mahasiswa baik bukan orang baik ataupun orang baik, maka tak baiklah jika kau tak tahu apa yang akan kau lakukan selanjutnya.
Peperangan perlu strategi baru setelah itu laksanakan, pers mahasiswa perlu berdiskusi namun setelah itu habisi ketidak adilan. Maka sebaiknya jangan suka menerima nasi dalam bungkus kertas minyak. Mungkin keinginan besar yang belum mampu diwujudkan oleh pers mahasiswa kekinian telah menjadi virus komputer yang mematikan, sudah menjangkiti bahkan sampai menularkanya. Sungguh sulit memantapkan pers mahasiswa di UTM dalam menjalankanya saja terkadang di hambat oleh kemalasan dan alasan yang lainya, bagaimana bisa jalan, tapi kalau jalan sendiri tak menghiraukan yang lainya maka yang terjadi adalah kesulitan dan impossible sekali.
Mempergunakan jabatan sama seperti makan sesuai kebutuhan tubuh karena sama-sama saling menyesuaikan dan memutuskan sesuatu. Buku saja akan rusah apalagi hal yang semua seperti jabatan. Memang sulit menerima nasib menjadi pers mahasiswa “ujar hamba allah”, tapi tak aku sesali ini tambah “temanya”, berkat semuanya aku menjadi tau pers mahasiswa dan dunia dengan itu.